Mereka pulang sebentar untuk beristirahat. Seusai mandi, Halena tidak rebahan di kamar, melainkan melamun saja di ruang musiknya. Hanya di sana dia bisa memperoleh ketenangan. Hanya di sana pula dia merasa terbebas dari perasaan yang membelenggunya.
Sekian lama aku jadi istri Tristan, aku merasa sekaranglah seharusnya aku menyiapkan kehidupanku selanjutnya, pikirnya. Dia tidak duduk di dekat piano seperti biasa. Tubuhnya yang lemas, terduduk di lantai, bersandar dengan tembok. Salah satu alasanku tetap bertahan menjadi istrinya, sebab aku merasa itu tanggung jawabku pada orangtuaku dan kakekku.
Aku tidak perhitungan dengan apa yang Kakek berikan padaku selama ini, tapi sekarang, aku mempertimbangkan berapa banyak yang akan kudapat. Pastilah tidak sedikit. Akan kusimpan uang dari Kakek untuk hidupku dan Alex serta Ayuni. Ah, Ayuni. Aku tidak dendam padanya sekali pun dia anak dari perempuan yang telah menyiksaku selama ini.
Ya, menyiksa. Setiap Tristan melisankan namanya aku merasa sakit hati. Aku merasa harga diriku tidak lebih dari saham yang ditawarkan Kakek. Terlepas dari itu, aku tidak marah pada Ayuni. Ah. Bagaimana aku bisa memberitahunya? Kalau aku berada di posisinya, aku pasti marah pada diriku. Selama ini aku hidup bergelimang kemewahan, sementara anak itu...
Hubungannya dengan Alex juga terpaksa harus dihentikan. Aku tidak sampai hati mematahkan kedua hati mereka, tapi aku tidak punya pilihan daripada mereka bergumul dengan dosa.
"Mama."
Halena menoleh ke asal suara. Dilihatnya Alex berdiri di dekatnya. Anak itu sudah sampai rupanya. Halena berdiri, memeluknya dengan erat, lalu perlahan dilepaskannya pelukan itu.
"Bagaimana dengan keadaan Kakek Buyut, Ma?" tanya Alex lirih. "Apakah sekarang bisa dijenguk?"
"Keadaan Kakek Buyut sudah sangat mengkhawatirkan. Dokter bilang, kita harus berada di dekatnya selama masih ada waktu," kata Halena tidak menyembunyikan kesedihannya. "Cepatlah ganti baju, Alex. Papa dan Mama hanya rehat sebentar, nanti kita ke sana lagi."
Alex mengangguk, memeluk ibunya lagi, lalu meninggalkan ibunya. Halena kembali termenung di sana. Dia tidak bisa tidur. Tidak bisa berbuat apa-apa selain berharap bahwa kakeknya tetap selamat dari kondisi kritis.
Dia menelepon Ayuni, meminta doa dari anak itu. Andai saja kau tahu dia adalah kakekmu juga, Ayuni, kata Halena dalam hati. Bukti konkrit memang belum ada, tapi aku yakin, kau memang adikku. Aku yakin sekali!
Suara Ayuni terdengar sedih. Dia berusaha menenangkan Halena dengan mengingatkannya untuk selalu berdoa dan percaya bahwa Tuhan selalu memberikan yang terbaik bagi umatNya. Untuk satu setengah jam mereka bicara di telepon dengan Ayuni yang tidak henti-hentinya menghibur Halena. Ayuni juga meminta maaf tidak bisa hadir menjenguk, sebab dia berada di luar kota sedang ikut perlombaan antar fakultas ekonomi. Dia tidak bisa meninggalkan lomba itu dan melepas tanggung jawabnya. Halena ikut memberi semangat padanya.
Halena tidak mau terlarut dalam kesedihan. Dia harus kuat. Dia adalah seorang istri. Seorang ibu. Perannya sangat penting untuk menjaga keharmonisan keluarganya. Untuk Alex, tentu saja. Semua yang dia lakukan hanya untuk Alex!
Dia balik ke kamarnya, menyiapkan pakaian untuk dipakai Tristan nanti. Diingatkannya suaminya untuk makan malam dulu. "Kau kan nanti menyetir, takutnya kau tidak punya tenaga," katanya mengingatkan suaminya.
"Aku penasaran berapa banyak yang Kakek Gunadi tinggalkan padamu," sahut Tristan mengabaikan perhatian dari istrinya. "Pastilah banyak pundi-pundi uangnya. Bukan tidak mungkin kau berpikir untuk mengingkari janjimu dan meninggalkanku dengan uang yang ditinggalkan kakekmu, kan?" Tristan berdecak-decak mencemooh. "Kau tidak takut mengganti rugi dengan uang kakekmu. Memang kau tak ada bedanya dengan ayahmu. Sama-sama tidak bisa menepati janji!"
Halena tidak merasa tersinggung, apalagi setelah tahu ayahnya memang bukan pria yang arif budinya. "Apa salahnya jika aku mengingkari janji?" jawab Halena lesu. "Tidak ada yang salah untuk meraih kebahagiaan, Tristan. Aku sudah berusaha melakukan apa yang aku bisa untuk membuat orang-orang di sekitarku senang. Kenapa aku tidak bisa melakukan hal itu untuk diriku sendiri?"
"Kau tidak bahagia dengan kehidupanmu sekarang? Kau tidak bahagia denganku, Halena?" tanya Tristan menatapnya tajam.
Tidak ada lagi yang ditakuti Halena. Ancaman Tristan juga rasanya tidak membuatnya degil. Dia hanya ingin pergi ke suatu tempat, mencoba mencari udara segar, sebab di rumahnya dia merasakan dadanya sesak terus.
Dipandanginya wajah suaminya dengan tatapan nanar. "Rasanya egois, bukan, membicarakan kebahagiaanku di saat kakekku sekarat?" Perlahan Halena menggeleng. "Tapi memang inilah yang aku rasakan, Tristan. Aku tidak akan pernah bosan untuk meminta surat cerai darimu. Hidup denganmu membuatku tidak bahagia."
"Tidak ada pernikahan yang bahagia, Halena," kata suaminya dingin. "Ingatlah orangtuamu sendiri. Lihat juga ibuku yang lebih bahagia setelah ayahku meninggal. Memang inilah pernikahan. Ada kalanya pernikahan memang membuat kau kesal, jengkel, dan bahkan mau mati. Aku pun merasakan hal yang sama setelah aku menikah denganmu. Yang membuat kita berbeda adalah aku lebih menggunakan ini." Tristan menunjuk kepalanya sendiri. "Aku tidak mau hanya karena emosi, aku harus kehilangan anak dan harta yang kumiliki, termasuk istri yang tidak pernah kuharapkan."
"Sampai kapan kau menggunakan akal sehatmu, Tristan? Tidak pernahkah kau peduli padaku? Pada perasaanku?"
"Kenapa aku harus peduli?" Tristan mencengkram kedua bahu istrinya. "Kau orang yang merenggut kebebasanku. Aku harus kehilangan wanita yang kucintai karena kau. Kenapa sekarang aku repot-repot memperhatikan perasaanmu agar bisa lepas dariku?" Tristan tersenyum licik pada istrinya. "Kau bisa bermimpi pisah dariku, hidup dengan lelaki lain dan berbahagia, tapi aku akan memastikan kau akan tersiksa hidup denganku di dunia nyatamu, Sayang."
*I hope you like the story*
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cerai untuk Halena #Completed
RomanceTristan mencengkram kedua bahu istrinya. "Kau orang yang merenggut kebebasanku. Aku harus kehilangan wanita yang kucintai karena kau. Kenapa sekarang aku repot-repot memperhatikan perasaanmu agar bisa lepas dariku?" Tristan tersenyum licik pada istr...