TIGA PULUH

9.4K 1.9K 116
                                    

"Sakit 'kan? Makanya saat seseorang menasehati itu didengar, paham?!"

"Ta-tapi itu salahmu! Salahmu mau mendekatiku terus!"

Duh, gemas deh sama si imut ini. Sudah ditolong naik kembali ke ranjang, bukannya bilang terimakasih malah terus berteriak-teriak padaku. Aku 'kan tidak tuli!
"Saat seseorang memberi pertolongan, kau harus mengucapkan terimakasih, paham?!" Aku memberinya nasehat baru lagi tetapi dia tidak menggubris sama sekali.
"Apa tidak ada yang mengajarimu hal dasar seperti itu?"

"Tidak ...." Si imut menjawab dengan pelan kali ini. "Tidak ada siapa pun yang mengajariku tentang sesuatu."

Eh? Aku rasa aku sudah membahas sesuatu yang sensitif untuknya. Atmosfer di sekitar kami berubah menjadi suram.
Benar juga. Kami 'kan menemukan si imut di jalan, mungkin dia tidak punya keluarga atau semacamnya?

"Ekhm." Aku berdehem dengan canggung dan duduk di dekatnya yang sudah tidak lagi menghindar.
"Aku minta maaf untuk pertanyaanku barusan." Aku berucap dengan hati-hati.
"Tapi aku boleh bertanya lagi 'kan? Supaya lebih nyaman, siapa namamu?"

"Huh?" Si imut yang menunduk, mendongak dan bola matanya yang berwarna merah itu menangkap penuh bayanganku.
"... Ter ...." Dia berbicara dengan sangat-sangat pelan. Aku jadi tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

"Kau bilang namamu siapa? Peter?"

"Kubilang Aster!"

Astaga, sialan! Kenapa dia suka membuatku kaget dengan berteriak begitu? Tadi 'kan salahnya sendiri berbicara dengan pelan. Baiklah, Evy .... Sabarkan dirimu.
Aku imut, aku sabar.

"Hanya Aster?" Aku bertanya lagi dan mendapat gelengan dari si imu—maksudku Aster.
"Lalu, apa nama lengkapmu?"

"Asterion Da—ah, tidak. Asterion saja."

Hm? Aku rasa dia ingin menyebutkan marga atau semacamnya. Tapi kalau dia tidak mau mengatakannya, ya sudahlah. Lagi pula nanti aku akan tahu. Mustahil Ezel tidak akan mencari tahu identitas Aster nantinya.

Satu hal lagi. Setelah kupikirkan, bukankah nama panggilannya imut? Aster ... itu nama bunga yang juga melambangkan cinta.

"Baiklah Aster, kau akan tinggal di sini selama yang kau mau karena kakakku sudah mengizinkan. Ngomong-ngomong, kau punya keluarga?"

Dia tidak menjawab. Huft ... sudahlah. Dari tadi memang dia tidak mau membahas tentang hal yang berhubungan dengan itu mau bagaimana lagi? Aku juga tidak mau memaksanya mengatakan sesuatu yang tidak ia suka.

Aku memutuskan turun dari ranjang dan membiarkannya untuk beristirahat. Sekalian aku ingin memanggil tabib untuk memeriksa keadaanya. Tetapi belum sempat kakiku menapak lantai marmer, si imut—duh, maksudku Aster menarik lengan gaunku.

"K-kau mau ke mana? Begitu tanyanya. Astaga, kalau seperti ini dia jadi terlihat seperti adikku sungguhan. Kenapa dia sangat imut? Jantungku tidak kuat. Bisa-bisa keimutanku tersaingi, nih.

Memikirkan itu entah kenapa aku jadi sebal. Hah, sialan. Sifat kanak-kanakku ternyata masih ada.
Aku melepas pegangan Aster dan menapak sempurna di atas lantai.
"Aku mau keluar supaya kau bisa istirahat."

"Ta-tapi aku ta-kut sendiri ...."

"Tidak, kok. Kau tidak sendiri. Di bawah kolong kasur ada seseorang yang memperhatikanmu. Di jendela ada mata yang mengintip. Di langit-langit ada makhluk merayap. Lalu di hatimu ada aku!" Aku mengedipkan sebelah mata dengan main-main.

Haha, wajahnya seru untuk dilihat. Pertama saat kubilang ada seseorang di kolong kasur, dia langsung mengintip ke bawah. Kemudian saat kubilang ada mata di jendela, dia langsung mengalihkan pandangan. Saat kubilang ada makhluk merayap, dia langsung mendongak. Lalu saat kubilang ada aku di hatinya, dia langsung menunduk dengan wajah memerah.

Mengapa menjahili seorang anak kecil itu sangat menyenangkan? Hah, jiwa dewasaku jadi terhibur.

"Jangan bercanda dan jangan mengatakan hal yang aneh-aneh!" Aster berteriak untuk ke sekian kali sebagai respon.

"Oke-oke. Aku tidak akan bercanda." Aku mengulum bibirku. Sebisa mungkin menahan tawa saat melihat raut wajahnya.
"Tapi aku memang harus pergi. Lagian kau bilang kau itu 'kan sudah besar. Masa takut sendiri, sih?"

"Orang besar terkadang juga takut sendiri."

"Tapi tadi kau juga tidak mau dekat-dekat denganku, tuh." Aku tersenyum dengan asimetris. Sesuai dugaan, Aster langsung tersentak dan kembali menunduk.
"Sudahlah. Kau istirahat saja, oke? Aku pergi dulu. Da-da!"

"Tu-tunggu!"

Aku tidak menggubris lagi panggilannya.

Huft ... akhirnya aku keluar dari ruangan anak imut yang tempramen itu. Saat aku menutup pintu dan berbalik untuk melangkah. Aku dikagetkan dengan Ezel yang bersandar di dinding dengan tangan bersedekap.

"Lalu di hatimu ada aku. Bagus sekali ya, Evy."

Aku bisa melihat Ezel tersenyum. Tetapi aku juga bisa mendengar nada ejekan pada ucapannya.

Jadi ... dia mendengarnya, ya? Argh!!! Jadi malu!! Andai aku bisa menggunakan sihir menghilang, pasti sudah kulakukan.

[]

Di hatiku ada Sunghoon, sekian😊🙏

Cameron's HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang