Lembar 17: Kalimat Yang Sedikit Menaikkan Harapan

788 87 6
                                    

AN: jujur kenapa aku lama update karena banyak banget elemen yang aku masukin ke cerita ini sampai sekarang. jadi aku bingung mau gimana karena agak keluar jalur :/ tp yah gtu lah, jgn berharap banyak dari aku :p lagipula ini cuman kasarannya sebelum aku revisi nanti..... btw sekali lagi aku bukan anak indigo yak, aku lebih eksplor ini ke imajinasi ajah :p

follow aku yak di ig @jihanmiles :D

vomment!~~

-km

===================================================================

Lembar 17

Malamnya aku kembali berdiam diri di kamar Alvin. Alvin sendiri tadi sudah pulang dijemput oleh Taysa dan Ciko menggunakan mobil. Aku tak tahu detailnya karena aku pulang dengan 'berjalan kaki' karena masih tak berani berdekatan dengan hantu penjaga kakak sepupu Alvin. Yang pasti saat perjalanan pulang tadi aku berusaha untuk tidak menarik perhatian hantu lain, tubuhku bahkan masih terasa merinding gara-gara lirikan para hantu yang melihatku dari kejauhan.

Pikiranku berpindah topik tentang kejadian tadi siang. Saat hantu misterius yang merasuki tubuh Alvin. Peristiwa tadi terjadi sangat cepat namun masih terasa sangat nyata di benakku. Rentetan gambar di otakku berputar dan mengulang-ulang perasaan adrenalin yang terpacu, membuatku semakin tertekan karena semua ini diluar kehendakku.

Kenapa hantu wanita itu sangat membenciku? Apakah aku mengenalnya? Tapi setelah dipikir-pikir aku rasa tidak mungkin karena aku tidak punya teman atau pun musuh yang sudah meninggal.

Pertanyaan berikutnya muncul, membuatku semakin hanyut. Kenapa hantu itu berusaha untuk membunuh Alvin? Jujur aku kaget karena melihat kenyataan bahwa hantu juga sangat bisa membahayakn nyawa manusia.

Apa aku juga bisa melakukan itu nantinya?

Aku menggeleng kepala, menghilangkan pikiran buruk itu. Mengapa bisa-bisanya aku berpikiran untuk menyakiti seseorang?

Aku melihat pintu kamar perlahan terbuka, Alvin dengan agak pincang memasuki kamar lalu menutup pintunya kembali. Mataku melihat penampilan Alvin dari bawah hingga ke atas. Perban menempel di bagian bawah lutut sebelah kanan, beberapa luka kecil yang masih merah terlihat di betisnya, beberapa memar di tangan dan kaki menghiasi tubuhnya. Ia memakai shorts sepak bola berwarna hitam dengan garis abu-abu tebal di samping. Tank top abu-abu dengan logo Nike menggantung di badannya. Memperlihatkan otot bisep yang terbentuk namun diwarnai dengan adanya memar kecil berwarna biru.

Dalam benakku aku memukul diriku sendiri. Mengalihkan mataku yang semula di otot tangan Alvin ke wajahnya. Alvin memandangku dengan diam, sebuah raut yang tak bisa kubaca kembali ia pakai. Dan aku semakin tak suka melihat raut itu karena merasa bahwa aku dibenci oleh Alvin. Aku berharap Alvin masih mau berteman denganku setelah semua peristiwa yang terjadi hingga saat ini.

"Maafkan aku," entah berapa kali lidahku mengucapkan kata ini tetapi tak bisa menghilangkan rasa bersalahku.

"Sudah, nggak apa-apa" katanya lalu berjalan ke kasur dan duduk dengan sangat perlahan karena luka di kakinya.

"Siapa hantu yang merasukimu tadi?" aku bertanya. Melihat alisnya yang bertaut di antara wajah yang tak bisa kubaca emosinya.

"Bukan siapa-siapa" jawab Alvin yang membuatku yakin bahwa aku dibenci olehnya. Baru tadi di rumah sakit ia bersikap seolah perhatian dengan suara lembutnya, sekarang ia kembali dengan sikap dinginnya. Aku tak bisa memahami Alvin. Rasanya seperti Alvin memiliki bipolar tetapi tidak.

"Kamu harus istirahat," pintanya seraya membaringkan diri di kasur.

Kamu yang harusnya istirahat. Daripada mengatakan hal itu, aku memilih untuk bungkam dan melihatnya mulai memejamkan mata.

Pukul 00:29. Tepat tiga jam sudah aku berdiam diri di kamar Alvin tidak melakukan apa pun yang berarti. Aku yakin Tasya dan Ciko sudah terlelap. Tubuhku mendekat ke samping kasur Alvin. Melihat napasnya yang naik turun dengan stabil.

Bagaimana rasanya bernapas kembali?

Tanganku tanpa sadar memegangi dada tempat jantung matiku berada. Lalu melihat alis Alvin yang mulai berkerut dan bertanya-tanya mimpi apa yang sedang ia alami. Aku berusaha menggapai kening Alvin, namun segera menarik kembali tanganku dan mengatakan kepada diriku bahwa aku tak bisa melakukan apa-apa ke Alvin. Jadi aku hanya berdiam di dekat jendela dan menunggu matahari naik ke permukaan.

***

"...Kenapa dia sekarang datang lagi?" aku lihat Alvin menempelkan handphonenya di telinga sambil berjalan ke kamar lagi untuk mengambil tasnya. Aku sangat yakin 'dia' di sini adalah hantu yang merasuki tubuh Alvin kemarin. Tapi siapa yang Alvin telepon saat ini?

Sekarang Alvin akan pergi ke sekolah, setelah tak bisa dibujuk olehku untuk istirahat saja setelah kejadian kemarin.

Ada jeda yang lumayan lama dan Alvin tetap mendengarkan dengan serius apa yang dikatakan lawan bicaranya di ujung handphonenya. "Oke, oke. Aku hubungi kamu nanti." Ucap Alvin lalu mematikan panggilannya serta bergegas menuju sekolah.

Ketika ia sampai di pintu depan, ia menoleh ke arahku saat aku tak mengikutinya.

"Aku di sini saja." Kataku. Untuk sekarang aku ingin meringkas semua yang terjadi dan tak ingin terlalu membebani Alvin akibat selalu mengikutinya. Karena aku sadar mungkin akulah penyebab kejadian kemarin. Otakku memutar kembali suara hantu yang merasuki Alvin.

"Aku benci kamu."

Bibir Alvin membuka hendak mengatakan sesuatu namun tertutup kembali. Ia pun hanya mengangguk lalu berpamitan, "Mbak Tasya, Ciko, aku duluan ya.".

Yang dijawab dengan 'Yaa' lirih dari kamar kakak sepupunya itu. Aku hampir lupa dengan mereka. Yang berarti hantu berpakaian adat itu masih ada di sini. Memikirkannya pun membuat tubuhku merinding.

Sesaat setelah Alvin pergi, Mbak Tasya dan Ciko pun keluar dengan pakaian rapi. "Yuk, jalan-jalan." Ajak Mbak Tasya ke Ciko yang memainkan roda bis mainannya.

"Ayok!" jawab Ciko mengangguk antusias.

Tetapi hawa ruangan ini agak berat untukku menjaga ketakutanku. Sesekali aku melirik dan mendapati hantu adat itu menatapku dengan intens. Mbak Tasya dan Ciko akhirnya pergi dan mengunci pintu apartemen, namun yang membuatku gila adalah hantu penjaganya yang masih menatapku dengan tatapan berat.

Ingin sekali aku pergi dari sini, tapi tubuhku membeku di tempat. Perlahan kulihat hantu itu mendekat ke arahku. Aku di dalam hati berdoa supaya hantu itu tidak jahat kepadaku. Ketakutanku mulai membesar kala hantu itu tepat berada di depanku.

Matanya hitam pekat dengan wajah yang gelap, tetapi aku tahu ia sedang menatapku dengan sangat tajam. Aksesoris di kepalanya bergelimang saat kepalanya menunduk ke arahku.

"Hati-hati... dengan roh jahat yang mendekat..." Peringatnya dengan logat sumatera yang sangat kental. Suaranya berat dan serak, hampir membuatku tak bisa menangkap kata-kata yang ia ucapkan. "Cepat keluar dari sini, ini bukan duniamu."

Aku menemukan diriku hanya mengangguk dengan mata yang tak berani menatapnya. Selang beberapa saat, ia pun menjauh lalu pergi keluar dari apartemen.

Aku mengeluarkan semua gemetar yang kutahan sejak tadi. Hantu itu sangat kuat sampai aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan diriku. Mbak Tasya pasti sangat beruntung memiliki 'penjaga' yang begitu kuat.

Mataku menatap gemetar yang menjalar di tangan. Setelah beberapa saat, aku pun kembali stabil. Lalu memikirkan apa perkataannya tadi. Roh jahat? Siapa roh jahat itu? Dan perkataannya yang membuat harapanku sedikit naik adalah 'Cepat keluar dari sini, ini bukan duniamu.'. Mungkinkah aku bisa keluar dari dunia ini menuju alam baka? Untuk sesaat aku berpegangan dengan kalimat itu, ingin memiliki kepercayaan bahwa aku pasti bisa bebas dari sini.

Nan KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang