Lembar 36: Keraguan Yang Berujung Kekecewaan

254 38 3
                                    

Lembar 36

Kembali ke sekolah dan bertemu dengan teman-teman yang belum kuingat mungkin bukan hal menakutkan dibanding melihat semua hantu di sekolah. Aku tak bisa fokus sama sekali ketika ada hantu di jendela luar kelasku. Beruntung aku duduk di barisan tengah sehingga aku tidak akan menatapnya secara langsung. Mungkin teman-teman yang lain melihatku gugup, tapi sejujurnya aku berkeringat dingin akibat kengerian hantu di sekolah ini. Beberapa kali aku menarik napas dalam untuk menjinakkan ketakutanku. Bolpoin yang kugenggam erat rasanya bisa patah kapan pun juga.

Marwati yang melihat kelakuanku bertanya. "Kenapa, Bil?" dengan volume kecil.

"Engga apa-apa." Aku memoles senyuman tipis di antara kegugupanku.

Setelah melalui dua jam mata pelajaran, aku memutuskan untuk ikut ke kantin bersama teman-temanku. Mereka memesan mie ayam sedangkan aku hanya memakan roti karena tidak ada mood makan. Kantin yang ramai tak membuatku ikut menyatu di suara bisingnya. Seharian ini aku banyak diam, hanya mendengarkan, dan terkadang ikut tertawa. Tapi selain itu, aku tak membuka percakapan apa-apa.

Mataku berjalan kemana-mana, penglihatan hantu ini membuatku agak mual. Memusingkan, menakutkan, hanya degup jantung yang kudengar di telingaku.

Deg.. deg.. deg.. deg..

"Aku mau ke UKS ya." Aku mengizinkan diri ke teman-temanku, tanpa mendengarkan apa yang mereka katakan setelahnya. Yang kuinginkan hanya menjauh dari keramaian dan jauh dari hantu-hantu.

Setibanya di UKS, aku mencuci muka di wastafel yang tersedia. Mengatur degup jantung yang meloncat-loncat. Menenangkan diriku. Ngga apa-apa, ngga apa-apa. Kuulang-ulang mantra itu kepada bayangan diri di cermin. Memegangi bekas luka akibat kecelakaan di pelipis yang terlihat di antara helaian rambut.

Cahaya terang, klakson, lalu hantaman.

Tidak jelas apa yang kubayangkan barusan. Pikiran tadi terasa seperti mimpi, tapi aku yakin itu bagian dari memoriku.

Dan ketika itu juga aku melihat bayang pocong di sudut ruangan tempat aku berdiri.

Sial... Ngga apa-apa Nabila, santai, jangan takut lalu perlahan keluar dari sini.

Dua kali aku menarik napas dan mengembuskannya sebelum membuat gerakan. Pertama menghadap ke pintu UKS lalu berjalan kaku tanpa menoleh sedikit pun. Tanganku bergetar saat menggapai gagang pintu, membuang napas lega karena aku bisa sampai di pintu tanpa menarik perhatian hantu itu. Namun perasaan lega itu terhenti tiba-tiba ketika gagang pintu yang kupegang tidak bisa diputar. Tak bergerak sama sekali, seakan gagangnya membeku dan terkuci dari luar.

Panik mulai menyambar diriku. Aku mengguncang gagang pintu dengan paksa berkali-kali, tetapi papan kayu di depanku tak memberikan tanda akan terbuka. Suhu dingin kurasakan tepat di belakangku, namun aku tidak berani untuk melihat ke belakang. Hampir beberapa menit aku berdiri di tempat yang sama dengan memejamkan mata, sampai akhirnya pintu UKS mau terbuka dan aku langsung melarikan diri keluar.

Tanpa kusadari, aku berlari ke perpustakaan. Pustakawan melihatku bingung saat aku masuk, dengan terengah-engah mulai berjalan ke rak paling jauh dan duduk di antara buku-buku yang menutupiku.

"Nabila?" sebuah suara memanggilku.

Di ujung rak berdiri Alvin dengan membawa buku.

"Kenapa kamu ada disini? Kenapa kamu berkeringat?" dengan cepat ia sudah berada di sampingku.

Aku tak menjawab pertanyaanya. "Apakah cerita tentang aku menjadi roh dan bertemu denganmu itu benar adanya? Teman-temanku bilang kamu punya reputasi yang..."

"Aneh? Iya. Apa itu yang kamu ingin katakan?" ujarnya.

"Tak bisakah kamu menutup penglihatan hantuku ini?" aku mengalihkan pembicaraan. "Aku engga bisa terus-terusan begini, aku engga bisa menjalani hariku dengan normal lagi"

Aku sudah agak lama berpikiran kalau mungkin. Hanya mungkin saja bahwa keberadaan Alvin di dekatku selama aku koma di rumah sakit, membuatku bisa melihat yang tidak terlihat.

Alvin menatapku lama sebelum rautnya berubah marah dan kecewa. "Kamu pikir aku yang membuatmu bisa melihat hantu, ya?" ia berdiri dan melihatku dari atas.

Aku menggeleng, "Engga, bukan seperti itu." Lalu aku berdiri, berusaha sekuat mungkin menekankan bahwa aku tak bermaksud melukai Alvin.

"Kamu pikir aku berbohong tentang bertemu dengan rohmu? Kamu pikir aku itu seaneh itu sampai aku membuatmu bisa melihat hantu?" kekecewaannya terasa perih di hatiku.

"Bukan seperti itu, Vin." Ucapku hampir putus asa, tidak tahu harus berkata apa-apa.

"Kalau aku bisa menutup penglihatan ini mungkin aku sudah melakukan hal itu sebelum bertemu denganmu. Karena aku juga tidak menginginkan penglihatan ini." Alvin kemudian pergi tanpa menoleh ke arahku.

Pikiranku sejahat itu sampai melukai Alvin, membuatku sedih kepada diri sendiri karena tidak bisa menyangkalnya. Tetapi perkataannya lebih membuatku sedih.

Nan KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang