36 ~ Selamat jalan, Kakek

2.3K 243 145
                                    


"Jangan sentuh saya!" Halena menepis tangan anak buah Tristan. Dia melotot pada suaminya. "Memalukan! Aku bisa jalan sendiri ke mobilmu!"

Bukan tanpa alasan Halena mudah saja menurut. Hatinya nyeri melihat Lucas digebuki terus oleh anak buah Tristan yang lain. Dia meminta Mbok mengambilkan tasnya di atas meja, dan meraihnya kemudian berjalan ke arah mobil Tristan.

Selama perjalanan pun dia tidak berhenti menunjukkan kekesalannya. Berani-beraninya Tristan mengerjainya seperti ini. Dia mengusirnya dari rumah, dan sekarang memintanya untuk kembali. Dipikir pria itu, Halena sanggup saja bertahan dengan kegilaan dan keplin-planannya itu?

Tristan memecah keheningan. "Kau pasti tidak tega melihat kekasihmu kesakitan seperti tadi."

"Memangnya kenapa kalau iya? Kau tidak senang? Bukankah tadinya kau ingin menjualku padanya?" jawab Halena marah. Dia memalingkan wajahnya ke jendelanya di sebelah kiri. "Kenapa sih, kau ini tidak punya hati nurani sampai memukul orang seperti itu?"

"Sebagai tanda bahwa aku muak padanya dan keluarganya," sahut Tristan dingin. "Aku tidak sudi lagi berhubungan dengan keluarga Hananto. Tidak peduli mereka pemegang saham mayoritas di perusahaan kakekmu sekali pun!"

"Kenapa? Karena dia tidak mau bayar dua triliun itu?"

"Jadi kau tahu?"

"Aku yang memintanya pada Lucas. Aku tidak mau dibeli." Halena menarik napas berat. "Meski aku marah padamu, aku tetap meyakinkannya untuk tidak membatalkan kerjasama dengan kau. Kenapa kau masih tolol begini?"

"Ha! Tahu apa kau soal bisnis," kata Tristan merendahkannya. "Ada beberapa hal yang tidak bisa ditoleransi, apalagi soal harga diri."

"Harga diri? Kau? Kau memikirkan harga diri?" Halena menertawakannya. Dia mendesis, "Sweetheart my ass."

"Semua ada harganya, termasuk kebebasan yang sering kau sebut itu."

"Tristan, apakah kau mendengar suaramu sendiri? Kau terdengar putus asa dan menyedihkan. Karena batal mendapat uang, kau terpaksa hidup dengan wanita yang tidak kau cintai. Kau bahkan mengotori tanganmu sendiri dengan menyakiti orang lain."

"Terserah kau mau bilang apa. Yang jelas, kau takkan aku biarkan pergi sampai Alex menjadi pemimpin. Kau pahami itu."

"Jangan terlalu sombong. Belum tentu kau masih punya umur saat Alex menjadi direktur di perusahaanmu," sahut Halena tajam.

"Kalau aku mati, aku akan menghantuimu sampai kau tidak betah tinggal di dunia dan kita akan hidup di neraka bersama."

Halena mendengus. Suasana di mobil Tristan kembali mencekam dengan tak ada satu pun dari mereka yang bersua, sampai ponsel Halena berbunyi. "Halo..." Tak lama kemudian ponsel itu terjatuh ke kakinya. Matanya basah. Dia menoleh pada suaminya. "Tris. Kakek meninggal."

**

Rumah sakit dipenuhi para wartawan dan banyak kenalan-kenalan Kakek yang datang untuk melihat Kakek Gunadi. Halena dan Tristan bergegas ke ruang jenazah, memandang Kakek yang sudah terpejam.

Untuk selamanya.

Halena tidak menangis. Dia memeluk kakeknya untuk terakhir kali. Dirasakannya tubuh Kakek yang masih hangat. Kakek sudah tidak sakit lagi, lirih Halena. Kakek bisa pergi dengan tenang karena Halena tidak butuh dijaga Kakek lagi. Selamat jalan, Kakek Gunadi.

Alex dan Ayuni datang bersamaan tak lama dari Halena dan Tristan. Mereka berdiri di dekat Kakek, mendoakan Kakek, lalu Kakek dibawa ke kediamannya untuk dishalatkan. Halena menawarkan dua anak itu untuk pergi dengan mobil Tristan. Sempat dilihatnya keraguan di mata Alex, tapi akhirnya anak itu mengangguk.

Suasana rumah Kakek ramai sekali. Mereka mengucapkan duka-cita pada Halena dan keluarganya. Kakek dibawa ke perisirahatan terakhirnya keesokan paginya. Tristan dan Alex ikut membantu membawa Kakek masuk ke dalam tanah.

Pengunjung yang datang lambat-laun pulang, menyisakan Halena dan keluarganya. Mama Astrid membelai-belai bahu Halena, mencoba menyabarkan hatinya. Halena mengangguk berterima kasih dan meminta Mama untuk tetap menjaga kesehatan.

"Aku turut berduka, Halena."

Mereka menoleh pada Lucas dan Peter yang baru datang. "Semoga kau dan keluargamu diberi ketabahan."

"Beliau orang yang baik," sambung ayah Lucas menatap makam Pak Gunadi.

Halena memandang Tristan yang diam saja, tidak senang dengan keberadaan mereka, namun tidak bisa melakukan apa-apa. Halena berterima kasih pada Lucas dan ayahnya atas kedatangan mereka.

Di hadapan mereka, Tristan merangkul istrinya, dan dia sedikit puas melihat perubahan di wajah Lucas yang lebam. Dia juga mengucap terima kasih pada mereka dengan nada yang datar sekali.

Lucas hanyalah masa lalu Halena. Tristan tidak merasa terancam atas kehadirannya. Kalau bukan karena kekayaan bapaknya, siapa juga dia? Hanya pemain biola yang namanya sudah redup.

Tristan tidak mungkin lagi melepaskan istrinya untuk lelaki yang medioker semacam itu. Sampai anaknya yang membuatnya begitu.

Mula-mula baik Tristan maupun Halena tidak menyadari sikap Alex. Mereka mengira diamnya anak itu disebabkan rasa sedih atas kehilangan kakek buyutnya. Halena mengingatkan Alex untuk mengurangi kesedihannya dengan kembali ke Singapura, namun Alex menolak.

Selama seminggu dia bermain biola di kamarnya. Dari pagi sampai malam. Ayahnya dibangunkan dengan suara yang mengesalkannya itu, namun Halena mencegahnya untuk memarahinya, berusaha memberikan pengertian.

Sejak dia mengusir Halena, Tristan tidur di ruang kerjanya karena Halena belum siap seranjang dengannya. Istrinya secara gamblang bilang padanya, "Aku jijik padamu dan perangaimu. Entah sampai kapan aku bisa memaafkanmu, Tristan." Halena sedang berduka dan Tristan malas berdebat dengan istrinya, maka diturutinya saja permintaan istrinya itu.

Tristan jengkel setiap suara biola itu menggelegar di rumahnya. Dia ingin masuk ke kamar Alex, namun Halena yang bangun lebih pagi darinya berdiri di depan kamar Alex, menahannya. Tristan tahan saja, toh dia pergi bekerja setiap hari, tapi tampaknya anak itu memang sengaja melakukannya untuk membuatnya marah.

Halena mengetahuinya saat Tristan berangkat kerja, bunyi biola itu tidak terlalu besar, akan tetapi setiap Tristan di rumah, gesekan biola itu menimbulkan suara yang lebih keras.

Pada hari kedelapan, suara biola itu tidak ada, membuat Tristan heran. Sepulangnya kerja dia masuk ke kamar anaknya, mengecek keadaannya. Dia berteriak memanggil Halena. "Cepat kemari! Anakmu!"

Tristan mendekati anaknya yang terkapar di atas tempat tidurnya dengan darah yang mengalir di pergelangan tangannya. "Papa... Berjan..ji untuk... cerai..." kata Alex menatap ayahnya getir. "Papa.. berdusta... Lebih baik... a...ku... ma..ti... A..ku... tak.. ku..at.. la...gi... A..ku... tak.. mau.. meli..hat.. Ma..ma.. se..dih..."

"Tidak, Nak, tidak!" Tristan menekan tangan anaknya dengan tangannya sendiri agar darah tidak keluar lebih banyak. Wajah anaknya yang pucat membuat Tristan ketakutan. Dia menatap pada Halena yang berdiri di sebelahnya. "Suruh sopir kemari, Halena. Aku tidak kuat membopong Alex! Aku harus menyelamatkannya! Dia tidak boleh mati!"

Akan kuserahkan apapun untuk menyelamatkan nyawanya. Kalau perlu, ambil jantungku, Nak, pikir Tristan kalut. Asal kau hidup!

*I HOPE YOU LIKE THE STORY*

Surat Cerai untuk Halena #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang