Kakek dan nenek Ayuni saling bertatapan setelah Halena menyodorkan sebuah foto pada mereka. Foto ayah Halena. Halena bertanya, apakah kakek dan nenek Ayuni sempat melihat atau bertemu ayah Halena.
Mereka tampaknya menyembunyikan sesuatu, pikir Halena. Cukup lama mereka berpikir untuk menjawab. Atau memang sudah usia? Jadi mereka membutuhkan waktu untuk mengingat?
Hari itu selepas mengajar, Halena pergi ke tempat kakek dan nenek Ayuni. Dia perlu memastikan apakah Ayuni adiknya atau bukan. Pada saat itu Ayuni sedang kuliah.
Kakek Ayuni menatap nanar pada Halena. "Jadi, Anda sudah menyadari bahwa Anda punya hubungan dengan cucuku?"
"Apa maksud Bapak?" tanya Halena datar. "Apa yang perlu saya sadari?"
"Orang di foto ini," kata nenek Ayuni. "Himawan Gunadi. Dia adalah orang yang mendampingi Naya saat Naya melahirkan Ayuni. Dia adalah... ayah Bu Halena, kan? Itu artinya, Bu Halena dan Ayuni.."
"Ayah Anda adalah ayah kandung Ayuni," jawab kakek Ayuni tegas. "Kami berjanji padanya untuk tidak memberitahu siapa-siapa, termasuk keluarganya. Dia mengancam akan membunuh saya dan istri saya jika kami berani bilang ke orang lain dia ayah kandung Ayuni."
"Ayah saya mengancam?" sahut Halena, namun tidak terdengar kaget, karena dia tahu ayahnya tipe yang keras. Bukan tidak mungkin ayahnya melakukannya. "Bapak dan Ibu tenang saja. Ayah saya sudah meninggal. Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan."
"Ayah Anda juga memberikan uang pada kami, tapi uang itu sudah ludes. Kami ditipu oleh rekan kerja kami saat membuka toko swalayan," sambung nenek Ayuni. "Ayah Anda melakukan apa saja agar tidak ada yang tahu soal ayah biologis Ayuni."
Halena menggeleng tegas. "Sekarang, tidak ada lagi alasan untuk tidak mengakui Ayuni. Saya akan katakan padanya bahwa saya kakaknya."
"Apakah Anda yakin?" Kakek Ayuni menggeleng, menyarankannya untuk tidak melakukannya. "Saya menolak. Ayuni adalah cucu saya, dan keluarga Anda sudah cukup menyakiti keluarga kami."
"Lalu kenapa Anda biarkan saya melakukan ini semua sampai sejauh ini? Anda sebenarnya ingin Ayuni dengan kakaknya, kan?" tanya Halena putus asa.
"Karena ini yang terbaik," jawab nenek Ayuni. "Lebih baik Ayuni tahu ayahnya pergi, berada di tempat yang jauh, daripada dia tahu dia anak dari perbuatan.." Nenek mengangkat bahu.
Meski hati Halena yakin bahwa Ayuni adalah adik seayahnya, Halena tetap butuh bukti. Dia meminta kakek Ayuni membawakan sisir Ayuni padanya. Hari itu dia memberikan rambut Ayuni dan rambutnya sendiri ke laboratorium rumah sakit.
Pada saat ia berjalan pulang, asisten Kakek Gunadi menelepon Halena, memberitahunya bahwa keadaan Kakek kritis. Keadaan Kakek yang semakin hari semakin lemah mau tak mau harus dibawa ke rumah sakit.
Halena berada di rumah sakit yang sama. Dia langsung menilik ke ruang rawat kakeknya. Tak lupa diberitahunya Tristan untuk menjenguk Kakek saat dia sempat.
Rasa iba menghampiri Halena saat melihat Kakek bernapas dibantu alat oksigen. Diperhatikannya banyak alat medis di sekitar kakeknya yang membantu Kakek agar tetap hidup. Kakek memanggil-manggil namanya, mencoba menggapai agar dia mendekat.
Halena duduk di samping Kakek, menahan tangisnya. Kakek yang selama ini kuat dan galak, kini terbaring lemah tak berdaya. Halena takut dengan pikiran bahwa Kakek akan segera pergi..
Tidak, tidak.
Jika Kakek pergi, dia hanya punya Alex dan... Ayuni. Ya, jika betul Ayuni adiknya, itu artinya dia keluarga Halena juga, kan?
"Halena..." kata Kakek parau. Suaranya hampir tidak terdengar sama sekali. "Sa...mpai kapan..pun... hanya.. kau.. cucu Kakek." Napas Kakek tersengal-sengal. "Hanya... kau.. yang men...da..pat... apa.. yang.. kuti...kutinggalkan..."
"Kakek, jangan pikirkan apa-apa soal itu," sahut Halena sedih. "Kakek pikirkan saja apa yang membuat Kakek senang. Apa yang membuat Kakek tetap bertahan."
"Waktuku tidak akan lama lagi, Halena," kata Kakek, memaksa untuk tersenyum. "Aku sudah terlalu lama menjagamu. Aku sudah hampir selesai."
Hampir tiga jam Halena berada di sana. Dia tertidur dengan kepalanya yang ada di tangan kakeknya. Dapat dirasakannya sentuhan di bahunya. Dia terbangun, melihat Tristan berdiri di dekatnya.
"Kakekmu sedang tidur," bisik Tristan pelan. "Kau mau ngopi di kafetaria?"
Halena menggeleng. "Aku ingin bersama Kakek. Kau saja," katanya, memandang kakeknya.
"Kau juga perlu istirahat, Sweetheart."
Mendengar suaminya mengingatkannya begitu, Halena mengangguk. Dia ikut bersama Tristan ke kafetaria rumah sakit. Mereka tidak makan di sana, hanya meminum kopi.
Sudah lama dia dan suaminya tidak seperti ini. Makan di tempat umum. Biasanya tempat mereka makan di luar rumah selalu privat. Baik itu di rumah rekan bisnis Tristan, atau acara jamuan di hotel saja dengan orang-orang yang mereka kenal di sekeliling mereka.
"Aku sudah beritahu Alex. Dia sudah kupesankan tiket ke Jakarta," kata Tristan memberitahu.
Halena mengangguk-angguk. Hatinya berjengit ketika Tristan membelai-belai tangannya. Dia tidak menyangka Tristan bisa selembut ini untuk menghibur hatinya.
"Jangan terlalu gundah, Halena," kata suaminya lagi. "Aku tahu kau banyak pikiran."
"Aku baru saja ke laboratorium untuk mengecek DNA-ku dengan Ayuni," sahut Halena lirih. "Entah apa hasilnya, aku akan tetap menyayanginya dan menganggapnya keluargaku."
Suaminya menatapnya dengan sendu. "Apa kau masih marah pada Naya?"
Halena memejamkan matanya, menggeleng. "Aku tidak tahu apa yang kurasakan lagi, Tristan. Aku hanya melakukan apa yang aku pikir benar. Itu saja."
"Sudah, Sweetheart, jangan dipikirkan lagi soal itu. Saat ini kita hanya perlu mendoakan kakekmu agar Beliau masih bisa sehat." Tristan membawa tangan Halena ke bibirnya. Disematnya tangan Halena di sana cukup lama. "Kita bisa lalui ini."
Keluarga sempurna, desah Halena dalam hati. Orangtuaku menekankan padaku bahwa aku lahir di keluarga yang sempurna. Aku tidak boleh melakukan aib sampai aku harus menikah dengan pria yang tidak kucintai. Sementara setelah puluhan tahun terlewati, aku baru tahu ayahku bisa melakukan hal menjijikkan seperti itu bersama Naya perempuan yang seumuran denganku..
Dan Alex.. Apa yang harus aku jelaskan padanya? Bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku dengan keluargaku ini?
Ini semua tidak akan terjadi jika aku tidak menikah denganmu, Tristan. Aku tidak perlu mengetahui keluargaku yang sebenarnya bobrok ini jika aku meneruskan hidupku dengan pria lain di luar negeri.
*I hope you like the story*
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cerai untuk Halena #Completed
RomansaTristan mencengkram kedua bahu istrinya. "Kau orang yang merenggut kebebasanku. Aku harus kehilangan wanita yang kucintai karena kau. Kenapa sekarang aku repot-repot memperhatikan perasaanmu agar bisa lepas dariku?" Tristan tersenyum licik pada istr...