Lembar 39: Bisa Merasakan Sakit

194 31 2
                                    

uwow tumben sekali 1OOO kata :> maaf ya keenakan karantina malah updatenya sebulan sekali hehe.  -km

Lembar 39

Sepanjang perjalanan pulang aku hanya terdiam sembari melihat bangunan yang terlewati dengan cepat. Objek-objek kabur yang tak bisa kuperhatikan dengan seksama. Aku hanya ingin diam sesampainya di rumah tetapi aku penasaran dengan orang yang ingin bertemu denganku. Ayahku tak memberi clue apa pun, katanya ia ingin aku mengetahuinya sendiri. Tapi bagaimana jika aku tak mengenali orang tersebut? Dan hal apa yang akan kita bicarakan? Aku tak tahu. Sepertinya aku harus mengikuti alurnya saja.

"Apakah aku kenal dengan orang ini?" tanyaku, menoleh ke arah pria yang sedang fokus menyetir di sampingku.

"Hmm, mungkin tidak." Jawabnya tak yakin.

Aku menatap ayah dengan alis berkerut. "Karena aku kehilangan memori tentangnya?"

Ayah menggeleng, "Engga. Nanti kamu juga tahu sendiri." Katanya tetap menyimpan rahasia.

Mendengar jawaban ayahku membuatku agak kecewa sekaligus penasaran. Sesampainya di rumah, terlihat sebuah motor asing yang terparkir di halaman. Motor itu agak jadul dengan lecet-lecet tipis di lapisan warna kuning tulangnya. Ketika aku turun dari mobil, terdengar nada marah dari ayah.

"Tanganmu kenapa?" katanya melihat luka di sikuku.

Aku tersenyum pahit. "Nanti aja ya, Yah ngobrolnya."

Ayahku menggeleng kepalanya, tapi mengikuti permintaanku. "Ayo masuk, pasti dia udah nunggu lama."

Di ruang tamu, ibuku duduk dan di depannya adalah orang yang mungkin menjadi pemilik motor jadul di luar. Dari belakang tubuhnya terlihat besar, ia memakai kaos hitam berlengan pendek yang memperlihatkan sedikit tinta tato di tangan kanannya. Pria berkulit sawo matang ini memakai topi yang menutupi sebagian rambutnya.

"Oh, Nabila akhirnya kamu sampai. Sini duduk." Ibuku menyuruhku duduk di sebelahnya. Tanpa bertanya lagi, aku duduk dan dapat melihat siapa yang ada di hadapanku.

Pria di depanku tersenyum namun kesedihan membayang di wajahnya. Ia mungkin berumur sekitar 4O tahunan. Apa dia seorang polisi? Tetapi ia tak terlihat seperti polisi. Kalaupun polisi mengapa ia ke sini?

"Ayah mau pergi kerja lagi ya." Pamit Ayah padaku. Aku pun hanya mengangguk.

"Saya pamit dulu ya." Kata Ayah, tersenyum pada pria asing itu.

Setelah ayah pergi, pria asing itu terlihat ingin mengatakan sesuatu. Ibuku yang di sebelah, hanya terdiam sampai pria itu mengeluatkan kata-katanya.

Di jeda beberapa detik itu, aku menyakinkan diriku bahwa sepertinya aku pernah melihatnya. Hanya sepintas, namun aku mengenal wajahnya. Mungkin ia pamanku? Tidak. Guru? Apalagi itu, tidak.

Bayangan seorang lelaki yang duduk di kursi pengemudi muncul di benakku. Seolah aku sedang menatapnya dari bawah, wajahnya terlihat samar di belakang kaca. Tangannya memengangi stir bulat dengan kuat dengan wajah panik dan horor sebelum akhirnya semua menjadi hitam. Wajahku berubah terkejut kala pikiran itu menghantam kepalaku.

Supir.

"Supir truk." suaraku hampir tak terdengar, kiraku hanya membatin namun kata-kata itu terbentuk di bibir. Tapi terlihat pria itu mendengarnya, rautnya berubah terkejut dan kembali bersalah lagi.

"Iya, saya adalah supir truk yang menabrak nak Nabila. Nama saya Adikara. Di sini saya ingin meminta maaf sebesar-besarnya pada nak Nabila atas kesalahan saya." Matanya lurus menatapku, semua jari tangannya mengait erat satu sama lain.

Aku di sisi lain hanya diam mendengarkannya berbicara. Tak ada perasaan apa pun terhadapnya, tidak ada kemarahan, tidak ada iba. Hanya ingin mendengarkan apa yang terjadi dari sudut pandangnya. Aku sudah diceritakan bahwa aku yang lalai karena tidak memperhatikan jalan ketika aku mengendarai motor, terlebih kesalahanku yang tidak menggunakan helm dengan benar sehingga kepalaku kena imbasnya.

"Waktu itu saya tidak tidur sejak malam, saya tetap berkeras kepala ingin melanjutkan perjalanan. Saat itu saya sendirian dan tidak ditemani teman saya. Jadi hari itu saya tetap mengemudi karena pikir saya sebentar lagi sampai. Tapi karena mengantuk saya..." ia menjeda.

"Saya tidak mengemudi dengan benar sampai menerobos jalur kanan, hingga menabrak seorang pengendara motor." Lanjutnya. Ia tampak tertegun dengan ceritanya sendiri.

"Saya disini ingin meminta maaf sebesar-besarnya kepada nak Nabila. Jika saya tidak mengemudi hari itu, nak Nabila tidak akan mengalami semua ini." Tangan-tangan yang semula mengait erat, sekarang agak melonggar dan memperlihatkan betapa jari-jarinya bergetar karena takut.

"Engga apa-apa, Pak. Saya mengerti kalau semua ini adalah kecelakaan. Saya juga melakukan kesalahan. Waktu itu sebenarnya saya ada les dengan teman saya, tapi karena saya tidak mau jadi saya langsung pulang. Pikiran saya saat itu kemana-mana, sehingga engga melihat jalan dengan fokus. Saya ingat orang-orang sudah meneriaki saya di jalan tapi tidak saya hiraukan. Kalau saja saya lebih fokus, kecelakaan ini mungkin bisa di hindari dan Bapak tidak akan merasa bersalah seperti ini."

Bapak Adikara terlihat agak lega. "Sekali lagi saya meminta maaf sebesar-besarnya terhadap akibat yang dialami nak Nabila sekarang."

Aku tersenyum. "Saya menerima permintaan maaf dari Bapak dan saya juga meminta maaf karena semua ini kesalahan saya juga."

Ia mengangguk dan tersenyum sedikit. Dengan itu, ia pun pamit pergi. Aku yakin ia pun sudah berbincang dengan ibuku sebelum aku datang.

Hembusan napas kukeluarkan ketika rumah kembali sepi. Aku tak tahu bahwa obrolan tadi menguras banyak tenaga dan perkataan yang bijak untuk dikatakan agar tidak salah kata. Baru saja aku hendak naik tangga untuk ke kamarku, ibu yang dari luar berlari ke dalam mencegahku menaiki anak tangga.

"Kamu tadi ingat soal kecelakaan tadi." Katanya dengan girang. Tak terdengar seperti pertanyaan tapi seperti pernyataan.

"Iya kan Ibu udah pernah cerita." Aku berbalik menghadapnya dengan kebingungan.

"Iya, tapi ngga ada yang ngasih tahu kalau kamu bolos les pas itu. Ibu juga ngga tahu kalau kamu ada les hari itu." Nadanya semakin gembira dan aku tak mengerti kenapa ini hal yang bagus.

"Besok kamu harus check up ke dokter ya, pasti memorimu akan segera kembali." Katanya sebelum meninggalkanku pergi ke kamarnya.

Apakah tadi itu memoriku yang hilang? Setitik memori tadi kembali sangat mulus sampai aku tidak merasa kehilangan rekap kecelakaanku. Aku kembali berjalan ke kamar dengan pikiran itu. Semakin memikirkannya semakin kosong pikiranku pula. Entahlah aku tak bisa menjelaskannya. Intinya seperti menyusuri sungai tanpa ujung dengan perahu. Semakin aku mendayung, semakin tidak jelas tujuanku.

Aku meloncat ke kasur ingin merebahkan tubuh dan langsung duduk meringis karena luka di sikuku. Tanganku menyusuri sekitar luka sambil meringis tipis.

"Sekarang kamu bisa merasakan sakit?" sebuah suara perempuan menganggetkanku.

Seorang perempuan dengan luka bakar berdiri tepat di hadapanku. Wajahnya datar, tidak ada raut apa pun. Tetapi aura tidak mengenakan kurasakan di bulu kudukku.

Nan KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang