TIGA PULUH TUJUH

4.7K 924 33
                                    

Mansion yang tampak mewah itu disertai dengan ornamen yang sama mewahnya pula. Sekarang aku bisa mengerti kenapa Duke Carson Cameron—ayah Ethan—setuju untuk menjalin hubungan dengan keluarga Florence, keluarga mendiang Duchess. Meski tak sekaya keluargaku dulu, jelas sekarang keluarga ini terlihat mendominasi. Lagi pula, untuk ukuran Carson Cameron, pria tua itu tak akan mau menjalin hubungan jika tidak memberi dia keuntungan.

Yah, untuk sekarang ... kekesalanku karena harus berkunjung ke rumah Kakek-Nenek jadi sedikit berkurang. Hey, maksudku aku adalah cucu orang kaya. Jadi, aku tidak akan kesal karena hal itu. Terima kasih untuk Ethan, karena memilki mertua seperti ini.

Ngomong-ngomong, tadi aku sudah bertemu dengan Kakek dan Nenek atau lebih tepatnya, orang tua Livia Florence—ah, maksudku Livia Cameron. Mereka menyambut aku dan Ezel dengan ramah dan hangat. Mereka juga mempersilahkan kami untuk istirahat sebelum makan malam bersama. Aku juga dilayani dengan baik di sini. Benar-benar deh, jadi orang kaya itu sangat menyenangkan.

Tapi ada satu masalah. Ini terkait mentalku. Aku cukup sedih karena tidak bisa bertemu Aster-ku yang imut dan bermain bersama. Ah, semoga dia tidak mendapatkan intimidasi dari Ethan selama aku tidak ada di sana. Apalagi Logan, sulit dipercaya bahwa aku juga tiba-tiba merindukan putra mahkota konyol itu. Sewaktu masih berdiam diri di mansion Cameron pun, dia sudah jarang berkunjung karena kesibukan mengemban tugasnya. Ck, tidak bisa kubayangkan seberapa frustasinya anak itu karena tidak bisa melihat wajah imutku.

"Evy, besok Kakak akan menemanimu berkeliling melihat-lihat tempat ini. Mau 'kan?" Suara Ezel yang terdengar lembut dan ringan menyapa indera pendengaranku. Dia juga tersenyum dengan manis sampai-sampai tehku yang cukup pahit jadi tersamarkan karena melihat wajahnya itu.
"Ada taman yang indah di sini. Kau kan suka melihat bunga." Ezel melanjutkan.

Aku mengangguk dan tersenyum.
"Baiklah!" jawabku dengan semangat. Ah, betapa senangnya aku bisa menikmati waktu-waktu damai seperti ini. Semoga hal seperti ini tetap berlanjut. Semoga saja.

***

Berbeda dengan mansion Florence yang aman dan damai. Di kediaman Cameron tidak seperti itu. Karena di rumah hanya ada Ethan dan manusia yang tak dianggap hidup (Aster), suasana mansion itu tampak suram karena tak adanya kehadiran Evy—si pemersatu manusia-manusia tak waras.

Aster sendiri sedang asik menghabiskan waktunya di tempat yang penuh dengan buku-buku yang berjejeran rapi di lemari tertentu. Yap, dia sedang berada di perpustakaan. Belakangan ini Aster banyak membaca buku mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan sihir.
Terutama buku tentang bagaimana caranya meningkatkan mana.

Aster yang menutup bukunya menolehkan pandangan ke arah jendela kaca. Di luar sana salju masih turun. Tapi sudah tampak jelas bahwa harinya sudah petang. Aster tersenyum dengan kecil ketika mengingat Evy. Anak perempuan itu pasti sudah berada di rumah neneknya sekarang. Dan di sini Aster sendirian ... penuh dengan tekanan dari Ethan.

"Hah ...." Aster mendesah dengan frustasi sebelum akhirnya turun dari kursi. Berjalan keluar dari perpustakaan dan mengabaikan seorang mata-mata yang Aster yakin seratus persen dikirimkan oleh Ethan. Lama hidup di jalanan, Aster menjadi orang yang cukup was-was. Dia cukup mengetahui saat ada sesuatu yang berpotensi menyakitinya mendekat. Jika dulu Aster tak bisa melawan. Tapi kalau sekarang ... masih belum bisa juga, sih.

Karena itu, Aster harus bisa menjadi kuat dengan cepat. Dia harus mencari sesuatu yang bisa meningkatkan mana miliknya dengan lebih baik. Saat itu, mata merah Aster dipenuhi dengan binar semangat dan pipinya sedikit merona saat lagi-lagi dia memikirkan Evy. Bocah delapan tahun itu tak menghiraukan tatapan aneh orang yang memantau dirinya alias si mata-mata kiriman calon ayah mertua tersayang. 

***

Dah, mau berduaan sama tugas lagi. Bye-bye.

Cameron's HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang