Lembar 26: Mata Layaknya Percikan Api, Serta Terima Kasih...

507 86 19
                                    

Cuma 700 kata. 

Lembar 26

Bibir tipis Nora membentuk garis lurus, matanya menatapku hingga ke dalam jiwa. Seperti ia tahu siapa yang ada di dalam tubuh Alvin. Perlahan aku bisa merasakan hawa di sini berubah makin dingin sedikit demi sedikit.

"Apa maksudmu?" aku bertanya, membeli waktu sambil melirik layar angka lift yang masih turun dari lantai enam. Tidak lama lagi, tapi aku tak tahu apakah aku bisa melarikan diri dari Nora. Firasatku tidak enak, karena aku tak punya pertahanan apa-apa dan aku membawa tubuh Alvin. Situasi ini membunuhku tapi aku berusaha untuk tetap berpikiran positif.

"Aku tak pernah bertemu dengan roh orang koma yang tak tahu dia sedang koma," matanya menatapku hingga bawah seperti menilaiku. "Cukup lucu." Rautnya menampilakan iba yang menjengkelkan bagiku.

"Bagaimana kamu tahu kalau aku di sini?" 3 lantai lagi.

"Mungkin dari auramu yang terasa dari jauh." Ia menjawabku seperti tak tertarik dengan jawabannya sendiri.

2 lantai lagi.

"Auraku?" aku kembali bertanya. Kali ini dengan penasaran yang nyata.

"Aura roh yang bisa diambil tubuhnya," Nora mengirim senyuman. "Yang membuat hantu-hantu lain tergila-gila mengejarmu." Tambahnya.

1 lantai lagi.

"Untung aku di sini, jadi tak ada hantu lain yang mengganggumu kan?" katanya dengan senyuman yang sama, tak bermakna baik melainkan tersirat bagaikan ia lebih membahayakan dari semua hantu di rumah sakit ini.

Ding!

Kepalaku langsung menoleh ke arah lift dengan tubuh yang bersiap meroket ke dalam ketika pintunya terbuka.

Tetapi pintu lift tak pernah terbuka. Hanya berdiam di hadapanku seperti membeku.

"Oh ya ampun, sepertinya liftnya macet." Nora menunggu reaksiku.

Ya Tuhan bagaimana caranya agar aku bisa kabur dari sini?

Tangga ke bawah terletak sekitar 300 meter dari tempat aku berdiri. Tanpa pikir panjang aku berlari menuju tangga itu. Baru aku tiga kali melangkah, sebuah kekuatan memutarku ke bawah hingga aku tersungkur di lantai. Tak sengaja membuat kepala Alvin membentur ke ubin rumah sakit. Rasa sakit menyengat kepalaku.

"Haruskah aku mengambil tubuhmu atau Alvin?" kulihat Nora berdiri di atasku.

Aku berdiri dengan cepat, ingin mendorong jauh Nora tapi malah membuatku oleng dan hampir terjatuh lagi. Tapi dengan cepat aku menyeimbangkan tubuhku kembali.

"Kenapa kamu melakukan hal ini?" ujarku berbalik dan melihatnya sudah menghadap ke arahku.

"Maaf, maaf. Tadinya aku tidak ingin melukaimu, tapi kamu malah mau kabur. Padahal aku cuma ingin ngorbol baik-baik." Nora tersenyum kepadaku dengan tubuh tegap berdiri tak bergerak satu inci pun.

Apa pun yang dia katakan selalu saja membuatku merinding. Perasaanku mengatakan kalau semua perkataannya tadi adalah kebohongan.

"Tak bisakah kamu melupakan kesalahan ayahmu?" aku berkata dengan nada membujuk.

Mata Nora menyala layaknya percikan api, "Tutup mulutmu kalau kamu tidak tahu apa-apa." Ucapnya tajam.

"Aku yakin ayahmu sangat menyesal dan kakakmu pasti tak ingin kamu jadi seperti ini." aku mencoba lagi, mencari celah dimana ia bisa luluh. Atau mungkin aku salah.

Nora melangkah maju, dalam sekejap mata berada tepat di hadapanku. "Pria itu hanyalah iblis yang tak mengerti cara menjadi orang tua, dia bukan ayahku. Dan jangan berani-berani menyebut kakakku."

Luka-luka di wajahnya terlihat sangat nyata sekarang, bibirnya agak sayu karena gumpalan daging yang melepuh. Sebelah wajah kanannya terkena luka bakar yang lumayan parah. Dari mata Nora, aku bisa melihat amarah yang meluap siap dilontarkan ke arahku.

Wajah Nora perlahan mendekat ke wajahku, tubuhku bergidik mempersiapkan diri dan refleks menutup mata. Detik ini aku sudah siap untuk menerima apa yang akan dilakukan oleh Nora. Walaupun aku punya kekuatan, ia jauh lebih kuat dariku. Dan aku tak ingin memprovokasinya dengan menyerangnya duluan.

"Alvin?" aku mendengar suara wanita yang tak jauh dari posisiku berdiri.

Ketika aku membuka mata, Nora sudah hilang dari hadapanku. Yang kulihat sekarang adalah ibuku sendiri yang menatapku dengan bingung.

Ibuku mendekatiku dan bertanya, "Belum pulang?"

Aku yang baru memproses kejadian ini, agak terlambat menjawab pertanyaanya. "Ah, iya tante. Tadi salah jalan."

Ia kembali melihatku dengan kebingungan.

Oh iya, kan jalan menuju lift hanya satu jalan doang. Aku secara batiniah menampar diriku sendiri.

"Tante mau turun juga?" aku berusaha mengalihkan pembicaraan seraya menunjuk lift, tapi tatapannya tak pernah lepas dariku.

Ibuku mendekat, meletakkan kedua tangannya di bahuku sambil tetap menatap lurus mataku. Seperti ada kilatan menyadari sesuatu dan rautnya sangat tidak bisa ditebak tentang apa yang ia sadari.

"Tante?" panggilku.

Ibuku tersadar, melepaskan tangannya dan berkedip beberapa kali. "Ah, maaf. Tadi tante teringat Nabila." Ujarnya tersenyum tipis.

"Aku yakin Nabila sebentar lagi akan bangun, tante." Senyumanku terasa sedikit pilu.

Ibuku kembali tersenyum, kali ini dengan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih ya, Alvin."

"Engga, engga tante. Aku yang harusnya bilang terima kasih..." sudah menjadi ibuku.

Ibuku kembali kebingungan tapi menggelengkan kepalanya, menganggap perkataanku seperti candaan.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

/

*buat yang mau baca aja*

Sorry guys, I've been so stressed out and depressed lately. Sampe di titik di mana tiap pagi sakit kepala dan migrain itu udah jadi makanan mingguan... semoga aku bisa rajin nulis terus!

Buat yang lg down juga, ayok kita berjuang bareng2 :)

Btw happy birthday to me! :D 

Nan KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang