"Yang Muiya, kenapa Anda macih di cini?" Aku bertanya dengan heran. Oke, aku tahu ini terdengar tidak sopan karena kesannya seperti aku mengusir. Tapi, selepas puas tertawa tadi Putra Mahkota ini memilih ikut duduk denganku. Padahalkan dia punya urusan. Terlebih, matanya itu menatapku dengan lekat.
Ah, dan ngomong-ngomong soal mata. Aku selalu suka dengan warna matanya yang segar. Kalau kami—garis keturunan keluarga Cameron—punya mata mirip batu safir, Putra Mahkota itu punya warna mata antara campuran biru muda dan hijau muda. Hm, aku rasa itu disebut warna aquamarine. Tapi tentu saja! Walau matanya cantik, aku tidak suka ditatap begini. Aku tidak nyaman, sumpah.
"Kenapa kau sangat berbeda dengan si sombong itu, ya?"
Lah? Sekarang dia bertanya? Pertanyaanku saja diabaikan. Persetan lah! Aku tidak akan menjawab! Lagi pula tak ada urusannya denganku.
Hening kembali.
Aku melirik Putra Mahkota itu lagi yang masih santai duduk bersila dengan telapak tangan menyentuh rerumputan. Tunggu dulu. Dia inikan keluarga kekaisaran, ya? Kenapa dia bisa duduk santai tanpa alas begitu? Kupikir dia orang yang sangat mementingkan martabat, mengingat dia selalu bertengkar dengan Ezel pasal kehebatan dan kekuasaan."Heh, coba bicara lagi."
Wah, maaf Yang Mulia, tapi saya tahu niat Anda.
Aku menatapnya dengan jengah. Kalau aku bicara, aksen cadelku akan keluar dan dia akan menertawaiku lagikan? Oh, tidak. Aku juga masih punya harga diri. Walau tubuhku kecil, tapi tolong! Mentalku ini sudah dewasa. Meski kadang kala aku bersikap kekanakan sih .... Tapi itu lain cerita, oke?!Jadi, mari abaikan saja dia.
Aku 'kan di sini supaya tidak stres."Ck, kau mengabaikanku, ya?" Putra Mahkota menatapku dengan wajah sedikit ditekuk kesal. Tapi tidak akan aku hiraukan. Teruslah bicara sesuka Anda, Yang Mulia.
"Apa yang Anda lakukan di sini, Yang Mulia?"
Aku berbalik saat mendengar suara dingin itu mengudara. Oh, kakak jahat yang memusuhiku tanpa sebab ada di sini. Dia menatapku sesaat lalu memalingkan wajah pada Putra Mahkota. Ck, sedih lagi nih aku!
"Oh?" Putra Mahkota berdiri dan menatap Ezel dengan kaget. Tapi itu ekspresi pura-pura, tentu saja. Lalu detik berikutnya dia tersenyum untuk alasan yang tidak bisa kumengerti.
"Aku sedang menikmati taman dengan adikmu yang manis, kenapa?"Dasar manusia satu ini! Memang suka cari perkelahian. Aku saja kesal dengan nada bicaranya yang entah kenapa seperti menyombongkan sesuatu. Karena penasaran, aku melirik Ezel. Menerka-nerka ekspresi apa yang akan ditunjukannya saat tahu adiknya di dekati oleh orang aneh seperti Putra Mahkota ini.
Dan, yah ... ekspresi Eze mengeras.Untuk mengetes, apakah Ezel membenciku atau tidak, aku akan memanfaatkan situasi ini untuk membuat sebuah skenario pembuktian. Yah, mungkin aku akan membuatnya sedikit cemburu? Biasanya, dulu dia sering kesal setiap kali aku mengatakan ada yang lebih kusuka darinya. Kalau dia marah artinya dia masih menyayangiku. HOHO.
"WOW!" Aku berseru, membungkus kedua pipiku dengan tangan dan memasang ekspresi bahagia. Mari mulai akting ini! Sebelum itu, aku akan minta maaf pada Putra Mahkota di dalam hati karena memanfaatkannya.
"Yang Muiya cangat menyenangkan. Caya cuka beljalan di taman denan Anda." Aku tertawa di dalam hati. Menggelikan tapi seru. Mari lanjutkan!"Be-benarkah?" Putra Mahkota menatapku dengan mata membulat tapi di detik kemudian dia tersenyum.
"Sudah kuduga," katanya dengan bahagia.Eh? Tunggu dulu. Kenapa dengan ekspresinya itu? Kalau mataku tidak menipu, sekarang Putra Mahkota itu sedang tersipu. Ada rona merah pada pipi dan telinganya. Arghh, bukan begini niatku!
Aku dengan takut-takut melirik Ezel. Ackk!! Sekarang dia menatapku lebih dingin dari biasanya. Tolonglah aku. Ini bukan salahku. Siapa suruh mengabaikanku duluan? Walau terkadang aku tidak punya otak alias tolol, tapi selamanya aku akan punya hati, tahu! Aku juga bisa terluka karena patah hati. Huh!
"Ah, kalau begini aku tidak akan bosan datang ke kediaman Cameron." Aduh, apa-apaan pula Putra Mahkota ini.
"Emm, namamu ... Evy 'kan? Iya, aku mendengar si sombong memangilmu begitu. Baiklah, aku yang Putra Mahkota ini akan dengan senang hati datang ke sini untuk menemanimu berkeliling di taman. Bagaimana Evy?" Dia bertanya dengan senyum ceria.Sudahlah. Tutup mulut sialan itu sekarang. Tolong jangan menambah minyak pada kobaran api. Aku tidak akan melanjutkan drama sialan ini lagi. Aku sudah tahu jawaban dari pertanyaanku. Jadi, hal terakhir yang bisa aku lakukan saat itu adalah beralari kabur dari tatapan marah Ezel dan juga tatapan terpesona Putra Mahkota.
[]

KAMU SEDANG MEMBACA
Cameron's House
FantasyKeluarga Cameron merupakan keluarga bangsawan terpandang. Reputasi baik mereka pun tak pernah padam. Beruntung atau sial, Evy bisa-bisanya berakhir di dalam rumah itu dengan takdir konyol. Dia juga menemukan suatu fakta. Tidak seperti pandangan kha...