Kakek Gunadi merasa napasnya sesak. Dia meminta suster yang menjagainya dua puluh empat jam untuk segera memanggil dokter. Himawan Gunadi, gumamnya dalam hati. Himawan anakku. Sudah saatnya kau berhenti membebaniku dengan tanggung jawabmu. Tugasku sudah selesai.
"Kau tolol, Himawan! Kau bodoh!" bentak Kakek Gunadi sambil memukul-mukul kepala anaknya. Tidak pernah dia semarah itu seumur hidupnya. "Kau tidak hanya menghancurkan reputasi orangtuamu dengan gagal mendidik anakmu. Ya, kau telah gagal membuatnya menjadi wanita terhormat, sampai kau harus membersihkan namanya dengan menyerahkannya pada Tristan. Kini kau lempar aib padaku dengan menghamili pegawai baru di kantor!"
"Bukan salah saya. Saya tidak pernah mencintai istri saya, dan saya bisa menemukan kebahagiaan dengan Naya!" jawab Himawan membela diri. "Berhenti seperti ini, Pa. Kita sudah sama-sama tua. Biarkan saya membereskan masalah ini."
"Anak tolol. Bodoh. Goblok!" Entah apa lagi kata yang bisa mendeskripsikan kekesalan Kakek Gunadi pada anaknya. "Keterlaluan kau, Himawan. Kebahagiaan apa! Kau sudah tua, sudah sama bangkanya denganku! Kupikir kau menjodohkan Halena pada Tristan hanya karena bisnis, tapi rupanya lebih dari itu. Betul, kau sengaja menjauhkan Tristan dari pegawai muda itu?!"
"Naya tidak pernah mencintai Tristan. Dia bilang sendiri pada saya, kehangatan itu tidak bisa diberikan Tristan padanya."
"Lalu kau mau apa? Kau ingin menceraikan istrimu dan pergi menikah dengan Naya?!"
"Kenapa tidak?!"
Aku menyesal telah melarangmu, pikir Kakek Gunadi dengan air mata berlinang. Seharusnya kubiarkan saja kau bodoh menceraikan istrimu. Meninggalkan keluargamu. Angkat kaki dari perusahaan. Dengan begitu, kau tak usah menjadi pembunuh, Himawan. Kau tak usah menyingkirkan perempuan itu sebab kau cemburu Tristan akan mendekatinya jika dia masih hidup.
Aku masih ingat apa yang kau katakan, Himawan. "Saya tidak bisa meninggalkan semua yang saya punya demi Naya, tapi saya tidak bisa membiarkannya didekati lagi oleh Tristan, terlebih Tristan sudah memilih Halena." Kau berkata demikian tanpa merasa berdosa. Kau membunuh wanita yang kau pikir kau cinta. Jika betul kau mencintainya tak mungkin kau tega menyuruh orang untuk membunuhnya.
Aku bukan kau, pikir Kakek Gunadi. Aku takkan meninggalkan cucu dan cicitku dengan dosamu yang berat. Tapi penyakit sialan ini... dan usiaku yang sudah hampir seabad... Aku tidak bisa bertahan lama lagi.
**
"Jujur! Kau sebenarnya tidak berhentinya memikirkannya kan sepanjang pesta tadi!"
"Kau bicara apa," gumam Halena menganggap bentakan Tristan hanya angin lalu. Dia menurunkan gaunnya ke bawah, kemudian melipat gaun itu lalu ditaruhnya di keranjang khusus pakaian kotor. Dengan tanpa busana dia berjalan ke kamar mandi. "Aku lelah. Jika kau mau bertengkar, siapkan argumenmu selagi aku mandi. Hari ini cukup melelahkan."
Itu betul. Untuk apa berantem di saat dia capek begini. Selain itu, sebenarnya itu taktiknya saja untuk menghindari pertengkaran. Dia tidak punya pembelaan untuk dirinya, sebab yang dituduhkan Tristan memang benar. Tak ada barang sedetik pun dia tidak memikirkan Lucas.
Pria itu semakin tampan saja, pikir Halena. Menyesal aku dibuatnya telah memilih Tristan yang galak dan menyebalkan. Senyumnya pun belum berubah.
Halena menyalakan air bak mandi dan duduk di tepinya. Didengarnya suara pintu kamar mandi dibuka. Suaminya juga sudah telanjang, masuk ke bilik khusus shower. Dia tidak pernah mandi lama, pikir Halena. Paling lama hanya lima menit. Tiga menit di bawah pancuran air, dua menit di depan westafel untuk menggosok gigi.
Bak mandi baru saja terisi penuh dengan air saat Tristan sudah selesai dengan urusannya. Halena masuk ke dalam bak, merasakan sensasi air hangat di sekujur tubuhnya. Tristan tak langsung kembali ke kamar. Setelah memakai piyama, dia duduk di dekat bak mandi. Memandang Halena dengan sorotan marah.
Halena hanya tersenyum, seakan melihat anaknya yang sedang ngambek. "Kau masih menuntut jawaban?"
"Pikirmu?"
"Kenapa kau risau? Dia kan sudah bukan apa-apaku. Aku juga yakin kau selalu mengawasiku meski dari jauh," kata Halena, menyandarkan kepalanya kemudian memejamkan matanya.
"Mendengar namanya saja sudah membuat perutku sakit, apalagi tadi harus melihat wajahnya. Dia kelihatan senang melihatmu. Aku yakin, dia pasti memujimu karena wajahmu tak jauh beda dari dua puluh tahun lalu. Bagaimana tidak awet? Kau dihujani uang dan kemewahan dari suamimu," sahut Tristan jengkel.
Halena membuka matanya, melotot selebar-lebarnya pada Tristan dengan marah. "Apa maksudmu?"
"Coba kau pilih dia. Namanya sudah tidak tenar, dan hanya beberapa orang saja yang masih kenal dia. Karirnya sebagai pemusik sudah tidak sebagus itu. Secara finansial, pasti kau akan lebih menderita dibanding kau hidup denganku yang serba berkecukupan."
"Menurutmu aku tidak mampu hidup dari uangku sendiri?" tanya Halena tersinggung.
"Halena, pikirlah secara jernih. Ya kau cantik. Ya kau masih bisa main piano. Tapi kau sudah lama tidak memproduksi lagu-lagu lagi," kata Tristan. "Dengan apa kau bertahan tanpaku? Uang kakekmu? Ah, sampai sekarang saja dia tidak memberimu apa-apa."
"Aku beruntung punya suami kaya, tapi mungkin aku bisa lebih beruntung lagi kalau suamiku bisa memplester mulutnya," kata Halena menutup matanya lagi. "Kalau kau ke sini untuk menanyakan aku apakah aku masih memikirkan dia, jawabannya tidak. Puas?!"
"Dengan dia seganteng itu?"
"Nah kan. Kau mengakui dia ganteng. Kau sendiri yang tidak percaya diri, tapi aku yang harus menghilangkan rasa tidak pedemu itu."
"Apa betul dia bukan ayah Alex?"
Kini Halena tidak bisa menahan kemarahannya lagi. Dia membuka matanya, menyiram Tristan dengan air dari bak. "Kurang ajar! Kau kira aku perempuan macam apa?!" Dia berdiri, keluar dari bak mandi, lalu menutup tubuhnya dengan handuk kimono. Tak lupa sebelum keluar dibukanya penutup saluran air bak.
Mereka berjalan ke kamar. Halena tidak percaya bahwa ada keraguan dalam diri Tristan. Dengan kata lain, dia menuding Halena telah berzina dengan laki-laki lain. Dengan kata lain juga, dia tidak percaya bahwa Alex anaknya!
Dasar manusia berhati batu!
"Lalu gimana? Dia anakku atau bukan?"
"Inikah sebabnya kau selalu menyiksa Alex? Sebab kau merasa dia bukan anakmu!" tanya Halena berdecak-decak gusar. "Kau keterlaluan, Tristan. Aku bisa mengerti kau marah padaku sebab aku merenggut kebebasanmu, tapi kini kau menudingku telah menodai perkawinan ini! Brengsek kau, Tristan!"
"Kenapa tidak kau jawab saja?"
"Jawab apa? Cari tahu saja sendiri!" bentak Halena murka. Dipakainya baju tidur dan langsung ia merebahkan dirinya di atas tempat tidur. "Sebaiknya kau tidur di ruang kerjamu. Aku tak sudi melihatmu malam ini!"
Perempuan, keluh Tristan dalam hatinya. Harusnya kan aku yang marah lantaran dia bertemu eksnya! Kenapa jadi aku yang disalahkan? Tampaknya Halena tidak terima dengan kecurigaanku. Kemarahannya menjadi pertanda bahwa dugaanku memang salah.
Tristan tak mau tidur di luar. Enak saja. Memangnya dia laki-laki apaan? Diusir istri! Bah!
"Tristan!" bentak Halena saat suaminya mulai menjamahnya. "Kau pikir seks bisa menyelesaikan masalah?"
"Selama ini tidak pernah gagal, kok." Tristan mengecup leher istrinya, dengan tangannya yang membelai paha istrinya.
Halena tidak bisa melawan. Tubuh Tristan yang lebih besar darinya tidak bisa membuatnya lolos dari dekapan suaminya. Mereka memang melakukannya, tapi malam itu berbeda.
Malam itu Halena membayangkan pria lain. Pria yang dulu sempat menghangatkan hatinya.
*I hope you like the story*
Kapan cerainya ya mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cerai untuk Halena #Completed
RomansaTristan mencengkram kedua bahu istrinya. "Kau orang yang merenggut kebebasanku. Aku harus kehilangan wanita yang kucintai karena kau. Kenapa sekarang aku repot-repot memperhatikan perasaanmu agar bisa lepas dariku?" Tristan tersenyum licik pada istr...