Lembar 15: Ciko dan Semburat Bayangan Hitam

939 83 2
                                    

AN: Sorry ya baru update, soalnya syibuk dan mager :) trims~

wahh seneng banget udah mau 10k dan banyak pembacanya hehe, walaupun ga sebanyak penulis terkenal lainnya, aku udah bangga dengan pencapaian ini :D moga semakin semangat nulis biar bisa jadi novel, amiinn...

vomment!!

-km

========================================================

Lembar 15

Di kepala wanita itu bertengger penutup kepala merah menyala yang menyerupai rumah adat gadang dengan warna emas untuk motif batiknya. Sehelai kain merah diistirahatkan di tengah-tengah penutup kepala itu, sehingga menutupi kening hingga alis. Kain persegi panjang itu tergerai hingga belakang kepalanya.

Terdapat perhiasan kecil berkelip-kelip yang menggantung sepanjang pinggiran kain, sehingga sedikit menutupi bagian matanya yang terlihat sangat dingin dan tajam. Baju yang ia kenakan pun juga merah dengan motif emas, diikuti dengan kalung-kalung emas yang menjuntai ke dada.

Sesaat matanya melirik ke arahku, tak terlalu bisa aku deskripsikan karena yang kulihat adalah matanya yang benar-benar hitam seolah tak memiliki mata. Seluruh tubuhku sangat merinding kala itu, aku bisa merasakan hawa kuat yang terselubung di hantu wanita itu. Layaknya ia sudah berpuluh-puluh level di atasku. Seperti ia adalah bangsawan dan aku hanyalah rakyat jelata.

Matanya berpaling dariku, lalu perlahan berjalan mendekati Tasya dengan perhiasan di atas alisnya yang ikut bergoyang saat ia berjalan. Detik itu juga, aku bergegas ke kamar Alvin. Tak kuasa karena hawa hantu yang dikeluarkannya. Jika aku gambarkan hawanya seperti membuat takut, tertekan, dan ingin menjaga jarak dengan si hantu itu.

Sayup-sayup aku bisa mendegar percakapan antara Alvin dan Tasya di ruang tengah. Dan aku tak masalah dengan itu, karena aku merasa aman di sini. Tapi berapa hari lagi aku harus seperti ini?

Pintu kamar Alvin yang semula tertutup, perlahan terbuka menampakan Ciko dengan mainan bis Tayo miliknya. Aku memperhatikannya mengitari kamar sambil menerbangkan mainannya itu.

"Pssshhhh..." ia meniru suara pesawat yang terbang.

Aku tersenyum, "Kan itu bis, bukan pesawat." Ucapku, tak peduli kalau anak itu tak bisa mendengarku.

"Sekarang Tayo bisa terbang kok, ini buktinya!" adalah responnya, yang seketika membuatku kaget hingga ke ubun-ubun.

"Loh, adek bisa liat aku?" tanyaku sekarang memperhatikannya dengan sungguh-sungguh.

"Nggak mau liat! Soalnya takut!" jawabnya dengan menutupi matanya.

Lah adek, ngapain ke sini kalo takut... dalam hati aku berkomentar sambil menggeleng kepala.

Aku lupa kalau Ciko masih ada hubungan darah dengan Alvin, mungkin saja si Ciko ini juga bisa lihat yang beginian. Maksudnya bisa melihat hantu-hantu sepertiku.

"Kakak ikutan main dong." Aku berusaha merayu Ciko. Sebenarnya aku bosan tak bisa berinteraksi dengan siapa pun kecuali Alvin.

"Ga mau ah! Muka kakak serem!" Ia mengintip dari sela jarinya.

"Yah, emang muka kakak kayak gimana sih?" sekarang aku penasaran dengan wajahku sendiri. Oh ya jika dipikir-pikir sekarang kan aku adalah hantu, pasti wajahku tak jauh seramnya dengan hantu-hantu lain.

"Serem pokoknya! Lari...!" lalu pun ia lari keluar kamar, meninggalkan aku yang sedih ditolak bermain anak kecil.

***

Tembok kamar ini dicat putih, sedikit noda kuning tipis merayap di pojok kamar kalau dilihat dari dekat. Lemari hitam yang memiliki dua pintu berdiri di dekat pintu kamar, dua stiker merek sepatu menghiasi bagian samping kanan lemari tersebut. Tepat di sampingnya, dua rak dipasang atas-bawah. Dua foto Alvin bersama orang tuanya dipajang di sana, yang menurutku Alvin lebih mirip ibunya dibanding ayahnya. Sebuah piala futsal dan dua mendali perak cerdas cermat menghiasi bingkai foto di sebelahnya yang membuatku semakin merasa takut jika ingin adu dbat dengan Alvin. Sedangkan di rak lain dihiasi deretan buku yang memiliki tema acak, seperti majalh bola, beberapa novel, buku pelajaran yang bahkan tidak aku pelajari.

Bahkan di SD saja aku nggak pernah peringkat sepuluh besar, pikirku.

Meja dengan alat-alat minimalis dan sebuah laptop terletak dekat ranjang menunggu untuk dipakai oleh sang pemilik. Diseberang ranjang sebuah jendela berada dengan sebuah gitar akustik hitam yang menemani di sebelahnya.

Lama aku menunggu Alvin untuk kembali ke kamarnya, karena aku tidak berani keluar karena si hantu adat itu. Setelah beberapa menit tambahan, Alvin pun masuk.

"Alv-" baru aku membuka mulut, Alvin langsung mengangkat jarinya.

"Shh!" Jari telunjuknya menyentuh bibirnya.

Dengan kebingungan, aku melemparkan raut 'kenapa?' kepada Alvin. Tangannya kemudian merogoh saku dan mengeluarkan handphonenya lalu mengetik,

Diam dulu, aku takut si penjaganya Mbak Tasya denger... Kalau cerita di luar aja gimana?

Aku mengangguk cepat, tak ingin berlama-lama terintimidasi oleh hantu adat itu lagi.

***

Akhirnya setelah Alvin berpamitan untuk beli minum di luar sebentar dan aku yang diam-diam pergi setelah Alvin keluar, kami pun berada di ujung lorong di lantai kedua dari bawah.

Alvin bercerita singkat bahwa itu adalah seorang 'penjaga' kakak sepupunya yang telah turun-temurun menjaga generasi kakaknya itu.

"Terus si kakak sepupumu itu tahu dan bisa lihat nggak?" tanyaku. Semoga Alvin tidak apa-apa kalau terlihat berbicara sendiri di depan umum. Eh, tapi ini juga apartemen miliknya.

"Dia tahu kok, tapi nggak bisa lihat sepertiku." Jawab Alvin.

Beruntung tak ada hantu yang terlihat di lorong ini, mungkin adalah alasan mengapa Alvin membawaku ke lorong ini.

"Terus Ciko bisa lihat kayak kamu?" aku melontarkan pertanyaan kembali.

Alvin hanya mengangguk dengan mata lurus kepadaku.

"Terus berapa lama mereka di sini?" ucapku, tapi tak ingin bersikap semena-mena hanya karena aku tak bisa menghadapi hantu adat ini. Lagipula itu adalah kakak sepupunya Alvin, jadi aku tak bisa melawan keputusannya.

"Paling dua sampai tiga hari, sampai air rumahnya sele-" belum sempat Alvin menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba untuk pertama kalinya aku bisa merasakan seperti tabrak keras oleh sesuatu. Tidak terlalu menyakitkan, tapi membuatku sadar bahwa aku juga bisa merasakan sakit walau sedikit.

Semburat bayangan hitam dengan kecepatan kilat melewati diriku, kala itu aku sangat jelas melihat wajah Alvin yang sangat terkejut. Bayangan hitam itu langsung tenggelam hilang saat menyentuh tubuh Alvin. Seketika tubuhnya jatuh namun masih ia tahan dengan sikunya, seluruh tubuhnya gemetaran dasyat.

"Alvin?" ucapku sangat khawatir dan takut karena tak mengerti apa yang terjadi. Dengan cepat merendahkan tubuhku untuk meilhat keadannya tetapi yang bisa kulihat hanyalah warna putih di matanya.

Nan KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang