19. Tidak Tahu

29 21 45
                                    

Nyatanya setelah Feli tersenyum melihat kepergian Haikal, masih ada saja orang yang mengganggunya. Siapa lagi kalau bukan Tristan.

"Nama Lo?"

Feli berdecak sebal sendiri. "Kenapa sih?"

"Mau tau nama Lo doang!"

"Kalau gue kasih tau Lo bakalan berhenti  ikutin gue?"

Tristan mengangguk sebagai jawaban.

"Felisa Leona Adelard!"

"Gue kayak pernah lihat muka Lo! Mirip sama seseorang yang dulu gue kenal," ucap Tristan.

Feli memutar bolanya malas. Dari dulu kenapa ngomongin itu sih! Feli sempat tercengang sedetik kemudian. Ia memutarkan badannya. "Siapa namanya?"

Tristan berpikir sejenak. Tadi saja ngusir sekarang malah kaya orang kepo gitu. Tristan mengangkat sebelah alisnya.

"Cewek yang Lo inget gimana bentukannya?" Feli mengulang pertanyaannya.

"Mirip Lo. Tapi, mukanya sedikit beda. Rambutnya hitam panjang, senyumnya manis tapi kadang terlihat judes. Dia kelihatan cantik sifatnya gak jauh beda sama Lo." Tristan bingung sendiri.

"Gue tadi ngomong apa? Please! Kasih tau gue! Penasaran banget!"

"Aneh banget lo! Tadi nyerocos panjang kali tinggi kali lebar jadi volume balok!" Feli mendesah kesal. Cowok aneh.

"Gue ini lupa ingatan kata orang! Cewek yang gue bilang mirip Lo itu selalu datang dalam mimpi gue. Jadi, gue penasaran. Siapa tau Lo bisa bantu gue!"

"Gak berminat!" Feli langsung berjalan meninggalkan Tristan yang masih uring-uringan di tempat. Tidak sengaja seseorang menabrak dirinya hingga membuatnya naik pitam.

"M-maaf kak. Saya gak sengaja," ucap cowok yang tidak sengaja menabraknya. "Jalan pake kaki tu mata Lo buat liat!" bentak Tristan.

Bentakan itu membuat Feli memberhentikan langkahnya dan melihat apa yang tengah terjadi di ujung sana. Terlihat Tristan yang sedang mendorong cowok dengan kacamata itu yang mungkin adalah adik kelas. Karena penasaran Feli memilih untuk ikut mendekat dan mencari tahu apa penyebabnya. Apakah ia penyebab semuanya?

Langkahnya berhenti dan mencoba menerobos kerumunan itu untuk melihat lebih jelas lagi.

"Orang ngomong di jawab!" Tristan membentak cowok itu untuk kesekian kalinya. Namun, tidak ada sahutan darinya. "Bisu Lo?"

Feli menatap dengan penuh antusias dan tanpa ada rasa takut di wajahnya. Semua bergidik ngeri melihat Tristan memukul cowok itu hingga hidungnya keluar darah. Ia terdiam sedetik kemudian melihat darah itu.

"Kakak?" Feli tercengang. Jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya dan mendadak kulitnya seakan terkelupas detik itu juga. Ragu dan bimbang. Feli melangkah untuk mendekati mereka berdua dan hal itu membuat mereka semua tercengang.

Haikal sudah buru-buru mendekati kakaknya. Takut jika ia berbuat nekat dan membahayakan nyawa orang. Feli masih berjalan perlahan menghampirinya. Pandangannya kosong dan pikirannya hanya satu yaitu kakaknya.

"SADAR WOY! JANGAN BALIK KAYAK DULU LAGI LO! ANAK ORANG!" Haikal mencoba menenangkan kakaknya meski dirinya yang menjadi sasaran kemarahannya. Tidak peduli sebanyak apa pukulan yang ia dapatkan sebab itu semua lebih baik daripada orang lain.

"Kal, gak usah nekat Lo!" ucap Zarco yang bergidik ngeri menatap Tristan marah. Ucapannya di angguki oleh Agil, Patrik. Mereka terakhir kali melihat Tristan marah sudah lama setelah ia kecelakaan.

"Gue ngeri lihat Tristan kayak gitu! Berasa balik ke masa suram dia," ucap Patrik sambil memejamkan matanya.

"Siapa sih cewek yang bisa naklukin dia dulu? Heran kenapa bisa gitu Lo," ucap Agil heran.

"Mendingan juga kita ngulang aja daripada jadi samsaknya."

Feli masih terus melangkah menghampiri cowok yang sudah tergeletak lemas itu. Hidungnya mengeluarnya darah yang belum kunjung berhenti. Tristan masih menatapnya dengan penuh amarah, tapi Haikal buru-buru menghalanginya.

Feli mengeluarkan sapu tangannya dari sakunya. Ia menatap sejenak sapu tangan itu teringat akan kejadian yang begitu menyakitkan bagi dirinya. Dengan telaten ia mengusap darah itu dan membantu cowok itu berdiri. "Bangun Lo! Gak usah lemah! Cupu banget lo!"

"Mbak? Ambilin es batu ya?" Feli meminta ibu-ibu kantin untuk memberinya es batu.

Haikal dan begitu juga yang lain heran menatap Feli. Feli mengabaikannya dan terus mengobatinya.

"Untung luka Lo masih terbilang ringan."

Tristan yang masih marah menghampiri cowok itu lagi. Ia menarik sebelah kerah baju miliknya. Feli geram dan dengan cepat menampar pipi Tristan.

Plak...

"AWS..." Semua murid yang menyaksikan hal itu tercengang melihat keberanian dari Feli itu. Tidak ada yang seberani dirinya selama ini. Mungkin ia adalah yang pertama atau mungkin salah satunya dari cewek yang berani.

"Mikir Lo! Anak orang kalau mati Lo mau tanggung jawab pake apa? Nyawa dia lebih berharga dari harta yang Lo punya!"

Feli menunjuk wajah Tristan, "Lo!" Feli menggosokkan bahunya dan menaikkan ujung bibirnya. "Nikmatin masa hidup Lo sebelum Lo ngelakuin kesalahan yang orang lain gak bakalan mau maafin Lo!"

Setelah itu Feli langsung pergi dari kantin dan masih membawa sapu tangannya. Sapu tangan dengan gambar bunga lili.

***

"Kenapa gue harus lihat kejadian kayak gini lagi, sih! Gue bukan pembunuh!" Feli berteriak sekencang-kencangnya. Hatinya sakit dan begitu juga pikirannya. Air mata yang sudah tidak bisa di tahan lagi terus menerus keluar tanpa henti.

Ia memilih pergi ke gedung belakang sekolah agar tidak ada yang melihatnya. Sungguh hidupnya kini berubah setelah kejadian kelam itu.

"Lo harus bisa sembuh! Gue gak mau Lo pergi duluan sebelum gue!"

Dering ponselnya terdengar membuat Feli buru-buru mengambilnya. Matanya memicing melihat nama itu 'Mama'.

Feli masih Malas dan memilih untuk mematikan ponselnya saja. Tidak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, sebelum itu ia buru-buru mengusap air matanya agar tidak berjatuhan lagi. Ia tidak ingin orang lain melihatnya menangis, cukup ia seorang diri yang menahan luka ini sendirian.

Buru-buru ia beranjak dari tempat itu dan tanpa disadari ada sepasang mata yang melihatnya tengah menangis seorang diri. Tidak tau apakah ia mendengar semuanya atau tidak.

***

Sepulang sekolah Feli yang biasanya lewat gerbang depan memilih untuk lewat gerbang samping. Dirinya menebak kalau papa atau bahkan mamanya akan datang mencarinya. Tapi bukan Feli namanya kalau ia tidak punya seribu akal.

Di sekolahnya yang dulu ia sering kali membuat ulah. Bakat panjat pinangnya ia salurkan lewat manjat tebing dengan indah. Bukan hal yang baru lagi jika Feli harus melakukan hal itu untuk kedua kalinya atau bahkan ke seratus kalinya. Saking banyaknya ia melakukannya sampai tidak terhitung. Namun, kali ini ia tidak akan melakukan hal bodoh itu lagi.

"Gue harus cepet keluar dan jangan sampai ketahuan sama bonyok!" Langkahnya sudah cepat untuk segera keluar dari gedung sekolah itu.

"Neng kalau pulang lewat gerbang depan aja," ucap seseorang itu kepada Feli. Feli yang berjalan memberhentikan langkahnya dan menoleh kepada siapa yang bicara.

"Eh, bapak satpam. Kenapa pak?"

"Bahaya lewat situ. Banyak anak cowok nongkrong nanti neng bisa di godain," ujar pak satpam itu.

Feli memutar bola matanya malas. Ia berkutat dengan isi otaknya untuk menemukan alasan yang pas. "Pak, saya mau ketemu sama pacar saya," ujar Feli bohong.

Pak satpam itu malah tertawa membuat Feli bingung sendiri. "Kenapa ketawa pak?"

Pak satpam memegangi perutnya yang masih sakit tertawa. "Mana ada cowok yang mau sama kamu?"

"Awas aja Lo ngerendahin gue lagi!" batin Feli.

"Gak percaya bidik imit! Gue gak peduli!" Feli langsung berjalan melewati gerbang itu.

"Bodoh!"

***

TBC

Haikal dan Feli(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang