TIGA PULUH DELAPAN

8.2K 1K 76
                                    

"Halo, Kakek dan Nenek." Aku tersenyum dan sedikit membungkuk saat menyapa Count dan Countess Florence. Meski sudah memilki umur yang panjang, kedua orang itu masih tampak segar. Count Florence tidak memilki penerus, itu sebabnya dia masih menjadi pemimpin keluarga dengan tubuhnya yang sehat itu. Sebenarnya, aku sedikit canggung untuk memanggil mereka kakek dan nenek. Tapi, mau bagaimana lagi?

"Evy, sini duduk di sebelah Kakak." Ezel tersenyum dan membantuku duduk di sebelahnya. Memang perhatian sekali kakakku ini. Meski masih remaja, dia cukup telaten dalam merawatku. Aku bahkan hampir merasa bahwa Ezel-lah ayahku, bukan si Ethan.

Setelah aku duduk di kursi makan dengan nyaman, aku melihat jejeran makanan yang tersusun rapi di atas meja. Banyak sekali hidangan yang menggugah selera, sampai-sampai aku merasa kalau air liurku menetes. Aku jadi malu sendiri dan menatap Nenek yang duduk bersebrangan dengan Ezel tersenyum melihatku.
"Makan sepuasmu." Begitu kata beliau.

Oh, tentu saja aku akan makan sepuasku. Kecil-kecil begini aku jago makan. Sehari aku bisa menghabiskan dua steak daging, belum lagi hidangan penutup yang melimpah. Bodohnya kupikir ini efek kelaparan di masa lalu, tapi itu tidak mungkin. Ini karena aku memang punya nafsu makan yang kuat. Untung saja orang-orang di Cameron tidak mempermasalahkan.

"Setelah makan, Kakak akan mengajakmu berkeliling." Ezel membisikkan sesuatu padaku sebelum fokus pada makanannya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk dengan ceria.

***

Sesuai dengan yang dikatakan Ezel. Dia mengajakku mengenali kediaman Florence dengan sangat baik. Dimulai dari bagian internal tempat ini. Ezel sangat mengenalinya dengan baik, dia menjelaskan setiap ruangan dengan detail. Dan pemberhentian terakhir kami adalah kamar Livia dulu. Atau bisa kubilang ... kamar ibuku (?)

Ezel membuka pintu kayu di depan kami dan secara serempak, kami melangkah masuk.
"Terlihat sederhana ...," gumamku yang ternyata masih didengar oleh Ezel.

Kakak laki-lakiku itu tersenyum dan berkata, "Ibu memang menyukai hal yang sederhana. Tapi beliau punya selera yang bagus. Bukankah kamar ini menarik, Evy? Kakak selalu menyukainya." Saat Ezel berbicara begitu, aku jadi memperhatikan kamar ini lagi. Dekorasi kamarnya memang indah dan melihat reaksi Ezel itu, dia pasti sangat menyukai segala hal tentang ibunya—ekhm, maksudku ibu kami. Dia juga pasti sangat menyayangi mendianh Duchess. Aku jadi penasaran orang seperti apa dia itu.

"Lihat meja rias Ibu. Ada beberapa aksesoris lama di sini." Aku berjalan menuju meja rias yang ada di dalam kamar itu dan memperhatikan setiap aksesoris yang Ezel maksud. Aksesoris-aksesorus itu tersipan dalam kotak rias dan warna hijau sangat mendominasi aksesorinya. Jadi, bisa kusimpulkan bahwa mendiang Duchess menyukai warna hijau. 
"Oh, yang ini terlihat cocok untukmu." Saat Ezel berbicara lagi, aku tak terlalu mendengarkannya. Mataku fokus menatap sesuatu pada kotak rias itu.

Ada sebuah logam bulat di sana yang dijadikan sebuah bandul. Tali kalungnya hanya seperti benang tebal biasa. Itu terlalu sederhana, bahkan sangat sederhana sampai aku tidak yakin itu termasuk perhiasaan. Tanpa diperhatikan oleh Ezel, aku mengambil kalung itu. Melihat logamnya dan baru saja menyadari bahwa di atas logam bulat itu terdapat sebuah lambang. Sebuah hewan dengan kepala dan sayap elang namun tubuh mirip singa. Aku rasa aku pernah melihat sesuatu seperti ini juga. Namun aku lupa. Jadi, secara diam-diam aku memasukkan kalung itu ke sakuku.

Aku akan mencari tahu tentang ini nanti.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 13, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cameron's HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang