34. Musuh dalam selimut

13 9 2
                                    

Sejak kejadian kemarin membuat Haikal masih tidak bisa tenang. Bagaimana ia bisa tenang jika orang yang menyerang dirinya mengetahui hal yang orang lain belum tentu ketahui.

Setelah lama memikirkan hal itu tiba-tiba ia teringat akan penjelasan kakak dan juga Feli hari itu. Tidak mau terbelenggu dalam dilema ia ingin bertanya semua ini. Kenapa dirinya yang tidak tahu akan hal ini menjadi sasarannya?

"Makin gila gue kalau mikirin ini terus," umpatnya dengan menambah laju jalannya.

Disepanjang koridor banyak yang memperhatikan dirinya hanya sekedar mengagumi ketampanannya saja. Aura ketampanan dan juga pahatan di wajahnya tidak bisa di pungkiri sangat membius kaum hawa tetapi itu tidak berlaku untuk Feli tentunya. Selera cewek itu memang sedikit berbeda dari kebanyakan cewek yang ada di sekolah ini.

Haikal menyugarkan rambutnya ke belakang untuk menghilangkan sedikit kegelisahannya. Namun, langkahnya terhenti. "Kalau gue tanya secara langsung itu tandanya orang itu bisa ngawasin gue. Bisa aja kalau kak Tristan sama anak culun kena imbasnya?"

Akhirnya, Haikal membatalkan niatnya untuk bertanya saat ini. Lebih baik jika ia bertanya nanti saja sepulang sekolah. Perasaannya tidak enak seperti ada yang sedang mengawasinya.

"Gue bukan cowok bodoh yang bisa lo mata-matain seenak jidat bapak lo!" umpatnya. Lalu, ia pergi dari sana menuju lapangan basket untuk mencari udara segar.

Sosok seseorang yang menggunakan Hoodie hitam itu terlihat kesal akan hal itu. Merasa kalah rencananya sia-sia saja. "Sial! Kenapa gue ngerasa dia udah tau!"

***

Gadis yang masih belum tersenyum itu hanya memandangi hamparan bunga di taman rumah sakit. Seperti namanya Flora, ya dirinya sangat suka dengan bunga. Sedari kecil bunga yang berada di rumahnya adalah ia yang merawat dan menanaminya.

"Kapan aku bisa tenang?" gumamnya. Tangannya sudah memegang satu tangkai bunga berwarna kuning. Warna yang melambangkan kesedihan dan bunga melati berwarna putih yang melambangkan kesucian.

"Dunia ini masih butuh orang baik bukan orang yang sok baik, padahal hatinya penuh dengan tipu muslihat. Penampilannya tidak menentukan kalau dia baik," gumamnya lagi.

Gadis itu hanya terdiam diri menikmati terpaan sinar matahari di pagi hari. Sengenge yang begitu cerah membuatnya bisa merasakan kebahagiaan walau hanya sedetik pun.

"Mbak Flora? Kita masuk sekarang ya?" ajak perawat yang menemani Flora. "Nanti, kalah kelamaan kondisi mbak bisa drop lagi," sambungnya.

Flora hanya mengangguk sembari meletakkan bunga itu kembali di di atas rumput.

"Feli kamu dimana?" batinnya.

***

"Yamet kudasi!" pekik Patrik dengan malas. Suara cemprengnya itu begitu menggelegar di segala penjuru aula. Ruangan yang sudah tertutup itu akan menampung suara yang berada di sekitarnya. Nada sumbang dari suara Patrik pun hak kalah nyaringnya.

"Bang yamet! Ara kudasi!"

"Ya Tuhan! Berikanlah hidayahmu kepada Patrik star yang bodoh ini!" pinta Agil dengan menengadahkan kedua tangannya keatas. "Kasihanilah jiwanya yang kurang belaian ini," imbuhnya.

"AMIN!"

"Anjing lo! Seenaknya aja lo ngatain gue kurang belaian!" protes Patrik pada Agil. "Kalau gue kurang belaian kenapa? Mau gue belai lo?"

Mendengar ucapan Patrik membuat Agil bergidik ngeri. "Jijik tau gak sih lo? Berasa homo!"

"Lo homo Gil? Gak nyangka gue!" Zarco ikut menambahi percekcokan mereka berdua. "Agil bukan kurang belaian!"

Haikal dan Feli(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang