22 ~ Papa berpikir aku bukan anak Papa, kan?

3.5K 301 57
                                    

Omongan Tristan memang selalu kelewatan. Halena menunjukkan seringai yang menyebalkan. "Kenapa bukan kau saja yang mati? Aku rasa itu lebih menyenangkkan. Kau tidak perlu takut dengan nama baikmu dan masa depan Alex."

Bukannya marah, Tristan menatap datar pada istrinya. "Kuharap memang begitu, daripada harus hidup dan punya istri yang memalukan keluarga. Kau ingin kebebasan. Kebebasan! Bah!" Sekali lagi Tristan berdecak. "Lekaslah bersiap. Aku dan Alex akan menunggu di mobil."

Tristan mendapat kabar bahwa sudah banyak orang yang mendatangi rumah sakit untuk menjenguk Kakek Gunadi. Tak heran sebab kakek Halena salah satu tokoh yang berpengaruh di bidang usaha. Koneksinya berasal dari berbagai kalangan, dari rakyat biasa sampai pejabat pemerintah.

Selama perjalanan, dia mengingatkan Alex yang duduk di belakang untuk bersikap santun. "Akan banyak yang menyorot kita, Alex, dan walaupun keluarga kita sudah terkenal belangnya, setidaknya di saat genting seperti ini kita harus menunjukkan solidaritas sebagai keluarga," katanya sambil mengemudi. Diliriknya sekilas istrinya yang duduk di sampingnya. "Yang datang bukan hanya rekanan kerja, tapi ada juga wartawan."

"Papa tidak usah khawatir. Aku akan diam saja. Toh selama ini aku tidak banyak bicara pada Papa," sahut Alex acuh tak acuh.

"Alex, kelakuanmu yang seperti itu yang tidak boleh kau lakukan nanti," tegur ayahnya kesal. "Like mother like son," desisnya kemudian.

Halena mendelik jengkel.

"Ma?" panggil Alex.

"Ya, Nak."

"Ayuni tidak bisa datang. Dia masih lomba," jelas Alex dengan nada kecewa. "Padahal, aku mengharapkan dia bisa di dekat Alex sekarang."

"Kenapa kau malah memikirkan perempuan di saat kakek buyutmu sekarat," pendapat Tristan, berdecak-decak. "Halena, ada yang ingin kau sampaikan pada anakmu?"

Menurut hatinya, Halena sama seperti Alex, menginginkan Ayuni berada di sekitar mereka di saat-saat seperti ini. Hasil tes DNA memang belum keluar, tapi jika betul Ayuni adik Halena, itu artinya Ayuni bagian keluarga Gunadi juga. Halena ingin memberi kesempatan pada Ayuni dan Kakek Gunadi untuk bertemu walau sekali saja.

Halena menghela napas, setuju dengan pendapat Tristan. "Ayahmu betul, Alex. Kau seharusnya konsentrasi saja mendoakan kakekmu. Semoga saja, Beliau masih diberi umur panjang."

"Kau yakin hanya itu yang ingin kau katakan?" sahut Tristan lagi.

"Memangnya apa lagi?" jawab Halena jemu. Dia tahu ke mana arah pertanyaan Tristan. "Nanti kalau kau bertemu Kakek Buyut, kau senangi juga hatinya, Alex. Jangan cerita-cerita hal buruk padanya."

"Aku dan Kakek Buyut jarang ngobrol. Waktu aku kecil aku lebih banyak disuruh les segala macam," kata Alex lebih ke dirinya sendiri. "Masa remajaku juga diisi dengan lomba ini-itu. Hanya satu yang aku tahu Kakek suka tentangku. Kakek bilang, kalau sudah apes tidak bisa berbisnis, aku bisa mengasah bakatku bermain biola. Lagu kesukaannya Cinema Paradiso."

"Ya bahas itu saja, kalau memang itu satu-satunya kenangan yang kau punya dengan kakek buyutmu," sahut Tristan datar.

Halena menoleh dengan kaget, tentu dilihatnya wajah Tristan yang berubah sebentar. Dia pasti sangat kesal diingatkan kata biola, pikir Halena, mengingat tuduhannya tempo hari terkait Lucas adalah ayah Alex.

Mengapa kau harus sedingin ini, Tristan, keluh Halena. Andai saja kau bisa menjadi pria yang kuinginkan. Yang bisa menghujaniku dengan kelembutan. Yang tidak memaksa anak untuk menjadi apa yang kau mau. Sayangnya, egomu yang begitu tinggi itu enggan untuk luluh padaku.

Sebelumnya Tristan memang mampu menyembunyikan kekecewaannya.

Di hadapan banyak orang, mereka mengucapkan terima kasih atas kedatangan mereka. Mereka juga meminta doa dari setiap tamu yang hadir dari ujung lorong rumah sakit sampai depan ruang rawat Kakek Gunadi.

Sampai sosok itu mereka temukan.

Lucas, dengan pakaian serba hitam, menghampiri mereka bertiga. Dia mengucapkan turut sedih atas sakit yang didera Kakek Gunadi. "Beliau pernah menjadi sponsorku saat aku tampil di berbagai negara di Eropa," katanya menjelaskan. "Rasanya sulit dipercaya Beliau bisa sakit seperti ini."

"Dia sudah hampir seratus tahun, bagian mana yang sulit dipercaya," sahut Tristan merasa mual dengan basa-basi pria itu.

"Tris," tegur Halena melotot ke arah suaminya. "Maaf, suamiku ini memang blak-blakan orangnya."

"Ini anakmu, Halena?" tanya Lucas merujuk pada Alex yang berdiri di belakang orangtuanya.

Halena mengangguk. "Iya, namanya Alex."

"Alex?" ulang Lucas dengan satu alis menaik. "Diambil dari nama pemain biola Alexander Schneider?"

Sekali lagi Halena mengangguk disertai senyum tipis. Dia tahu Tristan yang berdiri di sebelahnya menahan dongkol dengan kedekatannya pada Lucas. Biar saja, pikir Halena. Biar dia tahu bahwa aku bisa bahagia dengan orang lain selain dirinya!

Tristan tidak menghindari perasaan kesal yang berkecamuk di dadanya. Pada saat mereka datang, Kakek Gunadi sedang tidak bisa dijenguk. Kata suster dia sedang dibantu mandi kala itu. Tristan mengajak Alex untuk berdiri sedikit jauh dari Halena dan Lucas.

Matanya tak berhenti melihat raut wajah Halena yang berubah-ubah. Ada kalanya dia menunjukkan kesedihan, lalu tersenyum, kemudian sendu lagi. Brengsek, maki Tristan dalam hati. Bagaimana bisa dia setenang itu di hadapan mantan kekasihnya? Di depan khalayak umum pula! Sementara di rumah, denganku dia tak bosan-bosannya mengajak berantem!

"Kalau kau membenci ayahmu, Alex," bisik Tristan pelan. "Kau lihat saja sendiri ibumu yang bisa seperti itu pada pria lain. Kau mengerti kan mengapa Papa marah terus bawaannya di rumah?"

"Tentu saja Mama suka padanya," jawab Alex sengaja memperkeruh perasaan ayahnya. "Bagaimana tidak? Dia kan violinis terkenal. Tampangnya juga nggak jelek. Selain itu dia juga sepertinya bisa memperlakukan Mama dengan baik."

Sok tahu, gerutu Tristan.

"Tidak tahukah kau siapa dia bagi ibumu?"

"Terang aku tahu, aku kan bukan anak kecil lagi yang mudah dibohongi." Alex tersenyum pada ayahnya. "Bukankah itu alasan kenapa Papa tidak suka padaku? Papa berpikir aku bukan anak Papa, kan?"

"Jadi kau sudah tahu...," kata Tristan terhenyak. Ada secercah rasa bersalah di hatinya, mengingat dia sering melukai anaknya secara fisik saat anaknya tidak menurut padanya.

"Aku berharap aku memang anaknya," sambung Alex nanar. "Sayangnya, setiap aku berkaca, aku melihat wajah Papa di sana."

"Sayangnya? Kenapa kau berkata begitu?"

"Sebab profesional seperti dia tidak mungkin imun terhadap musik seperti Papa. Kalau aku anaknya, aku pasti akan didukung penuh untuk mengejar karirku sebagai pemain biola," jawab Alex. "Tapi tenang. Aku sekarang lebih suka menjadi anak Papa."

"Kau pasti ada maunya." Tristan berdecak kesal.

Dia kembali memperhatikan istrinya yang masih berbincang-bincang dengan Lucas. Apa kau sengaja merendahkanku di depan banyak orang, Halena, pikir Tristan. Kepalanya panas seakan mendidih. Apa yang dikatakan orang lain melihatku berdiri di pojokan memandang istriku yang berceloteh ini-itu dengan eksnya?

*I hope you like the story*

Kalian tim bertahan atau cerai?

Kalian tim bertahan atau cerai?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Surat Cerai untuk Halena #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang