"Ya tolong rapikan saja, kemungkinan besok atau lusa saya akan mengisi rumah itu," kata Halena saat menelepon penjaga di rumahnya yang lain. "Tolong kosongkan satu ruangan untuk piano saya juga ya, Pak." Halena kemudian mematikan sambungan.
Matanya menelusuri ruang musik yang kini tak lebih dari sebuah ruangan hampa. Semua barangnya telah ditutup oleh kain putih, siap untuk dipindahkan ke tempat yang lain. Pianonya, yang selama ini menjadi temannya saat dia merasa kesepian, akan ikut bersamanya ke tempat di mana dia tidak akan bersama Tristan lagi.
Halena bingung dengan perasaannya. Seharusnya dia senang akhirnya dilepas oleh suaminya. Dia takkan melayani suaminya yang berhati sedingin es batu itu. Telinganya tidak akan lagi mendengar ucapan-ucapan yang menyakitkan dari suaminya.
Herannya, rasa sedih itu justru menghampiri hatinya, menimbulkan rasa tak nyaman dan gundah. Dia akan merindukan tempat favoritnya di rumah itu. Dia kehilangan rumah yang memberikannya rasa aman saat Tristan tidak membuatnya terpojok.
Ruangan yang menghangatkan hatinya itu terasa dingin. Dia berdiri di tengah ruangan itu, membiarkan dirinya untuk menikmati ruangan itu sekali lagi, sebelum akhirnya dia meninggalkan tempat itu.
"Bu Halena."
Dia menoleh, mempersilakan Ayuni untuk masuk. Sesaat dipandanginya Ayuni dengan sorotan sendu. Kau adikku, pikir Halena masih tak percaya. Ayahku, orang yang keras itu, rupanya ada main dengan ibumu. Aku tidak tahu apakah aku harus senang atau sebaliknya. Kau anak dari perempuan yang menjadi sumber penderitaanku, tapi di sisi lain, aku takkan bisa membencimu sebab kau adalah keluargaku selain Alex dan Kakek Gunadi.
Tanpa berkata apa-apa, Halena memeluk Ayuni kuat-kuat. Dia menangis di bahu gadis itu. Isakannya yang lirih membingungkan Ayuni, namun perlahan Ayuni membalas pelukan itu, membelai-belai bagian belakang Bu Halena untuk menenangkannya.
Aku tidak tahu apa yang kurasakan, pikir Halena. Aku tidak tahu lagi apa yang kuinginkan. Aku tidak tahu apa yang kusuka dan yang kubenci. Semua yang bergejolak di dada ini hanya semakin menyesakkan, namun tidak memberi jawaban atas keresahan yang kurasakan.
"Kakek saya baru saja menghibahkan separuh hartanya pada saya, dan saya ingin kau yang memiliki harta yang saya terima," kata Halena kemudian. Pelan-pelan dia melepaskan pelukannya. "Saya tidak mau kau menolaknya, Ayuni."
Dahi Ayuni berkerut. "Saya tidak mengerti, Ibu."
"Kau berhak atas hak itu, Ayuni. Kau... Kau sebenarnya.." Halena menghela napas berat. Dia merasa kesulitan untuk menjelaskan yang sebenarnya, tapi tidak mungkin dia bisa menyembunyikan siapa ayah Ayuni yang sebenarnya. "Ayahmu yang sebenarnya adalah..." Halena menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tidak, dia tidak bisa mengakuinya.
"Ibu Halena, tenanglah," kata Ayuni terlihat cemas. "Jujur saya tidak mau tahu, Bu, soal ayah kandung saya. Sebenarnya, kedatangan saya kemari saya ingin meminta maaf. Saya tidak tahu bahwa ibu kandung saya telah membuat Ibu menderita."
Bukan ibumu saja, keluh Halena. Suamiku. Ayahku. Kakekku. Laki-laki yang punya peran penting dalam hidupku, punya andil untuk kesedihanku, tapi aku takkan membencimu untuk sesuatu yang tak kau lakukan.
"Ayuni, kau harus tahu siapa ayah biologismu," jawab Halena lebih tegas. "Ayah kandungmu adalah Himawan Gunadi, ayah saya." Dilihatnya raut kaget di wajah gadis itu. Halena mengangguk. "Betul. Kita.. Kita kakak-adik."
Giliran Ayuni yang menggeleng. Dia berjalan mundur, menjauhi Halena. Dia menolak berita itu dengan sengit. Tidak mungkin dia anak kandung dari Himawan Gunadi, seorang pengusaha yang namanya masih dikenang sampai saat ini.
Semua kesulitan yang dihadapi Ayuni tak urung diingat olehnya. Dia tidak punya teman karena kemiskinannya. Ujiannya ditolak untuk dinilai oleh pihak sekolah karena biaya sekolah yang susah untuk dilunasi kakek-neneknya. Dia hampir kehilangan kesempatannya untuk tidak kuliah karena kondisi finansial kakek-neneknya yang tidak memungkinkan.
Ayuni tak perlu menerima kesukaran itu jika ayah kandungnya mengakuinya sebagai anak!
Ditatapnya Bu Halena tajam. Dia berusaha untuk membenci Bu Halena yang selama ini terpandang dengan bibit, bebet dan bobotnya yang berasal dari keluarga terhormat. Sosok perempuan yang tak pernah mendapat hinaan sebagaimana yang dialami Ayuni dulu.
"Jawab pertanyaan saya," kata Ayuni dingin. "Apakah ayah Bu Halena menyayangi Bu Halena?"
Ayuni selalu penasaran bagaimana rasanya memiliki ayah. Dulu dia iri pada teman-temannya yang dijemput oleh ayah mereka. Dia sering mengeluh pada Tuhan, mengapa dia tumbuh sebagai yatim-piatu, namun seiringnya dengan waktu, dia melupakan hal itu dan fokus pada cita-citanya untuk menjadi pengusaha.
"Menyayangi? Ayah saya?" Air mata Halena turun ke wajahnya. Dia menggeleng pahit. Sekonyong-konyong semua ucapan ayahnya yang menyakitkan mampir ke benaknya.
"Apa sih gunanya bermain musik? Bikin malu saja. Kau takkan bisa jadi kaya raya jika hanya menjadi pianis!"
"Kau kuliah di luar negeri saja, agar aku tak usah malu punya anak sepertimu. Harusnya kau akui saja dari awal jika kau tidak punya kemampuan otak yang cukup untuk masuk sekolah bisnis!"
"Ciuman dengan laki-laki yang bukan suamimu? Perempuan macam apa kau ini? Tidak tahukah bahwa ayahmu harus mendengar ocehan kakekmu gara-gara ketololan engkau untuk menjaga kehormatan keluarga?"
"Menikahlah dengan Tristan, agar keluarga ini tidak usah malu, dan ibumu tak perlu mati karena kebodohan kau, Halena!"
Halena menerima amarah ayahnya dengan sukarela. Dia tidak membantah. Tidak juga berlagak sok pintar. Jika dia tahu ayahnya tidak lebih baik darinya-menghamili perempuan yang seusia dengannya di luar nikah-barangkali akan dibalasnya semua lisan ayahnya yang pedas itu.
"Saya harus menikah dengan pria yang tidak saya cintai. Karir yang saya miliki tidak pernah dihargai oleh ayah saya, Ayuni," kata Halena, menangis. "Kau harus percaya pada saya. Saya tidak bahagia, Ayuni. Bahkan ayah saya tidak pernah jujur mengenai ibumu dan kau.."
Terkejut Halena saat tiba-tiba Ayuni menghampirinya, memeluknya lebih erat daripada sebelumnya. Air mata mereka sama-sama menderai. Ruangan itu diisi oleh suara tangis mereka.
"Maafkan saya, Ayuni," kata Halena selanjutnya.
"Untuk apa, Ibu?" Ayuni merenggangkan pelukan itu. "Justru saya yang harus meminta maaf. Saya kira, ayah saya berada jauh di tempat lain, membahagiakan keluarganya yang lain, namun saya tidak tahu bahwa ibu sama sedihnya dengan saya.."
"Tidak, saya lebih bahagia daripada kau," jawab Halena tegas. "Karena itu, saya ingin kau memiliki apa yang saya miliki. Kau mau, kan?"
Di luar, dengan posisi yang tak terlihat dari mereka, senyum Tristan mengukik di wajahnya. Jadi Halena menyodorkan harta yang diberikan kakeknya untuk Ayuni, pikirnya licik. Berapa banyak itu jika diuangkan? Tiga T? Atau lebih?
Anak Naya kini wanita kaya raya. Tristan mengenang masa lalunya dengan Naya. Selepas mereka berhubungan, dia mengecup bibir Naya dan berjanji padanya, "Kalau aku sudah dipercaya ayahku untuk menjadi Direktur Utama, aku akan berikan apapun untuk kau, Naya. Kau takkan kesulitan lagi."
Mata Naya membesar, berbinar dengan omongan Tristan. "Sungguh? Aku akan menjadi istri orang kaya?"
"Tentu! Kau mau menungguku, kan?"
"Aku jadi tidak sabar untuk menjadi pendampingmu."
Bagaimana jika aku mengobati luka lama itu dengan memulainya lagi, pikir Tristan berjalan ke kamarnya. Dengan apa yang dimiliki Ayuni, aku bisa menambah kekayaanku lagi, dan aku bisa dekat dengan titisan Naya. Kau betul-betul bodoh, Halena, memberikan semua hartamu untuk anak dari wanita yang kucintai. Apakah kau tidak tahu bahwa itu taktikku saja untuk merampas harta kakekmu? Jika kau saja bisa sepolos itu menyerahkan harta, apalagi anak kemarin sore macam Ayuni.
Tristan sudah punya rencana untuk menaklukkan hati gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cerai untuk Halena #Completed
RomantizmTristan mencengkram kedua bahu istrinya. "Kau orang yang merenggut kebebasanku. Aku harus kehilangan wanita yang kucintai karena kau. Kenapa sekarang aku repot-repot memperhatikan perasaanmu agar bisa lepas dariku?" Tristan tersenyum licik pada istr...