SEBELAS

24.3K 3.9K 38
                                    

Nasibku ini bisa tidak disebut senjata makan tuan? Karena Putra Mahkota yang kumanfaatkan malah jadi sering mengikutiku selepas kubilang dia menyenangkan. Tentu itu hanya sebuah kebohongan. Sungguh, Ethan saja sudah cukup membuatku nyut-nyutan. Tolong jangan ditambah-tambah.

Kini kami berada di taman karena Putra Mahkota itu membuat piknik kecil-kecilan. Dengan beralas kain, ada banyak ragam cemilan di sini. Niat sekali. Dia bahkan membawa semua perlengkapan ini dari Istana lalu membawanya ke mansion Duke Cameron seolah ini rumah keduanya.

Sejujurnya, aku tidak mau berada di sini. Tapi karena aku terlampau bosan dan tak punya teman bermain jadi kuterima saja tawarannya untuk piknik dengan setengah hati. Kemarin juga dia melakukan hal yang sama namun kutolak.

Tapi aku kagum dengan Putra Mahkota ini. Kudengar dari beberapa pelayan yang bergosip, dia berkelahi dengan Ezel. Namun, lihatlah! Dia masih mau berada di sini.

Ah, dan berbicara soal kakakku itu. Sebenarnya, sekarang dia sedang berdiri sejauh lima meter dari keberadaan kami. Dia selalu melakukan itu setiap kali aku berdua dengan Putra Mahkota. Parahnya, tatapannya menghunus sekali. Cih, harusnya kalau mau dekat denganku ke sini saja. Tidak usah gengsi. Dia bahkan belum mau bicara denganku. Ya, sudah. Biar kakakku itu jadi seekor nyamuk sekarang.

"Hm ... ada kue makaroni, mau?"

"Ya!" jawabku dengan semangat. Wah, kalau soal makan aku paling tidak bisa menolak. Jadi kuterima dengan senang hati kue dari Putra Mahkota itu dan sudut mulutnya naik seketika. Begini saja dia senang?! Ish, ish.

Nah, karena aku ini perempuan yang baik. Aku tidak mau Putra Mahkota berharap lebih pada anak kecil ini—ekhm.
"Yang Muiya. Tolong jagan telbawa pelasaan," nasehatku dengan gaya kalem. Tapi yang kudapat malah Putra Mahkota itu tertawa.
"Dalam catu hali, bicakah Anda tidak teltawa?!"

"Ah, maaf. Bukan itu maksudku. Hanya saja, lucu melihat seorang anak yang berumur empat tahun membahas percintaan."

"Tapi caya swelius. Anda cuka'kan denan caya?" (Tapi saya serius. Anda suka'kan dengan saya).

Putra Mahkota berhenti tertawa. Dia menatapku dengan tatapan aneh.
"Heh," katanya, "Kau itu memang masih empat tahun 'kan?" Begitu tanyanya. Yang hanya kubalas dengan anggukan kepala. Kemudian aku bisa melihatnya bergumam tak jelas dengan tangan memijit kening.
"Ugh, sudahlah. Lupakan yang itu. Tidak penting kalau aku menyukaimu atau tidak. Lebih dari itu, berhenti memanggilku Yang Muiya Yang Muiya!"

Heh, dia menghinaku, ya?! Dia meniru aksen cadelku. Mengesalkan, sumpah.
"Kalau tidak mau dipagil Yang Muiya, lalu apa? Ci toyol?!" (Si tolol?!) tanyaku dengan geram.

Putra Mahkota langsung menatapku dengan datar. Sialan, aku melupakan fakta bahwa dia keluarga kekaisaran. Kepalaku bisa saja di penggal, duh. Tapi untungnya ekspektasiku dipatahkan realita. Putra Mahkota itu hanya berdecak sebal. Fyuh.
"Ck, kadang sikap menyebalkanmu itu mirip si sombong." Walau dia masih menatapku dengan kesal, dia melanjutkan.
"Aku serius. Berhenti memanggilku dengan formal begitu. Emm, kita sudah cukup dekat 'kan?" tanyanya dengan malu-malu dan menggaruk pipinya dengan jari telunjuk.

Nah 'kan. Dia tersipu lagi. Pokoknya bukan salahku kalau suatu waktu ia patah hati. Dan apa katanya? Kami sudah cukup dekat? Tolong jangan percaya, Putra Mahkota itu hanya berspekulasi sendiri.

"Karena kita sudah cukup dekat ..." Putra Mahkota memberi jeda pada ucapannya.
"Emm, coba panggil aku Kakak juga. Panggil 'Kak Logan', bagaimana?"

Aku menatapnya yang masih terlihat kikuk. Dia sampai mengatakannya langsung. Sebegitu inginnya, kah? Ya, aku sih tidak masalah sebenarnya. Jadi aku mengangguk.
"Bayik lah .... Kalau begitu Kak—"

"Tolong jangan melewati batas."

Seseorang memotong ucapanku ...

"Sayang nyawa 'kan?"

... dan itu adalah Ezel yang menatap tajam Putra Mahkota.

[]

Cameron's HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang