2 ~ Pernahkah kau memperhatikan suamimu?

7K 444 98
                                    

Ibu Tristan, Bu Astrid, selalu datang ke rumah mereka untuk mengantarkan makanan yang dimasaknya sendiri. Hari itu mereka makan malam di meja yang sama, dan biasanya, Tristan selalu sibuk dengan ponselnya. Pekerjaannya tidak bisa ditinggalkannya walau semenit saja, seakan akan terjadi bencana jika dia tidak memberi perhatian pada perusahaannya.

Bu Astrid mengingatkan Halena untuk terus menjaga kesehatan, apalagi dengan Alex yang baru saja masuk ke dunia perkuliahan. Kalau bisa, Bu Astrid menambahkan, Halena sering-sering menemui Alex yang sedang menempuh studi di Singapura. Itu hanya isyarat Bu Astrid agar Halena beristirahat sejenak menjadi istri Tristan.

Mendengar ide itu, Tristan menghentikan aktivitasnya dengan ponselnya. Ia menatap ibunya dengan tajam. "Jangan memberi saran begitu, Ma. Saya atur semuanya agar Alex mandiri. Selain itu, selama ini Halena juga sudah letih merawat anak kami. Ini saatnya dia melayani suaminya."

Melayani apa, dengus Halena dalam hati. Mengapa kau bicara begitu di depan ibumu? Nanti aku dikira tidak melayanimu selama ini! Halena menoleh pada ibu mertuanya yang mengurut-urut dada. Untung saja ibumu sudah lebih mengenalmu, jadi tahu kalau kau itu selalu bersikap sinis terus pada istrimu!

Lagipula, siapa yang ingin terus melayanimu, keluh Halena. Aku pun muak hidup berdua saja denganmu. Kalau bukan karena anak dan sahamku, aku pun ogah berada di sini!

"Istrimu itu sayang sekali pada anak kalian. Pasti Halena tersiksa tidak bisa bertemu dengan anaknya," kata Bu Astrid prihatin. "Mama tahu sekali rasanya. Saat kau pergi kuliah ke Stanford, menurutmu Mama tidak sedih, Tris?"

"Dan Mama bisa lihat sekarang. Saya tidak menjadi pria yang manja," jawab Tristan datar.

Aamiin, kata Halena dalam hati. Tidak manja bagaimana! Ya, di kantornya dia memang keren, bisa berkuasa dan mengambil keputusan hebat. Tapi di rumah? Mana bisa dia mengurus segalanya sendiri? Dari urusan bayar pajak rumah dan mobil sampai ke urusan cuci baju semua menjadi tanggung jawabku! Di mana perempuan bernama Naya itu? Mengapa.. Ah, sudahlah. Kenapa aku jadi menggerutu begini?

"Bukan begitu maksud Mama, Tris," sambung Bu Astrid. "Bukan hanya istrimu yang perlu mengunjungi Alex, tapi kau juga. Apa sih yang kau cari? Uang? Apakah semuanya masih kurang?"

"Awal tahun kuliah pasti berat bagi Alex. Di fase ini dia sedang beradaptasi dengan lingkungan barunya. Selama ini Halena selalu mendampinginya, bahkan dari TK sampai SMA, Halena tidak pernah tidak berada di sisinya saat masa orientasi. Saya tidak setuju jika dia terus-terusan ditemani begitu," jelas Tristan. "Begitu lulus kuliah, dia akan tahu betapa beratnya dunia yang sebenarnya. Jika dibantu terus ibunya, bagaimana dia bisa selamat?"

"Sesekali tak apa kan, Tristan?" jawab Bu Astrid. "Baiklah jika tahun ini tidak usah ditemui, tapi nanti, kapan pun itu kau harus berkunjung ke sana. Jangan sampai dia merasa dibuang oleh bapaknya. Kau paham kan maksud Mama?"

Untuk menghindari konflik yang tidak perlu Tristan mengangguk. Setelah makan malam, Bu Astrid dan Halena berbincang-bincang sampai jam sembilan malam, dan Tristan berlalu ke ruang kerjanya. Setelah Bu Astrid pamit pada keduanya, mereka berjalan ke kamar tidur.

Seminggu terakhir ini, Tristan tak pernah absen meminum birnya, lalu mencumbu istrinya. Namun malam itu, saat Tristan hendak mengambil sebotol bir dari kulkas yang berada di kamar, Halena mencegah. Dia mengingatkan Tristan bahwa bir tidak sehat untuknya.

"Apa pedulimu," desis Tristan tidak mau diatur.

"Tentu aku peduli. Kau ayah Alex. Aku tidak mau kau mati sebelum melihat anakmu sukses!" jawab Halena kesal. Ditutupnya kulkas itu. "Tidurlah. Kau tidak perlu bir untuk bisa nyenyak."

"Menurutmu, aku membutuhkan bir agar tidurku nyenyak?!" Tristan menggeleng-geleng. "Ya Tuhan. Tidak pernahkah kau memperhatikan suamimu, yang selalu mimpi buruk setiap malam?"

"Ya tentu aku memperhatikannya, tapi kan setiap aku tanya ada apa kau selalu jawab tidak ada apa-apa," kata Halena bingung.

"Aku begini karenamu! Sejak menjadi suamimu, aku merasa dadaku sesak, pikiranku tidak tenang!" Meski begitu, Tristan akhirnya tidak mengambil bir dan langsung melentangkan tubuhnya di atas tempat tidur.

"Lalu apa maumu? Ingin aku menandatangani addendum itu?" Halena ikut merebahkan dirinya di sebelah suaminya. Ditatapnya suaminya lekat-lekat. "Aku tidak mungkin melakukannya. Hanya itu yang kupunya."

"Aku heran padamu. Ke mana uangmu hasil konser? Dan kenapa kau tidak pernah meminta kakekmu untuk memberikanmu properti?"

"Uang itu aku taruh di deposito. Dan soal Kakek, aku tidak bisa memintanya begitu saja." Aku bukan sepertimu yang menikahi seseorang yang tidak kau cintai demi uangnya! "Asal kau tahu saja, kakekku tidak benar-benar memberikan hadiah dengan aku menjadi istrimu."

"Apa maksudmu?" belalak Tristan.

"Ya, kau pasti pernah dengar Kakek memberiku sejumlah uang dan saham di mana-mana, tapi itu tidak pernah diberikan Kakek padaku. Aku juga segan untuk menagihnya."

"Itu hakmu, seharusnya kau berani meminta."

"Itu urusanku," jawab Halena jemu. "Bagaimana denganmu? Kenapa kau ingin sekali mengumpulkan harta baik yang berwujud maupun tidak berwujud? Sampai saham istrimu sendiri ingin kau ambil?"

"Aku ingin memberikan saham itu sebagai hadiah."

"Hadiah? Ke siapa?" tanya Halena penasaran, sekaligus tidak mengerti. Kalau untuk Alex, tidak usah repot menghibahkan saham itu ke Tristan, kan?

"Ke seseorang yang menurutku pantas mendapatkan saham itu," tandas suaminya. "Kau tidak perlu tahu siapa."

Pelan-pelan Halena bertanya, "Naya-kah orang itu?"

Suaminya menghela napas panjang. "Tidurlah, aku tidak mau membahasnya sekarang."

"Kenapa tidak? Bukankah karena dia selama ini aku menderita?"

"Oh, kau sama sekali tidak menderita!" dengus Tristan murka. "Kau hidup dengan penuh kemewahan. Kau juga tidak kekurangan kasih sayang. Apa lagi yang kurang dalma hidupmu?!"

"Kasih sayang dari suamiku sendiri," jawab Halena getir.

"Oh, omong kosong," cemooh suaminya. "Jangan berlagak seakan kau membutuhkan kasih sayang dariku. Jangan pernah kau lakukan ini! Sikapmu yang begini membuatku jijik!"

"Salahkah seorang istri ingin kasih sayang dari suaminya?" balas Halena marah. "Ini tidak normal. Kita sudah dua puluh tahun menikah. Dan kau tidak pernah memperlakukanku dengan mesra. Hanya karena wanita bernama Naya itu menyakitimu, aku tidak berhak untuk mendapatkan sakit yang ditorehkan olehmu!"

"Naya tidak menyakitiku! Justru akulah yang menyakitinya!"

"Apa?! Apa yang kau lakukan padanya hingga kau terus mengingatnya?!" bentak Halena jengkel. Lagi-lagi kamar itu menjadi saksi pertengkaran mereka. Dan lagi-lagi pula ini soal perempuan misterius itu. "Katakan padaku!"

"Kenapa kau tidak tanyakan pada almarhum ayahmu?!"

"A...apa maksudmu?" tanya Halena gemetar mendengar ayahnya dibawa-bawa. "Apa hubungannya orangtuaku pada wanita itu?"

"Kenapa tidak kau cari tahu sendiri?" sahut suaminya enggan. Tanpa ditawar lagi Tristan menutup matanya, dan tak lama terdengar suara dengkurannya yang halus.

Semalaman Halena terjaga. Terang dia tidak bisa tidur. Sialan Tristan. Mengapa dia memberi teka-teki di malam hari? Dan kepada siapa pula Halena bisa bertanya? Orangtuanya mereka meninggal tiga tahun setelah pernikahannya dengan Tristan. Apakah Kakek bisa menjawabnya?

Aku ternyata tidak punya siapa-siapa selama ini, keluh Halena menangis. Aku tidak punya teman untuk membantuku. Selama ini Tristan melarangku untuk berteman dengan sembarang orang.

*Addendum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah; jilid tambahan (pada buku);lampiran; ketentuan atau pasal tambahan, misal dalam akta. Pada umumnya, istilah addendum dipergunakan saat ada tambahan atau lampiran pada perjanjian pokoknya namun merupakan satu kesatuan dengan perjanjian pokoknya. Meskipun jangka waktu perjanjian tersebut belum berakhir, para pihak dapat menambahkan addendum sepanjang disepakati oleh kedua belah pihak.

Surat Cerai untuk Halena #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang