7 ~ Anak tidak tahu diri!

3.8K 336 51
                                    

Terdengar suara Alex yang kalut. "Ma, Alex mau pulang saja," katanya. "Alex tidak punya passion di jurusan bisnis. Semua nilai kuis Alex sudah keluar, dan ada A-. Kalau Papa tahu, Papa pasti akan datang ke sini untuk mukul Alex."

"Alex, tenanglah," sahut Halena. "Itu kan baru kuis, bukan nilai akhirmu. Masih ada ujian, bukan. Kau jangan membiarkan rasa takut kegagalanmu menghalangimu untuk dapat nilai bagus."

"Ma, Mama ke sini, ya?" pinta Alex. "Mama bantu buat jadwal Alex belajar. Alex tidak bisa melakukannya sendiri, Ma. Jadi keteteran, dan Alex tidak bisa atur waktu."

"Alex, Mama tidak bisa ke sana. Siapa yang jaga papamu kalau Mama bepergian?" Halena menarik napas panjang. "Selain itu, Nak, Mama berencana untuk mengajar piano lagi."

"Mama ngajar? Mama nggak mikirin Alex?" tanya Alex putus asa.

Tahu-tahu ponsel Halena direnggut dari belakang. Suaminya menjawab Alex, "Alex! Sampai kapan sih kau merepotkan ibumu begini?"

Halena terkejut dengan kehadiran Tristan di siang bolong, sebab ia kira Tristan berada di kantor. Dia tidak memerhatikan suaminya pulang lagi ke rumah. Wajahnya pun tampak tak senang.

Dia kan paling kesal kalau anaknya merengut, pikir Halena.

"Ya Papa kan yang maksa untuk Alex ambil jurusan yang tidak Alex mau. Kenapa Papa marah begini?!" jawab Alex sama kerasnya. "Selama ini Mama yang bantu Alex belajar. Daripada Papa malu punya anak yang di-drop out, kenapa Alex dilarang minta tolong Mama?"

"Anak kurang ajar! Berani jawab orangtua!" dengus Tristan. "Kau tahu Papa lakukan ini demi kebaikanmu. Papa ingin kau menjadi orang yang dewasa, yang bisa membuat rencana dan mengambil keputusan. Sampai kapan kau datang ke ibumu di saat kau tidak berusaha untuk memperbaiki kegagalanmu?!"

"Ya mana kutahu kehidupan kuliah sesulit ini," sahut Alex kesal. "Papa juga nggak pernah bantu Alex. Papa hanya ngasi uang saja, kan?"

"Anak tidak tahu diri!" Belum sempat Tristan bicara lagi, sambungan dimatikan Alex. Tristan mengembalikan ponsel istrinya dengan marah. "Kau tahu, kan, dia akan meneruskan perusahaanku? Kau janji untuk membesarkannya sampai dia layak untuk memimpin perusahaan. Kalau dia seperti ini, aku malah ragu dia bisa lulus kuliah! Dia bukan hanya manja, tapi dia juga tidak punya sopan santun pada orangtua yang sudah membesarkannya!"

"Alex tidak pernah tidak berusaha menyenangkan hatimu, Tristan," jawab Halena lesu. "Sejak kecil dia selalu menang olimpiade, tapi kau hanya tersenyum tipis saja, tidak pernah memeluknya layaknya seorang bapak. Mengapa kau sekarang kaget dia memperlakukan kita begini?"

"Aku tidak mau tahu. Aku tidak mau dia mempermalukanku dengan dikeluarkan dari uni," kata Tristan tegas. "Terpaksa aku mengalah. Aku izinkan kau untuk membantunya belajar dengan metodemu sendiri."

"Itu artinya kau mengizinkanku ke Singapura?"

Halena berharap Tristan dapat memberi kesempatan baginya untuk menemui Alex. Kasihan anak itu, pikir Halena pahit. Dia tidak henti-hentinya ditekan oleh ayahnya. Dapat dibayangkannya wajah Alex yang murung dan ketakutan. Anak itu selalu berusaha semampunya untuk menyenangkan hati ayahnya yang dingin.

Ingin Halena mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dan meninggalkan suaminya. Dia tidak mau Alex tumbuh menjadi pemberontak. Belum apa-apa saja, anak itu sudah berani melawan orangtuanya. Hal yang sangat dikhawatirkan Halena adalah, anaknya punya dendam pada orangtuanya yang tidak mengizinkannya meraih mimpinya sebagai musisi.

Sayang sekali saat Halena berpikir untuk pergi dari rumah, ia teringat pada klausula dalam perjanjian nikahnya dengan Tristan. Klausula terkait dirinya yang harus mendidik anaknya dengan Tristan sampai menjadi pemimpin di perusahaan suaminya. Klausula itu tidak pernah diubah, sebab Tristan selalu menolak. Dia juga bukan hanya menolak, tapi juga mengancam akan menyakiti Halena dan anak mereka.

Tristan tidak takut pada apapun. Dia sudah berkuasa sejak lama. Halena tahu suaminya bahkan sanggup melakukan apapun untuk menghancurkan orang lain.

"Tentu tidak, sekarang kan sudah ada email dan fitur video call," jawab Tristan datar. "Aku pamit. Aku pulang untuk mengambil berkas yang ketinggalan."

"Kau kan bisa meneleponku untuk membawakan berkas ke kantormu," sahut Halena basa-basi.

"Omonganmu itu terdengar seakan-akan kau istri yang mengerti suaminya," kata Tristan sama nyinyirnya. "Melihat namaku saja di ponselmu saja membuatmu malas, apalagi diminta tolong olehku."

Istrinya mendelik padanya.

"Oh ya. Kalau kau mau mengajar lagi, tolong kalau bisa akhir pekan atau saat jam kantor. Aku tidak mau ada orang asing masuk ke rumahku di saat aku ingin beristirahat."

"Soal itu. Apakah kau bisa membantuku?" tanya Halena dengan nada yang berubah merajuk. Dia tahu suaminya punya koneksi di mana-mana. Pasti tidak sulit bagi Tristan mempromosikan jasa istrinya.

"Relasiku kebanyakan sudah tua, anak-anaknya juga sudah besar. Aku tidak mengizinkanmu untuk mengajar orang dewasa."

Halena setuju dengan hal itu. Dia sendiri lebih suka mengajar anak yang masih kecil. "Ya sudah. Nanti aku coba cari klien sendiri saja."

"Pengikutmu kan banyak di sosial media, coba saja dari situ dulu," sahut Tristan memberi saran.

Halena mengangguk. Setelah mengecup pipi istrinya sekenanya, Tristan meninggalkan ruang musik. Ia berpapasan dengan Ayuni yang saat itu masuk ke sana.

Halena memerhatikan Ayuni yang menunduk saat melewati Tristan. Ya, semua orang di rumah ini takut padanya, pikir Halena masam. Tristan yang hobi marah-marah pasti sudah diketahui Ayuni.

Hari itu Ayuni memberitahunya ia sudah menghubungi beberapa sekolah dasar, untuk diajak kerjasama menggunakan jasa Halena sebagai tutor di bidang musik pada para pelajar di luar aktivitas sekolah. Targetnya memang anak-anak yang masih kecil. Menurut pengalaman Halena, mengajari anak yang masih fresh pikirannya lebih mudah daripada yang sudah remaja ke dewasa.

Halena senang dengan kinerja Ayuni. Gadis itu mudah memahami apa yang diajarkan Halena padanya, dari menggunakan komputer, cara menelepon orang baru, dan membuat poster untuk mempromosikan jasa Halena. Sebagai pianis yang tidak terlalu sibuk, selama ini Halena melakukan semuanya sendiri.

"Ayuni, apa kau pernah bertanya pada kakek-nenekmu soal orangtuamu?" tanya Halena di sela-sela diskusinya dengan Ayuni. "Bukan maksud apa-apa, lho. Saya juga tidak punya orangtua." Halena tersenyum berusaha mencairkan suasana.

Ayuni mengangguk, tidak tersinggung. "Saya hanya tahu ibu saya melalui fotonya. Untuk ayah saya sendiri, kakek saya bilang dia pergi meninggalkan ibu saya sebelum saya lahir."

"Apa kau ingin mencari ayahmu?"

Untuk sesaat Ayuni memandang Halena.

Surat Cerai untuk Halena #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang