Lembar 27: Kemarahan Alvin Serta Keyakinan Alvin

560 79 16
                                    

Cuman 800an kata... vomment!

Lembar 27

Aku kembali ke sekolah dengan berlari lagi, kali ini dengan perasaan bahagia karena aku masih hidup namun bercampur was-was karena Nora yang mengancam hidupku dan Alvin. Aku harap kita bisa dengan cepat bertemu dengan Ibu Nora, semoga masalah ini bisa terselesaikan berkat ibu Nora. Di sisi lain aku meragukan bisa bertemu dengan beliau. Aku menungubur dalam-dalam pikiran pesemisku. Yang harus aku lakukan sekarang adalah berpikir positif dan optimis. Berpikir pesimis tidak bisa merubah apa pun.

Sampai di sekolah, semua siswa masih dalam kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Pos satpam yang kosong membuatku mudah untuk masuk kembali ke lingkungan sekolah. Setelah menyelinap dari pagar yang dibuka kecil, baru aku akan berlari masuk ke dalam halaman tiba-tiba seseorang mengagetkanku dari samping tembok pagar.

"Alvin!" aku memegangi dadaku. Tepatnya dada Alvin. "Ngagetin aja." Ujarku kaget. Tapi ketika aku melihat rautnya, membuatku tak berani melontarkan kalimat lainnya.

Matanya menatapku menahan marah tapi tak mengatakan apa-apa.

"Maafkan aku, Alvin." Aku mulai panik. Tak pernah kulihat Alvin sebegitu marahnya padaku.

"Kembalikan tubuhku dulu." Mintanya. Dengan cepat aku melakukan apa yang ia inginkan. Aku melepaskan kendali dari tubuhnya dan membiarkan Alvin mengambil alih.

Ketika aku membuka mata, aku sudah dalam tubuh rohku sendiri dan Alvin pada tubuhnya. Dengan wajah yang sama.

"Maafkan aku Alvin, tapi kamu harus tahu kalau aku—"

"Kamu kenapa sih?" Alvin memotongku. "Meminjam tubuhku lalu pergi begitu saja. Meninggalkanku di tengah-tengah sekolah dengan hantu lain dalam waktu yang lama." Kata Alvin, benar-benar marah tapi ia menahan untuk tidak menaikkan nadanya.

Aku membuka mulut ingin mengatakan sesuatu tapi Alvin berbicara lagi.

"Aku bisa saja mati tadi." Alvin kemudian membuat jeda dan menghela napas.

"Maafkan aku," aku benar-benar merasa bersalah telah membuatnya menunggu dan khawatir. Jika Alvin tadi mati, semua itu akan menjadi salahku.

"Apa kamu tahu seberapa khawatirnya aku karena berpikiran bahwa kamu akan mengkhianatiku? Selang beberapa menit tadi aku berpikir kalau kamu sama saja seperti Nora yang hanya menginginkan tubuhku."

Aku menatap Alvin dengan raut terluka. "Aku bukan Nora, Vin. Kalau aku sudah berjanji, aku tak akan melepaskan janjiku. Aku tak ingin mengambil hidupmu, aku cuman ingin kembali ke tubuhku." Bibirku mengalirkan kata-kata itu dengan kesungguhan. Tapi perkataanya itu tetap membuatku agak sakit hati.

"Untuk informasimu, aku belum mati." Dengan begitu aku pergi sementara wajah Alvin berubah menjadi kebingungan.

***

Jika kalian berpikiran kalau aku akan pergi jauh dan tidak akan menemui Alvin lagi, berarti kalian salah. Aku kembali ke rumah sakit tempatku terbaring. Menatap tubuhku yang bersemayam di bawah selimut putih, sembari mendengarkan suara monitor jantung yang berbunyi rendah layaknya lagu blues yang menenangkan. Aku menatap ibuku yang tertidur di sofa, ibu yang berharap anaknya akan bangun suatu hari nanti. Padahal aku sudah bertemu dengannya walau dalam bentuk orang lain. Padahal sekarang aku sedang menatapnya tertidur dengan wajah tidak tenangnya di sofa dengan posisi yang tak nyaman.

Di dalam hati aku terus berdoa semoga ibuku tidak terlalu mengkhawatirkanku dan semoga aku bisa cepat bangun dari tidur yang tak berujung ini. Bagaimana cara agar aku bisa bangun? pertanyaan itu muncul untuk kesekian kalinya. Aku telah mencoba untuk memasuki tubuhku sendirI, tapi yang ada aku hanya menembus hingga lantai kamar. Aku juga sudah berusaha menutup mata, memfokuskan pikiran untuk bangun tapi tak berhasil juga. Aku juga sudah mengalirkan energiku ke tubuhku tapi tak menghasilkan apa-apa.

Semua percobaan gagalku membuat kereta pikiran negatif melintas di benakku.

Apa pada akhirnya aku akan mati?

Jangan-jangan aku memang sudah terjebak di sini.

Mungkinkah aku di sini sekarang untuk menunggu malaikat maut menjemput?

Semua pemikiran ini sudah cukup membuatku stress. Ditambah, kejadian aku dan Alvin tadi. Sejujurnya aku tak tega meninggalkannya tadi, ia masih harus berurusan dengan Nora dengan segala terornya. Aku tak bisa dengan mudahnya meninggalkan Alvin begitu saja.

Suara pintu yang dibuka mendadak menganggetkanku, aku menoleh dari kursi disebelah ibuku yang sedang kududuki. Alvin menyerbu masuk tanpa melihat kira dan kanan lalu kakinya terhenti di depan ranjang tempat tubuhku terbaring. Napas Alvin sedikit memburu dengan leher yang berlapis keringat.

Matanya menatap wajahku yang berbalut luka dengan perasaan bersalah. Hampir seperti... menyesal. Alvin mendekat ke samping kiri ranjang, sehingga punggungnya membelakangi diriku yang berbentuk roh. Kulihat tangannya menggapai wajahku perlahan, sangat perlahan seperti ia takut bahwa aku bukan manusia nyata.

Ketika jarinya menyentuh pipi pucatku, suara monitor naik drastis sebelum kembali ke denyut semula. Alvin menoleh ke arahku yang duduk di kursi setelah menyaksikan perubahan monitor tadi. Tiba-tiba aku menjadi gugup akan reaksinya, Alvin menatapku kaget lalu membolak-balikkan padangannya ke arahku dan tubuhku di ranjang sebelum akhirnya menetap ke arahku yang duduk kursi.

"Oh, Alvin? Kamu kembali?" ibuku dengan suara serak perlahan terbangun dari sofa.

"Ah, iya tante." Alvin berbalik menghadap ibuku.

Ibuku kemudian berjalan ke arah meja dekat ranjangku untuk mengambil air untuk ia minum. "Mau minum?" ia menawarkan Alvin setelah menaruh teko berisi air.

"Engga, tante." Alvin menolaknya dengan sopan.

"Sepertinya saya mengganggu ya tante, kalau gitu saya pergi dulu." Pamit Alvin.

"Eit, engga kok." Kata ibuku menolak keras. "Engga apa-apa di sini dulu, nemenin tante. Tante malah seneng kalau ada temennya Nabila." Ia tersenyum pada Alvin.

"Kalau boleh tahu, kapan kira-kira Nabila akan bangun?" Tanya Alvin.

Ibuku yang mendengar pertanyaan itu tersenyum geli sekaligus sedih. "Tergantung Tuhan dan terserah si Nabila." Katanya singkat sambil mengelus rambutku.

Alvin hanya menatap tangan ibuku yang mengelus rambutku.

"Saya yakin Nabila sangat ingin bangun tapi ia tidak tahu jalan keluarnya, tante." Ujar Alvin, menatapku saat ibuku tak melihat.

Nan KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang