Belum mengetahui keadaan Kakek Gunadi secara pasti, Halena menyarankan pada Alex untuk tetap di Jakarta sampai mereka bisa memastikan Kakek Gunadi betul-betul pulih. Alex pun mengambil jatah asbsen untuk semua mata kuliahnya.
Alex sekalian ingin melepas rindu pada Ayuni. Hal itu pun disadari oleh orangtuanya. Halena mengingatkan Alex untuk tetap menjaga jarak. "Dia baru saja kuliah dan kau sudah pernah menunjukkan gelagat aneh padanya. Mama tidak setuju, setidaknya sampai semester satu Ayuni berakhir dan Mama tahu nilainya bagus," kata Halena mengingatkan.
"Kenapa Mama ketat sekali sih soal pendidikan?" keluh Alex cemberut.
Mendengar itu Halena hanya tersenyum. "Tentu, apalagi bagi Ayuni pendidikan itu penting. Dia suka sekali belajar. Kalau kau hanya mengganggunya, bisa-bisa dia pergi darimu tanpa kau minta, Alex."
"Ya, karena anak yang merih seperti Ayuni tahu rasanya sulit mendapat uang, mendapat pekerjaan," sahut Tristan tiba-tiba, membuat istrinya menunduk tak nyaman. "Kau tahu, Alex, ibunya harus bekerja part-time di berbagai tempat untuk bertahan hidup saat dia kuliah di Stanford? Kalau dia masih hidup, dia bisa memberi fasilitas pada Ayuni jauh lebih baik daripada yang ibumu berikan sekarang," tambahnya. Tristan dapat mendengar tarikan napas kesal istrinya, dan entah mengapa itu membuatnya senang.
"Bagaimana Papa tahu soal ibu Ayuni?"
"Papa dan ibunya pernah berpacaran," jawab Tristan gamblang.
Halena membeliakkan matanya. Dia tidak percaya Tristan membuka hubungannya dengan Naya pada anak mereka. Perlukah Tristan membawa topik orang yang sudah mati ke meja makan mereka seperti pagi itu?!
"Dan Papa sampai saat ini mencintainya karena almarhumah pekerja keras, tidak suka mengeluh, dan yang pasti tidak pernah menyia-nyiakan kesempatannya dengan mendapat nilai B atau C saat kuliah. Dia bersungguh-sungguh belajar, sebab dia tahu hanya dengan pendidikan dia bisa bekerja di tempat bonafid dan bisa mengubah nasibnya yang sulit."
Bukannya tergugah dengan cerita itu, Alex hanya tersenyum sinis. Tentu dia menyadari kedongkolan ibunya. "Wow, kalau ibu Ayuni masih hidup, aku pun akan padanya, sebab aku masih bodoh meski sudah diberi fasilitas oleh ayahku yang super kaya ini," katanya mengangguk-angguk santai.
"Bukan itu maksud Papa, Alex. Maksud Papa, kau harus bisa lebih dari ibu Naya, lebih dari Ayuni, sebab kau tidak kekurangan apa-apa untuk menimba ilmu. Kau juga punya kesempatan yang besar untuk jadi orang sukses dengan menjadi anak Papa. Kau paham?"
"Aku rasa jika suatu hari aku sukses, itu bukan karena Papa sepenuhnya. Dari dulu Papa tidak tahu caranya mendidik anak," sahut Alex tenang.
"Jaga omonganmu, Alex!" bentak Tristan marah. "Semakin ke sini, sopan santunmu semakin tidak ada.."
"Bagaimana aku bisa punya sopan santun saat ayahku sendiri merendahkan ibuku terus-terusan begini. Membandingkan Mama dengan perempuan lain di depan anak Papa sendiri? Adakah hal lain yang lebih menjijikkan yang bisa Papa lakukan selain ini?" Tanpa basa-basi lagi Alex berdiri, meninggalkan kedua orangtuanya yang masih menatap gemas ke arahnya.
"Anak itu!" Tristan menoleh pada Halena. "Kau beri makan dia apa sih? Dia tidak ada respect padaku sebagai ayahnya!"
"Kenapa kau harus membahas mantan kekasihmu di hadapannya," keluh Halena lesu. "Kau tahu Alex punya temper sama denganmu, bukan? Kenapa kau tidak bosan-bosannya membuat anakmu marah?"
"Kalau dia sudah bisa membuatku bangga dengan hidup sukses dan mandiri, dia boleh bersikap semena-mena padaku, tapi selama dia hidup di bawah atap rumahku, makan dari uang hasil kerjaku, dia harus bisa belajar menghormatiku," kata Tristan geram.
"Terserah kau saja. Aku tidak tahu lagi bagaimana mendidiknya. Dia sudah cukup besar dan sulit didoktrin," jawab Halena memberikan pendapat.
Tristan menyipitkan kedua matanya. "Kau. Tumben kau tidak menambah keributan. Apa yang terjadi?"
"Aku ingin minta tolong padamu."
"Apa yang bisa kulakukan?"
"Kalau Ayuni betul adikku, kau yang beritahu Alex soal itu. Biar aku yang menjelaskannya pada Ayuni."
"Kenapa bukan kau saja?"
"Aku baru pertama kali melihat Alex jatuh cinta, dan dia pasti hancur sekali begitu tahu dia tidak bisa bersama Ayuni. Kau kan keras. Kau pasti bisa membuatnya lupa, kan, dengan amarahmu yang sengit itu?"
"Kau ingin aku menemani anak laki-lakiku yang patah hati?" Tristan berdecak-decak.
"Kenapa tidak? Kau kan ayahnya, siapa tahu dengan kau ada di saat dia patah hati, justru sikapnya yang seperti sekarang bisa berubah. Kau mau berjanji, kan?"
"Ya, whatever," kata Tristan mengangkat bahu. Dia diam sejenak, kemudian menatap istrinya. "Apakah kau sama sekali tidak marah aku membahas Naya?"
"Jangan lakukan lagi di depan anakmu. Aku tidak mau membiasakan dia dengan hal-hal seperti itu. Takutnya dia menormalisasi pernikahan yang tidak berlandaskan cinta seperti kita," sahut Halena dingin.
"Kenapa? Kau masih tidak bahagia?"
"Kau bisa melihat kebahagiaan di wajahku?"
Dari luar Halena memang masih terlihat menarik. Manis. Tatapan sendunya yang membuat siapa pun yang melihatnya merasa iba padanya.
Tristan merasa bersalah sebab dialah yang menimbulkan kesenduan di wajah istrinya yang cantik itu, namun setiap dia merasa demikian, dia teringat bagaimana istrinya ingin cerai darinya. Ingin kembali pada cinta lama istrinya.
"Bagaimana kau bisa tidak bahagia di saat kau masih punya kesempatan melihat eksmu," gumam Tristan datar.
"Tentu aku tidak bahagia, sebab aku masih jadi istri orang."
Biasanya Tristan marah mendapat jawaban semacam itu, namun entah mengapa, dia justru merasa menyesal. Menyesal telah membuat Halena terperangkap dengannya.
Tristan dapat melihat keterpaksaan di wajah Halena saat dia berjanji pada Kakek Gunadi. Dia bisa melihat dengan jelas kesedihan yang tak dikatakan Halena pada kakeknya. Hati Tristan nyeri setiap dia teringat itu.
"Ah," kata Tristan memberikan seuntai senyum tenang. "Kalau sudah saatnya, kau pasti akan kulepaskan. Kau berdoa saja."
*I hope you like the story*
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cerai untuk Halena #Completed
RomansaTristan mencengkram kedua bahu istrinya. "Kau orang yang merenggut kebebasanku. Aku harus kehilangan wanita yang kucintai karena kau. Kenapa sekarang aku repot-repot memperhatikan perasaanmu agar bisa lepas dariku?" Tristan tersenyum licik pada istr...