30. Menghindar

10 7 0
                                    

Haikal dan juga keempat temannya sedang berlatih basket di lapangan bawah. Seperti biasanya kalau Agil memilih duduk memperhatikan mereka tanpa ada rasa ingin bergabung. Duduk memperhatikan sambil ngemil itulah kebiasannya, namun saat ini bertambah dengan hobi barunya yaitu suka mempotret alam atau apapun yang ia anggap bagus termasuk aib sahabatnya sendiri.

"Bertahun ku menanti cinta ini terbalas," gumam Agil sambil menikmati Snack yang ia makan. "Entah sampah kapan ku harus menunggu! Ketemu cewek yang cantik kayak bidadari!"

Haikal menggelengkan kepalanya malas mendengar celotehan tidak jelas dari Agil. Ia sibuk berlatih basket untuk kejuaraan yang akan datang.

"Zarco! Ambil bolanya!" Haikal berteriak kearah Zarco sembari melemparkan bolanya. Dengan mudah ditangkapnya.

Setelah bola itu masuk ke dalam ring Zarco mendekati Haikal yang terlihat gusar wajahnya tidak seperti biasa.

"Ada masalah apa?" Zarco langsung merangkul pundak Haikal menuju ke tepi lapangan. "Kalau ada masalah cerita sama gue!"

"Nggak papa. Cuma lagi pusing doang gak punya duit," ujarnya datar.

"Kalau gak punya duit sama aja kali Kal!" sahut Agil.

"Bohong kalau Lo bilang gak punya duit! Nyokap lu kaya dan peninggalan papa Lo banyak gak takut miskin!" Patrik menyahut Snack milik Agil dengan cepat. Sebelum di omeli dengan jurus seribu bacotan Patrik segera menghindar dari Agil yang menatapnya dengan mata berapi-api.

"Mereka yang kaya bukan gue!" Haikal mengelap keringatnya dan meminum air dalam botol mineral itu.

"Kal? Anterin Feli pulang!" Suara itu menarik perhatian mereka berlima. Tristan berjalan menghampiri mereka.

"Gak bisa," bohongnya. Alasannya adalah ia ingin menghindar dari cewke yang sudah mengobrak-abrik pikirannya beberapa hari ini. Kalau tidak menghindar bahaya untuk kesehatan mentalnya.

"Yakin?"

"Yakin. Lagian kenapa bukan lu yang anterin?" Haikal bertanya. "Lagian urusan dia sama lu bukan gua!"

"Gue ada urusan yang gak bisa di tinggalin. Lagian ini penting," ujar Tristan. Lalu, ia berjalan mendekati Haikal, lalu membisikkan sesuatu.

Haikal menatapnya tidak percaya. "Gak gitu juga konsepnya. Anak culun itu selalu bikin gue darah tinggi asal Lo tau!"

"Suka aja gengsi!" Bukan Tristan melainkan Dion. Mereka menatap Dion penuh tanda tanya. "Kenapa liatin gua kayak gitu? Bukan ngomongin Haikal tapi nih!" Dion menunjukkan room chatnya bersama dengan temannya yang curhat masalah hatinya.

"Haikal ada hubungan sama tu anak culun?" Agil bertanya heran. Perbincangan kedua kakak beradik ini membuat pikirannya ambigu.

"Selera lo turun apa gimana sih Kal?" Patrik menatap Haikal dan sibuk berselancar dengan dunianya sendiri yaitu bermain tiga berdarah. Memang aneh cowok satu ini. Mainnya masih saja tiga berdarah.

"Bocil satu ini lagi!" Zarco mengusap dadanya untuk sabar. "Udah gede masih aja main kayak gitu!"

"Budaya tradisional harus dikembangkan! Lagian kapan lagi kita bisa memperkenalkan budaya kita ke luar? Lagian anak zaman sekarang taunya cuma main gadget!" ujar Patrik.

Ia kembali menatap mereka yang masih diam dan memperhatikan dirinya. Tapi, satu pandangannya adalah tertuju pada Dion yang masih asik bermain game di ponselnya. "Permainan zaman dahulu itu lebih seru, karena dilakukan secara bersama-sama sampai lupa waktu. Kalau sekarang udah ganti sama gadget yang bikin lupa semuanya!"

"Ada temen disampingnya yang di fokusin malah ponselnya!"

"Gue denger!"

"Gitu denger. Jangan nge-game mulu! Gak semua anak punya kesempatan bisa sekolah dan hidup enak. Kita yang udah di kasih nikmat ini harus bersyukur," ujar Patrik. Setelah mengeluarkan kultumnya ia menyugarkan rambutnya kebelakang.

"Otak gue lagi bisa mikir bagus ini!" Dengan bangganya ia menyombongkan diri. "Gimana nasihat gue?"

"Salut saya mendengarnya!" Agil memberikan dua jempol kepada Patrik.

"Gue tau kalau lu udah tau sifat aslinya," batin Tristan menatap Haikal.

"Yaudah, kalau gak mau biar Agil aja yang anterin," ucap Tristan yang disambut keterkejutan Agil. "Gue?" Agil menunjuk dirinya sendiri.

"Gue jalan duluan," ucap Haikal meninggalkan lapangan itu dan menuju parkiran. Seluruh atensi mereka menatap Haikal dengan penuh tanya.

***

Karena Tristan tidak bisa mengantar Feli maka gadis itu berjalan sendirian dengan memainkan krikil yang ada di jalanan. Ia menendang satu persatu krikil itu dengan tatapan nanar.

Dengan rambut yang ia ikat kuda serta topi berwarna hitam polos menghiasi dirinya. Terlihat tomboy tetapi juga menawan.

"Gini banget ya nasib gue?" Feli bergumam seorang diri tanpa tujuan yang jelas. Mau pulang? Lagi males di rumah gabut. Mau main? Kemana?

"Kodok ngorek ... Kodok ngorek ... Ngorek nang blumbangan. Teot ... Tek blung! Teot ... Tek blung! Teot ... Teot ... Tek blung!" Feli terkekeh sendiri bersenandung layaknya orang gila yang tidak tau aoa-apa.

"Ikut balap liar lagi apa ya?" gumamnya.

***

Awan di langit masih cerah. Lemparan batu-batu kerikil di atas air danau terlihat asal. Haikal gabut saking gabutnya ia melempari danau itu dengan batu. Tempat ini sepi sehingga membuatnya bisa merasakan ketenangan lebih baik.

"Gue ini kenapa?" Kembali melemparkan batu itu Haikal mengusap wajahnya yang terlihat frustasi. "Wajah dia kenapa masih melekat di otak gue! Dinda Lo kemana sih?"

Haikal menatap danau itu dengan sedih. Bayangan masa lalunya kian muncul dan membuatnya khawatir. Bisa dibilang kondisinya saat ini kacau.

"Gue gak bisa jagain lu! Gue ini cowok apaan?" Ingin menangis tapi air matanya tidak bisa keluar.

"Tempat ini yang lu sukain kan? Sekarang gue disini dan Lo bisa dateng! Apapun yang lo mau bakalan gue turutin!" Haikal memejamkan matanya lelah.

Ia beranjak mendekati danau itu dan mengambil airnya untuk menyirami wajahnya. Beberapa kali ia mengambil air itu untuk membuat wajahnya kembali segar seperti sedia kala dan tidak lupa berdoa agar bisa melupakan Feli.

Setelah, lama menenangkan diri ia memilih untuk pulang dan istirahat.

***

Ditengah jalan bukannya bisa melupakan cewek itu malah sekarang disajikan penampakan yang membuatnya bergidik ngeri sendiri. Ia segera memberhentikan motornya dan menghampiri Feli yang sedang berdebat dengan seseorang.

"Mau Lo apasih?"

"Maksudnya apa? Gua gak pernah nampar lu!" Feli tetap bersikukuh pada pendiriannya. "Friska tawuran aja gue gak tau Mar!"

"Tapi nyatanya Lo emang nampar gue!"

"Asal Lo tau! Gue emang ada disana tapi gue langsung pergi karena gak mau terlibat. Kalau ada yang ngaku-ngaku itu gue pasti bukanlah!" Feli mengusap wajahnya gusar. Harus berapa kali dirinya menjelaskan kepada cowok ini.

"Sekarang gue tanya sama lo!" Feli menjaga emosinya agar tidak terpancing saya ini. "Waktu itu apa gue ngucapin atau atau dua patah kata?" Cowok itu menggeleng.

Feli menjentikkan jarinya di depan cowok itu dengan senyumnya. "Lo kenal banget gimana gue! Bahkan, tentang kakak aja Lo tau. Mau gak percaya sama gue Lo?" Ia berdecak pelan.

"Kalaupun Lo gak percaya gue gak maksa. Karena semua itu tergantung sama keputusan Lo."

"Gue bakal buktiin kalau gue itu gak salah dan gak nampar lu!"

Haikal dari kejauhan memperhatikan keduanya bingung. Dirinya bertanya-tanya siapa cowok yang barusan berdebat dengan Feli.

***

TBC

Haikal dan Feli(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang