42 ~ Dia pikir, dia pemenangnya?

2.3K 196 82
                                    


Cindy menunjukkan pialanya setelah sesi belajar pianonya selesai. "Aku berhasil juara satu, Bu. Berkat Ibu."

Trenyuh Halena melihat piala itu, piala kemenangan yang dulu sempat dikejarnya saat dia masih kecil. "Ibu bangga pada kau, Cindy. Ibu juga minta maaf tidak datang ke acara lomba, sebab Ibu ada urusan keluarga. Kakek Ibu baru saja meninggal."

"Tidak apa-apa, Bu. Cindy juga turut berduka ya," jawab Cindy mengangguk, kemudian dia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya. "Ini Cindy beli dari tabungan Cindy. Ibu terima, ya?"

Mata Halena berkaca-kaca. Diterimanya kotak itu. Cindy memintanya untuk segera membuka kotak itu, dan Halena tersenyum senang saat melihat kotak musik piano dengan balerina yang menari di atasnya.

"Jika Ibu tekan tombol di sisi ini, lagu Für Elise akan berkumandang." Cindy meenunjukkan tombol yang dimaksud dan menekannya. Balerina kecil itu lalu menari. "Disimpan ya, Bu. Untuk jadi kenang-kenangan."

Halena mengangguk, memeluk Cindy sesaat dan mengucapkan selamat padanya. Dia akan rindu mengajar. Pagi itu sudah diberitahunya Ayuni untuk menginfokan semua kliennya untuk mencari guru piano sebagai penggantinya. Halena ingin istirahat sejenak dari pekerjaannya.

Beberapa kliennya keberatan, meminta ganti rugi darinya, namun akhirnya mereka tetap menolak dan meminta Halena untuk tetap sempat mengajar walaupun tidak sesering dulu. Halena mengiyakan, dan hanya menjadwalkan waktu mengajarnya dari hari Rabu sampai Jumat saja.

Rasa letih itu tidak bisa diabaikannya. Usianya sudah tidak muda lagi, sementara pikirannya lebih merumitkannya daripada saat dia muda. Seharusnya di usianya yang sekarang, dia bisa berbahagia dengan suaminya dan menunggu anaknya wisuda, bukan terbebani dengan suami yang tamak dan anak yang menahan luka batin karena ayahnya.

Alex tampak tegar sebelum dia kembali ke Singapura, tapi Halena tahu anak itu berusaha keras untuk tidak mengecewakan ayahnya. Ucapan Tristan bak titah dari Tuhan yang tak bisa dibantah. Di saat seperti ini, Halena berpikir untuk tetap bercerai saja, dan tidak memikirkan anak serta perusahaan kakeknya.

Mengapa sulit baginya untuk bahagia? Mengapa dia merasa egois jika dia ingin berbahagia di luar sana?

Alex sudah besar, seharusnya dia sudah punya kekuatan untuk melawan dan mencari kebahagiaanya sendiri, namun nyatanya Alex tidak seperti itu. Baik Alex maupun Halena sama-sama lemah menghadapi Tristan.

Untung saja ada Ayuni. Kehadirannya di hidup Halena mengurangi rasa sedih dan kesepian yang membalut hati Halena. Ayuni menyodorkan transkrip nilai semesternya.

"Jika semester depan IPK saya masih segini, akan mudah bagi saya untuk meneruskan kuliah di luar, Bu," kata Ayuni memberitahunya. "Itu pun jika Ibu mengizinkan saya."

"Tentu saya mengizinkan kau menimba ilmu sejauh yang kau bisa. Jadinya kau memilih di mana? Belanda atau Australia?"

"Untuk jurusan saya, banyak yang menyarankan di Belanda lebih baik," jawab Ayuni. Dia bertanya sekali lagi, "Ibu betul, tidak apa-apa jika saya meninggalkan Jakarta?"

"Tidak masalah. Yang penting, kau jangan kecewakan saya. Kau tidak boleh stres, tidak boleh terlalu santai. Dibawa senang saja, ya."

Ayuni mengangguk. "Bu Halena kelihatan pucat. Ibu tidak apa-apa?"

"Saya sedang hamil, Ayuni," kata Halena tersenyum. Biarlah di depan Ayuni dia terlihat bahagia untuk sesaat, walaupun nanti saat Ayuni pulang, dia akan merana lagi.

"Ibu hamil? Wah, selamat ya, Bu." Ayuni menyalami Halena dengan senang. "Apakah karena ini Ibu ingin melonggarkan jadwal Ibu?"

Halena mengangguk. "Kau doakan saja ya agar semuanya dilancarkan."

Surat Cerai untuk Halena #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang