40 ~ Kau masih memanfaatkan istrimu?

1.8K 186 74
                                    

Para asisten rumah tangga yang curiga pada bunyi piano yang berisik, mendekati ruang musik dan mereka menutup mulut mereka dengan kaget. Biasanya pertengkaran majikan mereka menjadi tontonan yang tak pernah absen mereka saksikan, namun malam itu, kebahagiaan melumuri hati para asisten rumah tangga. Betapa leganya mereka bahwa akhirnya ada malam di mana Bapak dan Ibu tidak berantem. Mereka juga mengagumi betapa perkasanya Pak Tristan yang tidak memakai celananya, dan seketika mereka sadar bahwa mereka tak boleh menonton aksi yang dilakukan majikan mereka.

Pelan-pelan mereka mundur, menjauh dari ruang musik, akan tetapi suara Halena yang meneriakkan nama Tristan. Halena tidak bisa berhenti melisankan nama suaminya, saat tubuhnya dihentakkan hebat oleh suaminya. Halena memeluk, mencium bibir suaminya, dengan bokongnya di atas tuts pianonya.

Tristan mengangkat tubuh istrinya, menggendongnya ke kamar mereka, dan menaggalkan pakaian istrinya kemudian pakaiannya sendiri. Mereka tak berhenti melakukannya, malah semakin Halena meminta Tristan untuk pelan-pelan, dia semakin degil. Mereka melakukannya seperti kesetanan, seakan waktu mengejar mereka dan tak ada kesempatan bagi mereka lagi untuk merasakan sensasi penuh birahi itu.

Satu setengah jam kemudian, mereka terkapar di atas ranjang mereka, dengan Tristan yang memeluk istrinya. "Biarkan aku tidur di sini, Halena. Pinggangku sakit tidur di sofa terus," katanya memohon.

Halena mengangguk, bukan karena otaknya mengiyakan, melainkan dia cukup lelah untuk berpikir. Mereka terlelap, sampai paginya Halena dibangunkan oleh suaminya yang sudah siap dengan pakaian kerjanya.

Menyadari betapa terlambatnya dia, Halena buru-buru turun dari ranjangnya. "Jangan kesusu," Tristan mengingatkan sambil memasang dasinya. "Kau sedang hamil, kan. Beristirahat saja."

Halena mengangguk, duduk di tepi ranjang. "Jika ayahku masih hidup, Beliau pasti akan memarahiku yang tidak tegas dengan keinginanku," katanya tiba-tiba.

"Jika Beliau masih hidup, apakah dia akan peduli pada kau?" tanya Tristan, menatap istrinya. Raut wajah Tristan berubah masam. Tristan tidak menilai Himawan sebagai laki-laki yang punya naluri kebapakan.

Mana ada seorang ayah yang menodai pernikahannya dengan berselingkuh dengan perempuan yang seusia dengan anaknya? Sekali pun Himawan cinta, apakah dia sebegitu mementingkan egonya daripada istri dan anaknya?

"Papa memang tidak suka dengan jalan apa yang kupilih, terutama pernikahanku denganmu," kata Halena datar.

Tristan tertawa sumir. "Sudah, jangan dipikirkan lagi. Seharusnya ayahmu senang di alam baka, dia bisa bersama Naya di sana." Pria itu diam sejenak, menginsyafi kesalahannya menyebut nama orang yang dibenci istrinya. "Inilah hidup yang kita punya. Kupikir sudah saatnya kita terima pernikahan ini dengan legowo."

"Ya, kau benar," kata Halena, mengangguk. "Sana, sarapan. Aku mau mandi dulu."

"Oh, tidak, hari ini aku ada rapat penting jadi aku sarapan di kantor saja. Kau tidak usah menemaniku makan pagi ini." Tristan kemudian mengecup kening lalu bibirnya turun ke bibir istrinya. "See you later, Sweetheart." Pria itu berjalan keluar dari kamar mereka.

Begitu pintu kamarnya tertutup, Halena menghela napas jengkel. Legowo, ulangnya. Tristan, jika bukan kau yang mengucapkan itu, barangkali aku akan terlena dan jatuh hati pada kau, sayangnya kau tidak akan bisa mengubah sifatmu di hadapanku. Aku tahu betul mengapa pada akhirnya kau tidak menceraikan aku.

Bukan demi Alex.

Bukan juga demi bayi yang kukandung.

Dia masih menginginkan lebih apa yang dia punya sekarang. Kehamilanku hanya memberikan kilah padanya untuk bertahan dalam pernikahan ini. Dengan situasinya sekarang, dia yang menjunjung harta dan menganggap harta adalah segalanya, akan mencari cara lain untuk tetap menguasai perusahaan-perusahaan Kakek, terutama perusahaan konstruksi dan perusahaan properti Kakek.

Surat Cerai untuk Halena #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang