DUA PULUH

15.7K 2.6K 78
                                        

"Ambil ini. Hadiah."

Aku menatap lekat benda yang disodorkan Ethan sebagai hadiah pemberian katanya. Itu adalah boneka beruang imut dengan warna putih dan dihiasi pita pada lehernya. Apa ini? Hubungan kami ternyata memang sudah sedekat ini sampai-sampai bisa memberi hadiah? Wah menakjubkan. Padahal niatku datang hanya untuk memastikannya dia hidup atau tidak. Tapi, dia menyiapkan hadiah untukku.

Ekhm. Ini hal yang bagus. Jadi aku mengulurkan tangan dan langsung memeluk boneka yang ukurannya setara dengan tubuhku. Entah bonekanya yang besar atau memang tubuhku yang kecil. Padahal tadi Ethan bisa memegangnya dengan gampang.
"Te-telima kacih ...." ucapku dengan gugup. Ah, rasanya masih canggung. Mungkin aku harus lebih sering berinteraksi dengannya agar aku bisa menganggapnya seperti seorang ayah. Persis seperti aku mengganggap Ezel seorang kakak. Bagus. Tahap selanjutnya, agar keluarga ini normal aku akan memulai pendekatan lain lagi nanti.

Tapi tunggu! Aku ingat sesuatu sekarang.
Aku menatap Ethan yang masih sama canggungnya denganku.
"Emm, hadiah utuk Ejel ada?" Tidak adil kalau dia hanya memberiku hadiah. Orangtua tidak boleh diskriminatif terhadap anaknya. Itu tidak bagus untuk perkembangan dan pertumbuhan mental si anak. Jadi aku harus mengingatkan.

"Ya ...." Ethan menjawab dengan lirih. Hm, baguslah kalau ternyata dia menyiapkan hadiah untuk Ezel juga. Itu artinya, sekarang Ethan memang benar-benar ingin bertindak sebagai orangtua yang baik. Aku harus mendukung. Tapi aku penasaran. Apa mungkin kejadian saat penyerangan membuatnya mendapat hidayah? Itu ... walaupun dia awet muda, tapi umur Ethan 'kan sudah mencapai kepala tiga. Batas umur tidak ada yang tahu, iya 'kan? Ekhm. Aku saja dulu mati muda karena penyakit.

Bisa saja nanti Ethan mati terus reinkarnasi di dua puluh tahun kemudian menjadi anakku. Argh—tidak, tidak!
Pergilah pikiran buruk!
Aku tidak mau menghadapi drama sialan seperti ini lagi. Cukup kali ini saja.

Intinya, sekarang Ethan benar-benar berubah. Biasanya orang bilang kalau seseorang itu sifat dan sikapnya berubah tandanya di mau mat—ah, pikiran buruk sialan!

Aku menghirup udara dan membuangnya dengan perlahan. Aku harus melatih pikiranku agar tidak semena-mena.

"Oh, iya. Ini sudah malam. Lebih baik kau istirahat." Ethan berbicara setelah terkikis sedikit atmosfer canggung di sekitar kami. Ah, kurasa perkataanya itu tidak pantas diucapkan oleh seorang yang dari pagi hingga ke pagi lagi selalu berdiam diri di ruang kerjanya.

Aku turun dari sofa dengan hati-hati dan menatapnya.
"A-ayah juga itilahat," kataku lalu melambaikan tangan tanda pamit.

"I-iya." Ethan menjawab dengan kikuk. Meski begitu, aku bisa melihat ia tersenyum lembut padaku.

Bagus. Saling perhatian itu penting dalam kekeluargaan.

Tunggulah Ethan! Aku akan membesarkan dan mendidikmu menjadi seorang ayah yang baik. HOHO.

***

"Eh, Kak. Kakak ada dapat hadiah dali Ayah tidak?" Pagi-pagi sekali, aku mendatangi Ezel ke kamarnya hanya untuk menanyakan ini. Aku hanya penasaran apakah Ethan benar-benar memberi Ezel hadiah juga. Memberi hadiah bisa dilakukan sebagai bentuk pendekatan. Kalau mereka bisa akrab sebagai ayah-anak itu 'kan hal yang bagus. Selama ini kami sudah terlalu bersikap asing.

"Iya." Ezel menjawab pertanyaanku dengan tidak minat.

"Eh? Kakak tidak cuka hadiahnya, ya? Memangnya Ayah kaci apa?"

"Oh, itu ... Ayah memberi sebuah pedang."

Ah, itu hadiah yang bagus diberikan pada anak seperti Ezel yang punya minat dalam berpedang. Tapi kenapa ekspresi kakakku ini seperti tidak senang, ya? Aku tidak yakin bahwa Ezel tidak suka hadiahnya. Hm, apa mungkin ia masih belum bisa menerima kebaikan Ethan? Yah, untuk anak seumurannya itu wajar saja karena selama ini Ethan yang bersikap acuh tak acuh lebih dulu.

Tapi sekarang Ethan ingin melakukan hal yang baik. Aku tahu memaksa Ezel untuk menerima itu akan sangat egois tapi ... aku ingin hubungan mereka membaik juga.

Aku mengambil langkah maju dan ikut duduk di samping Ezel yang anteng membaca buku.
"Kak," panggilku.

Ezel langsung meletakkan bukunya dan menatap penuh padaku.
"Ya, Evy?" Suaranya seperti biasa. Selalu manis dan lembut.

"Kakak benci Ayah, ya?" Aku bertanya dengan hati-hati.

"Iya." Ezel menjawab langsung. Ah, ternyata benar dugaanku. Dia pasti benci diabaikan oleh ayah sendiri.
"Kakak benci Ayah yang selalu mendekati Evy."

Eh?

"Akan lebih baik kalau Ayah mengabaikan kita berdua seperti dulu."

Eh?!

"Ayah pasti akan berniat memonopoli Evy seperti yang dia lakukan pada Ibu."

Eh?!!

"Pokoknya Kakak benci Ayah yang jadi pengganggu. Padahal si Logan sialan sudah cukup melakukan itu."

Eh?!!!

Tunggu dulu! Jadi, alasan kebenciannya itu karena Ethan dekat-dekat denganku? Bukan karena ia sedih sudah diabaikan dulu?!
Astaga, Ezelll. Kecintaanmu padaku sudah tidak waras.

[]

Cameron's HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang