TUJUH

26.9K 4K 18
                                        

Aku membaringkan diri menyamping di atas ranjang. Aku terbangun dari tidurku karena bermimpi buruk. Mimpi yang benar-benar buruk di mana hanya ada aku sendirian di sana. Kesepian. Sama seperti saat ini.

Saat Ezel mengabaikanku, bayang-bayang di kehidupanku dulu seakan menghantui. Dulu aku juga selalu sendiri bahkan saat berada di ambang kematian sekalipun. Aku tak mau mengalaminya juga kali ini. Padahal aku sudah cukup bahagia di kehidupan ini meski mendapat takdir yang lucu karena harus menjadi anak dari mantanku sendiri.

Setelah memikirkannya, aku tidak yakin Ezel menjauhiku atas inisiatif sendiri. Aku sudah mencoba untuk berpikir positif, tetapi itu tetap tidak bisa. Pikiranku selalu melayang kemana-mana. Khususnya pada Ethan, si tersangka utama dalam krisis yang kujalani saat ini.

Pada akhirnya, malam itu aku memaksakan diri untuk tidur. Menggosok mataku yang berair, aku berpikir.
Besok aku akan bertemu Ethan.

***

Di sepanjang lorong, aku berjalan dengan kepala menunduk. Mengabaikan beberapa pelayan yang mencoba menyapaku. Sial! Karena menangis semalaman, mataku jadi bengkak di pagi harinya. Si kembar tiga juga bertanya-tanya. Tapi aku tidak menjawab mereka karena aku malu. Walau nyatanya aku masih empat tahun, pokoknya itu memalukan!

"Hahhh." Aku menghela napas untuk kesekian kali. Tubuhku seakan tak bertenaga padahal aku sudah makan tadi. Sekarang ini, aku sedang melangkahkan kaki menuju ruang kerja Ethan. Untungnya kamarku dan ruang kerjanya ada di bangunan utama. Jadi, jaraknya dibilang jauh tidak, dibilang dekat juga tidak. Err, aku sudah pusing memikirkannya.

Aku sudah tiba di depan tempat yang kutuju. Lalu pintunya terbuka, dan yang keluar adalah Ezel dengan tampang datarnya. Untuk suatu alasan, dia terkesiap sesaat melihatku. Tapi dia hanya diam. Seperti beberapa hari terakhir, dia bahkan tak mau menyapaku lagi. Dia mengambil langkah maju. Jadi aku menarik lengan bajunya yang serta-merta menghentikan langkah dia. Dia menunduk untuk menatapku sedangkan aku mendongak. Walau dia masih umur sepuluh tahun, tapi kakakku ini tinggi sekali untuk anak seumurannya.

"Kak," panggilku pelan. Dia tidak menjawab. Rasanya aku ingin menangis namun segera kutahan.
"Kak Ejel," panggilku lagi dan dia tetap sama. "Kakak benci aku?" Aku bertanya pasrah. Ayolah, setidaknya katakan sesuatu seperti kemarin. Jangan mendiamkanku seperti ini!

Aku menatap Ezel lagi dengan mata memanas. Sekarang dia bahkan menolak menatap mataku. Aku frustasi, sumpah.
Kemudian aku mendengarnya menghela napas seraya menyugar rambut ke belakang.
"Evy, Kakak sibuk. Lain kali saja bicaranya," ucapnya dengan mata terpejam.

Aku memaksakan diri untuk mengangguk dan melepas peganganku pada lengan bajunya.
"Begitu ...," kataku lirih, "Yah, akuh tidak akan gangu Kakak lagi."

Sampai Ezel pergi tanpa sepatah kata, aku masih terus menunduk. Menatap lantai marmer yang dingin dengan pandangan nanar.

***

"Ada apa?"

Aku mengabaikan pertanyaan Ethan dan memilih duduk di sofa yang ada di depan meja kerjanya. Dia menaikkan sebelah alis tanda binggung. Aku masih bergeming sampai akhirnya dia duduk di depanku dengan helaan napas lelah.
"Ada urusan apa datang ke sini?" Dia bertanya lagi.

"Kenapa Ejel menauhiku?" tanyaku balik. Sialnya, lidah ini membuat ucapanku menjadi cadel. Arghh, kesan seriusnya jadi hilang, tahu! Aku mendongakkan sedikit kepala untuk melihat ekspresi Ethan.

Dia menghela napas lagi. Wah, di sini aku juga stres tapi bisa-bisanya dia ikut menunjukkan wajah frustasi. Pada dasarnya yang namanya mantan memang mengesalkan, ya.

"Kenapa kau bertanya tentang itu padaku?"

"Aku yang beltanya  lebih dwulu."

Dia melirikku kemudian menggeleng dan menjawab, "Aku tidak tahu."

'Ethan oh Ethan. Andai di kekaisaran Arcturus ini sihir hitam legal, sudah kumusnahkan kau. Tidak peduli lagi dengan wajahmu itu!'

Pada akhirnya, hari itu Ethan tetap tidak mau bicara.

[]

Cameron's HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang