Alex insyaf jika ia tidak punya keberanian untuk melawan ayahnya, pilihan hidupnya adalah bekerja di perusahaan ayahnya, oleh karenanya dia belajar dari kesalahannya. Dia tidak pulang meski sudah waktunya. Dia membantu senior-seniornya untuk menyelesaikan pekerjaan mereka.
Keinginannya untuk memiliki karir sebagai pemain biola dia pupuskan. Dia tidak mau lagi memberi khayalan semu pada dirinya. Yang menjadi kemauan utamanya adalah membuat mamanya bahagia dengan menjadi anak yang diinginkan Papa.
Papa. Alex mulai memahami mengapa Papa tidak mau memanjakannya. Dunia pekerjaan sangatlah keras. Salah sedikit, bisa menimbulkan kekacauan yang lain. Dia tidak mau mundur dari masa permagangannya. Ingin dibuktikannya pada Papa bahwa dia bisa bertanggung jawab dengan pekerjaannya.
Sepulangnya dari kerja, dia melirik ke ruang musik ibunya. Ada Ayuni di sana sedang mengerjakan sesuatu dengan pulpen dan buku. Dia masuk ke ruang musik itu, mendekati Ayuni kemudian menegur mengapa dia belum pulang.
Ayuni melihat jam tangannya. "Ya ampun, tidak kerasa," gumamnya. Dia menutup bukunya. "Tadi setelah Bu Halena mengajar, saya menggunakan ruangan ini untuk belajar. Sebentar lagi akan ada ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri."
"Ini sudah jam delapan, kau ingin kuantar?"
"Tidak usah repot-repot, Mas Alex. Saya biasa pulang sendiri kok," jawab Ayuni dengan senyum sekenanya. Dia berdiri. "Terima kasih, Mas."
"Ayuni."
Entah bagaimana setan merasuki tubuh Alex. Tahu-tahu ia menjulurkan tangannya untuk menahan lengan Ayuni. Dengan gerakan cepat dia ikut berdiri, kemudian mengecup pipi Ayuni.
...lalu merambat ke bibir gadis itu. Alex memang sudah tertarik pada gadis berparas ayu ini. Dia merasakan perlawanan dari Ayuni, namun Alex memeluknya erat hingga Ayuni berpasrah saja dalam dekapannya.
Mereka berciuman. Satu menit, dua menit, sampai lima menit.
Dari luar Halena menyaksikan itu dengan mulut terkatup. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Menurut hatinya dia ingin melabrak anaknya dan Ayuni, tapi dia tidak punya keberanian untuk mengungkapkan kebenarannya.
Halena perlahan berjalan mundur, lalu berlari ke kamarnya. Dia bergegas ke dalam kamar mandi yang ada di kamarnya. Dimuntahkannya semua isi lambungnya ke kloset. Badannya terasa menggigil.
Dia merasa jijik mengingat apa yang dilihatnya tadi. Mereka.. Mereka adik-kakak, pikir Halena. Aku bodoh selama ini menunda-nunda untuk tes DNA. Besok akan kubawa rambut milik Ayuni dan Tristan ke rumah sakit. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku tidak bisa diam saja.
Halena terjaga semalaman. Dia memandang suaminya yang terlelap dengan dengkuran halus. Kenapa kau harus punya anak di luar kawin, keluh Halena. Dan kenapa aku juga merasa punya tanggung jawab atas anak itu? Harusnya kau yang membereskan masalahmu. Kenapa aku mau saja repot-repot mengurusi anak dari pacarmu?
Keesokan paginya ketika Halena membuka mata, suaminya sudah siap dengan pakaian kerjanya. Halena segera mandi dan memakai bajunya. Dilihatnya suaminya menatapnya dengan senyum di wajahnya.
Bukan senyum yang menyenangkan, lebih ke senyum sinis. "Kau pasti kesulitan tidur sampai bangun lebih siang," kata Tristan. "Kau tidak bisa berhenti memikirkan yang anakmu lakukan."
"Kau.."
"Tahu soal Alex yang mencium asistenmu? Ya," jawab Tristan datar. "Dia mengingatkanku pada masa mudaku. Aku dulu semangat untuk menyentuh gadis yang kusukai."
Halena menatap Tristan dengan jijik. "Kau tahu dari mana?"
"Aku yang menegur mereka semalam, setelah kau pergi ke kamar tentu saja. Ingin mendengar saran dari suamimu? Pecat asistenmu. Aku tahu kau tidak nyaman juga dengan kedekatan mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cerai untuk Halena #Completed
Roman d'amourTristan mencengkram kedua bahu istrinya. "Kau orang yang merenggut kebebasanku. Aku harus kehilangan wanita yang kucintai karena kau. Kenapa sekarang aku repot-repot memperhatikan perasaanmu agar bisa lepas dariku?" Tristan tersenyum licik pada istr...