Lembar 3: Ia, Si Pemilik Apartemen

1.5K 143 12
                                    

Lembar 3

Sepuluh menit berikutnya aku menyadari bahwa tubuhku tidak transparan lagi seperti yang sebelumnya. Sekarang sudah menjadi solid dan tubuhku terlihat seperti manusia biasa di mataku. Liontin yang mengalung di leherku juga tak bersinar terang seperti tadi. Aku tak tahu arti kedua hal itu tapi aku tetap tak bisa menatap diriku di sebuah kaca atau pun cermin.

Apakah aku sekarang resmi menjadi hantu?

Di dalam apartemen lelaki yang ku ikuti begitu simpel dan sangat rapi untuk ukuran seorang cowok. Bersih dan semua ada pada tempatnya. Dapur kecil, sebuah TV LED, meja rendah yang diletakkan di tengah-tengah ruangan, dan semua perabotan lainnya tak bergeser sedikit pun.

Gorden hitam tipis menggantung di pinggiran pintu kaca yang terhubung dengan balkon. Aku berjalan ke sekitar, tak tahu harus berbuat apa setelah berada di sini sejak sepuluh menit yang lalu.

Ia, si pemilik apartemen ini sudah lebih dulu mengunci dirinya di kamar. Mungkin sedang mengganti baju. Tadi tak sengaja aku melihat ia memakai seragam SMA yang ia tutupi dengan jaket biru dongker.

Beruntung di sini tak ada hantu yang tinggal di apartemen ini. Dan mungkin aku akan tinggal di sini sementara sampai aku tahu apa yang harus aku lakukan untuk pergi ke alam baka.

Aku terduduk di sofa di tengah ruangan. Bayangan ibuku menangis terbesit. Hatiku terasa sempit ketika memikirkan tentang keluarga dan teman-teman yang aku tinggal.

Suara pintu terbuka agak menganggetkanku. Aku menoleh pada sang pemilik apartemen yang berjalan menuju dapur mininya dan mulai mengambil peralatan masak.

Aku berjalan mendekati dapur sambil melihat ia bekerja. "Hey, apa kamu bisa lihat aku tadi?" aku bertanya. Namun hanya dijawab dengan suara wajan yang membentur kompor.

Kulihat ia membuka kulkas dan mengambil beberapa sayuran, kemudian mulai memotongnya.

Hm, sudah kuduga dia tak bisa melihatku. Mungkin kejadian di lorong apartemen tadi hanya kebetulan saja.

"Siapa namamu?" aku bertanya kembali entah mengapa. Fakta bahwa tak ada yang bisa mendengarku membuatku kesepian.

Ia tak merespons sama sekali. Ia terus mengerjakan apa yang ia lakukan.

Aku menghela napas, lalu kembali duduk ke sofa.

"Hey, bisakah kamu menyalakan TV-nya? Aku sangat bosan." Ucapku. Dan kembali dijawab dengan keheningan. Bukan sepenuhnya keheningan, sih. Tapi aku bisa mendengar suara desisan makanan yang sedang ia masak.

Tak lama kemudian, ia selesai. Berjalan dan duduk di sofa sambil membawa piring berisi nasi goreng lalu menyalakan TV.

"Akhirnya." Ungkapku saat melihat TV dinyalakan. Namun ia berhenti di channel bola.

"Ya ampun! Tolonglah! Masa aku disuruh nonton bola. Minimal nonton Spongebob kek." Ujarku kesal. Tapi tetap menonton karena terpaksa.

Lima menit berlalu dan seorang pemain menyetak gol, namun orang di sebelahku bahkan tak menunjukkan ekspresi apa pun dari pertama aku hadir di apartemen ini.

"Ugh kamu bahkan tidak menikmati tontonan ini." Ucapku menyilangkan tangan.

Ketika ia sudah selesai makan, ia pun segera mematikan TV-nya lalu meletakkan piring kotornya di dapur.

"Pergi tidur?" tanyaku melihatnya yang berjalan ke kamar dan menutup pintu kamarnya.

Aku perlahan memasuki ruang kamarnya, menatap perabotan yang tertata rapi dan betapa bersih kamarnya.

Kamarku saja kalah jika dibandingkan.

Tak banyak yang bisa dilihat di sini. Lemari, meja belajar dengan buku-buku yang tertata rapi, sedikit komik yang berdiri rapi, beberapa merchandise bola, dan sebuah kasur.

Kulihat ia sudah terbaring di kasur sambil membaca komik dan menutup telinganya dengan headset.

"Apa yang sedang kamu dengarkan?" aku bertanya, lalu mendekat ke telinganya untuk ikut mendengarkan lagu "Back To You" dari Louis Tomlinson.

"Hm... aku juga suka lagu itu." Lalu aku berbaring di sebelahnya.

Aku rasa hantu tak perlu tidur.

Dan benar saja, pada malam itu aku memperhatikannya sampai ia terlelap.

Dadanya naik turun dengan perlahan, komik yang ia pegang sekarang ikut tertidur di dadanya, dan kedua headset masih menggantung di telinganya. Aku ingin sekali melepaskan headsetnya namun apa daya aku hanya hantu.

Hidung tegap, bekas kumis yang telah dicukur, rambut hitam pendek yang di cukur tipis di kedua sisi, dan rahang kuat.

Tak pernah seumur hidupku aku memperhatikan wajah seseorang sedekat ini. Lalu aku menutup mata, pura-pura tertidur di sampingnya.

=======================================================

AN: Yaampun makin gaje ceritanya ;)))))))))))))))))))))))))))))))

Vomment yak

-km

Nan KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang