"Apa rencanamu hari ini?" tanya Tristan basa-basi. Dia merasa sekujur tubuhnya pegal. Bagaimana tidak? Dia tidur lagi di sofa ruang kerjanya. Seenak-enaknya tidur di sofa, tidak akan seenak tidur di atas ranjang yang empuk.
"Ke dokter."
"Hm. Apa yang bisa kulakukan?"
Halena menatapnya penuh keraguan. "Saat hamil Alex pun kau tidak mau tahu urusan kesehatanku. Kenapa sekarang begini?"
"Kau tahu kenapa, Halena. Selain aku peduli pada anakku yang berada dalam kandunganmu, aku ingin kau setuju saat pengambilan suara nanti." Tristan tersenyum licik padanya.
"Kalau aku menolak, kau bisa apa?"
"Oh, Halena. Kau tidak tahu apa yang bisa kulakukan. Nikmatilah semua kemewahanmu, sebelum kau harus kehilangan semuanya karena menentang suamimu."
Halena meringis. Apa? Apa yang bisa kau lakukan untuk membuatku lebih menderita lagi daripada ini, pikir Halena marah. Kenapa pria ini tak kunjung berubah? Kenapa semakin Halena sedih, semakin senang dia?
"Tristan, mengapa kau tak sadar juga?" Halena menatap suaminya tajam. "Kita sudah hampir punya hidup yang normal, tapi kau selalu punya cara menghancurkan rumah tangga ini dengan tetap menginginkan hartaku."
"I don't care. Aku akan tetap fokus pada rencanaku sejak awal."
"Lalu apa? Kau akan menceraikan aku lagi?"
"Kita lihat saja nanti apakah aku masih tertarik padamu setelah kau tidak punya apa-apa."
Aku ingin sekali memplester mulutnya yang pedas, gerutu Halena murka. Mengapa kekejian tak menghampirinya? Mengapa orang seperti dia yang selalu menyakiti anak-istrinya malah menerima nasib baik? Atau, baikkah harta dan karir yang selama ini dibanggakannya?
Dua hal itu justru menurutku akan menjadi nestapa baginya suatu hari nanti.
Hal yang mengherankan Halena adalah bagaimana bisa kandungannya sehat-sehat saja di saat dia merasa tertekan dan sedih setiap hari. Selama dia masih menjadi istri Tristan, dia tidak bisa enak-enak menikmati hidup, sebab kecurigaannya terhadap suaminya yang materialistis dan ambisius itu selalu melandanya. Dokter kandungan yang menangani Halena, tetap mengingatkannya untuk mengosumsi makanan sehat dan menghindari stres serta tidak boleh memaksa diri untuk bekerja sampai lelah.
Entah disengaja atau tidak, setelah Halena menerima beberapa vitamin dari farmasi rumah sakit, dia berpapasan dengan Lucas. Pria itu menegurnya dengan senyuman sendu di wajahnya. "Halena?"
"Lucas? Kau berada di sini?"
"Ya, aku sedang check up, kau tahu di usia kita penyakit mulai berdatangan. Aku merasa pegal di pinggangku," jawab Lucas tenang. "Selain itu, rumah sakit ini kan dikelola yayasan milik ayahku."
Halena mengangguk, mengerti. "Cepat sembuh, Lucas. Aku kemari untuk mengecek kehamilanku."
"Ya, aku sudah dengar dari ayahku. Ayahku dengar dari..."
"Suamiku," Halena melengkapi masam. Sudah pasti Tristan memberitahu semua orang terutama keluarga Lucas terkait kehamilannya. Pria yang meninggikan ego dan kehebatannya itu takkan segan memamerkan kejituannya untuk membuat orang lain keki. "Kau baik-baik, ya?"
Lucas menatap Halena sesaat. Segenap kerinduan yang menyesakkan dadanya hilang begitu saja saat dia melihat Halena. "Semesta tidak bisa merestui kita, apakah di kehidupan selanjutnya kita bisa bersama?"
"Aku sungguh tidak tahu." Halena menggeleng lesu. "Aku bahkan tidak bisa menebak nasib apa yang menanti kita di depannya, Lucas."
"Maafkan aku, Halena. Kukira kekayaan yang mengambilmu dariku, kekayaan juga yang bisa mengembalikan kau padaku, nyatanya..." Lucas menarik napas berat. "Kau tetap tidak bisa menjadi milikku meski aku sekarang punya segalanya."
Halena tidak tahu harus menyahut apa. Maaf aku tetap tidak bisa menjadi milikmu? Atau maaf aku masih ingin menjaga harta kakekku dari suamiku? Apa alasan yang tepat untuk tetap tidak bersama dengan Lucas?
Lucas tersenyum seakan memberi kekuatan pada Halena. "Jangan segan telepon aku jika suamimu menyakitimu lagi ya?"
Halena mengangguk sekenanya, lalu berjalan menjauh dari Lucas. Pandangan Lucas tak beralih sedikit pun dari Halena. Miris dan pilu menyertai hati Lucas. Dia bersumpah akan melakukan apa saja untuk melindungi Halena.
**
"Kau setuju untuk menerima proyek berdasarkan penunjukkan langsung Karjadi Land?" tanya Jenny dengan suara tinggi. "Kau tahu kan tanah yang menjadi lokasi proyek, sedang dalam sengketa karena itu tanah rakyat?" Dia tahu Tristan pebisnis sejati, mengutamakan keuntungan daripada apapun, tapi dia tidak tahu Tristan begitu tolol menerima proyek dari perusahaan yang reputasinya sedang turun, dengan proyek yang sama bermasalahnya. "Kudengar Niko keluar dari jabatan direkturnya di perusahaan itu, sementara Ikram Karjadi sudah sering kena masalah dengan pejabat negara. Kau tahu kan, banyak proyek di bawah Ikram mangkrak dan Niko yang memperbaiki kebodohannya?"
Nama Ikram Karjadi sudah dicoret dari Forbes. Dia tidak masuk di dalam dua puluh orang terkaya lagi. Obsesinya terhadap istrinya telah menghancurkan segala aspek di hidupnya. Orangtua Ikram juga mendepak Ikram dari perusahaan-perusahaan mereka. Yang tersisa untuk Ikram adalah perusahaan propertinya.
Ikram sudah menawarkan uang muka yang cukup besar. Proyek itu menjadi harapannya untuk menaikkan nama baik perusahaannya dan meningkatkan harga saham perusahaannya.
"Kau tidak usah khawatir. Aku sudah membereskan persoalan sengketa itu."
"Dengan apa? Menyewa preman dan mengobrak-abrik tempat tinggal mereka?"
"Well, ya," jawab Tristan santai, seakan mengusir warga dari tempat tinggal mereka, memukul bahkan sampai membacok mereka agar mereka enyah dari tanah mereka adalah hal yang lumrah. Itulah mengapa jangan pernah jadi miskin, sebab orang yang lebih kaya dan berkuasa akan sewenang-wenang pada orang-orang lemah secara finansial. Tentu saja itu yang ada di pikiran licik Tristan. "Jen, aku tidak suka dengan sikapmu. Kau tidak ingin aku mencari penggantimu, kan?"
Jenny tidak takut dengan peringatan itu. Sebaliknya, dia membentak Tristan balik, "Kau tidak tahu rasanya menjadi pihak yang kehilangan, Tristan. Dari dulu saat kita kuliah, kau merasa kekayaanmu memberikan hak padamu untuk bersikap kurang ajar pada orang lain."
Tidak heran Jenny bisa semarah itu. Tristan di kalangan mahasiswa di Amerika memang terkenal kaya dan pintar, yang membuatnya congkak dan menyebalkan. Tidak dipungkiri juga dia meniduri Naya tanpa memikirkan harga diri perempuan itu karena dia merasa kekayaannya membantunya jika terjadi masalah.
Sama dengan Jenny. Tristan selalu menyuruhnya ini-itu dan tak jarang pula dia meremehkan kehidupan pribadi Jenny, dan sebagai gantinya dia memberikan gaji dan tunjangan yang tinggi pada Jenny.
"Aku minta maaf, Jen," kata Tristan melunak. "But business is business. Setiap masalah harus dicari jalan keluarnya, seperti tanah yang dimiliki rakyat itu juga perlu diselesaikan. Ikram pun memberi kompensasi pada mereka. Aku sudah menandatangani kontrak kerjasama dengan mereka, jadi tidak ada jalan lain selain memulai pekerjaan di lokasi."
Jenny diam saja.
"Tolong hubungi pihak Gunadi Energi, kapan jadwal pasti untuk Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa terkait akuisisi," sahut Tristan kemudian. "Aku sudah tidak sabar untuk memperluas bisnisku."
Dan menguasai harta keluarga istriku tentu saja, sambung Tristan sambil membayangkan dirinya yang lebih sukses di masa depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cerai untuk Halena #Completed
RomanceTristan mencengkram kedua bahu istrinya. "Kau orang yang merenggut kebebasanku. Aku harus kehilangan wanita yang kucintai karena kau. Kenapa sekarang aku repot-repot memperhatikan perasaanmu agar bisa lepas dariku?" Tristan tersenyum licik pada istr...