Satu alis Tristan naik ketika dia masuk ke kamarnya, memperhatikan kondisi kamarnya yang tidak memiliki perbedaan dengan terakhir kali dia melihatnya. Halena tidak mengemasi satu barang pun yang berada di kamar itu.
Kenapa?
Apakah karena..
"Aku tidak mengambil apa-apa," kata Halena yang berdiri di belakangnya. Dia paham apa yang dipikir suaminya. "Semua yang disini adalah pemberianmu. Perhiasan, pakaian, dan make up serta parfum berasal dari uangmu."
Tristan membalikkan tubuhnya, menatap istrinya masih dengan sorotan bingung. "Itu hakmu, sebab itu adalah nafkah yang wajib kuberikan padamu."
"Ya, dan aku tidak tertarik. Aku punya hak untuk menolak dan mengembalikan apa yang kau berikan, kan?" jawab Halena datar.
"Kau salah jika kau berpikir kau lebih baik dariku karena kau tak suka uangku." Tristan berdecih menghinanya. "Bagiku kau sama saja."
"Soal itu aku juga tahu. Mau aku sebaik apapun padamu, aku takkan lebih baik dari Naya," sahut Halena tenang. Dilihatnya wajah Tristan yang bertambah masam. "Apa yang bisa kulakukan lagi untukmu, Tristan?"
Kedua mata Tristan menyipit padanya. "Aku tidak sengaja mendengar apa yang kau katakan pada anak Naya. Apakah kau betul menyerahkan harta yang diberikan kakekmu padanya?"
Halena mengeluarkan suara tawa sinis. "Kenapa? Kau sekarang pindah haluan? Dariku kemudian ke Ayuni?"
"Menurutmu aku sebrengsek itu? Mendekati gadis yang lebih tua sedikit dari anakku sendiri?"
"Tristan," kata Halena, memandang tajam suaminya. "Aku sangat mengenalmu, bahkan aku rasa kau sanggup menyingkirkanku untuk mendapat uang yang lebih banyak lagi."
"Jawab aku. Kenapa kau melakukannya? Menghibahkan harta sebanyak itu pada orang yang baru kau kenal bukan ide yang baik, Halena."
"Kenapa tidak? Keluargaku pun menghadiahkanmu saham di beberapa perusahaan keluargaku tak lama kita setelah menikah," jawab Halena sendu. Dia tidak marah, tidak juga kesal. Perbincangan soal harta dengan suaminya sudah menjadi hal yang biasa selama ini.
Justru Tristan yang terlihat tersinggung. "Aku bukan laki-laki yang ongkang-ongkang kaki setelah menjadi suamimu, ingat? Aku bekerja keras agar aku suami dan ayah yang pantas bagi kau dan Alex." Tristan mendengus. "Aku bertanya padamu sekali lagi. Kenapa kau berikan harta itu pada anak dari perempuan yang tak kau sukai, Halena?"
"Simpel. Ayuni adalah adikku," sahut Halena lirih. "Aku juga tidak kenal Naya. Ya aku dulu kesal setiap nama itu keluar dari mulutmu, tapi sekarang buat apa? Dia ada atau tidak, bukankah kita akan sama saja, Tristan? Kita akan tetap saling menyakiti, dan berakhir dengan perpisahan."
"Kau sadar seberapa banyak harta yang diberikan kakekmu padamu, kan?" tanya Tristan memastikan. Rahangnya mengeras. "Atau jangan-jangan kau tak khawatir lagi soal uang sebab eksmu sudah menjanjikan kau hartanya?"
Jika Tristan mengucapkan itu sebelum mengutarakan keinginannya untuk bercerai, barangkali Halena akan marah padanya. Halena murka jika malah dialah yang dituduh materialistis.
Halena memilih untuk menggeleng, tersenyum dengan kepahitan yang berlumur di wajahnya. "Apakah salahku jika aku diinginkan oleh orang kaya, Tristan? Apakah salah jika ada orang yang mencintai aku sampai dia membayar mahal suamiku untuk menceraikan aku?"
"Aku hanya tidak percaya bahwa kita berdua tidak terlalu jauh. Aku dibilang matre, aku sudah biasa, tapi kau, Halena? Halena yang terhormat rupanya bisa menjual dirinya juga untuk uang."
"Kita tidak perlu menjadi orang yang serakah demi uang jika kita saling mencintai. Sayangnya setelah sekian lama kita bersama, kita tidak bisa melakukannya, kan?"
"Aku tidak mau sendirian," kata Tristan tegas. "Alex tetap bersamaku. Kau bisa bersenang-senang dengan pria lain, tapi aku tidak akan membiarkan anakku dididik oleh kau apalagi Lucas."
"Alex menyayangimu, aku tidak melarangnya untuk menemuimu, Tristan. Aku tidak keberatan jika dia bahagia dengan semua perintahmu, tapi kalau justru sebaliknya, aku tidak akan diam. Aku akan ajak dia tinggal bersamaku."
"Halena." Tristan berjalan mendekati istrinya. Egonya merasa terhina melihat perempuan itu begitu tenang akan diceraikan olehnya. Malah, terlalu kuat, dengan Halena tidak meminta apa-apa darinya selain anak mereka. "Alex akan tetap bersamaku, mau dia senang atau tidak," kata Tristan dengan penuh penekanan. "Kau tahu aku bisa melakukan apapun untuk mempertahankan anakku dengan apa yang kupunya."
"Kau takkan bisa melakukan itu. Kau tidak boleh!" teriak Halena putus asa. Dia teringat pada Alex yang kesakitan setelah dipukul dan dicambuk ayahnya. Hati Halena sakit hanya dengan membayangkan anaknya tetap akan diperlakukan demikian oleh suaminya yang tiran. "Sudah cukup kau menyiksa aku dan Alex. Aku tidak akan biarkan kau menyiksanya lagi dengan memaksanya menjadi apa yang kau mau, Tristan!"
"Anggap saja ini yang harus kau bayar atas kesalahan ayahmu yang merebut Naya dariku," jawab Tristan menyeringai.
"Aku tidak ada hubungannya dengan ayahku dan mantan pacarmu!" bentak Halena marah. "Berhentilah menghukumku atas apa yang tidak kulakukan!"
Tristan senang melihat istrinya berubah menjadi anjing gila setiap dia mengancam soal anak mereka. Masih dengan senyuman licik di wajahnya, Tristan mundur dan keluar dari kamar mereka, meninggalkan Halena yang frustrasi.
**
Mata Kakek Gunadi terbuka lebar saat dia melihat orang yang berdiri di dekatnya. Alat oksigen yang membantunya bernapas, dilepas oleh orang itu, menimbulkan sesak pada Kakek Gunadi.
"Kau...," kata Kakek di sisa-sisa tenaganya. Badannya kejang-kejang. "Untuk apa kau kemari..."
"Anda harus membayar apa yang Anda lakukan pada saya dan Halena," jawab orang itu. Dia meletakkan alat oksigen itu lagi di mulut dan bibir Kakek.
Kakek Gunadi berusaha teriak, namun pita suaranya tidak mendukungnya. Hanya suara kecil yang keluar dari mulutnya. Orang itu kemudian mengelus-elus dahinya.
"Apa yang kau mau..." tanya Kakek sambil menatap orang itu penuh kebencian.
"Kenapa Anda masih hidup setelah begitu banyak penderitaan yang Anda torehkan pada anak dan cucu Anda?" Orang itu berdecak-decak kesal. "Jabatan? Kekuasaan? Bibit, bebet, bobot? Semua itu omong kosong, kakek tua. Karena kau takut kemiskinan menular pada keluarga Anda, satu per satu keluarga Anda berjatuhan dengan rasa sedih di hati mereka."
Orang itu lalu menjauhi Kakek Gunadi, membiarkan Kakek Gunadi meresapi penyesalan atas perbuatan yang Kakek lakukan di masa lalu.
"Kenapa kau begini, Himawan? Kenapa kau tidak memikirkan istri dan anakmu?" tanyanya saat Himawan sekarat. "Kenapa?!"
"Bukan aku yang melakukannya, tapi Gunadi yang terhormatlah yang membuat mereka menderita. Menjadi anak seorang Gunadi yang terpandang adalah kutukan bagiku dan anak-istriku!"
"Brengsek kau, Himawan! Aku melakukan semua ini agar kau punya masa depan yang baik!"
Kakek Gunadi tidak sudi punya cucu dari perempuan murahan macam Naya. Dia menyuruh Himawan membereskan masalah itu atau dia akan merampas semua kekayaan Himawan.
Bayi yang seharusnya diurus oleh keluarganya, dikembalikannya pada keluarga Naya. Tak lupa diberikannya segepok uang pada orangtua Naya untuk mengurus anak hasil dari perbuatan haram Himawan dengan Naya.
Malam itu Kakek Gunadi berada di puncak rasa bersalahnya. Tak ada yang mau dilakukannya selain meminta maaf pada bayi yang telah diusirnya dari hidupnya.
*I hope you like the story*
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cerai untuk Halena #Completed
RomanceTristan mencengkram kedua bahu istrinya. "Kau orang yang merenggut kebebasanku. Aku harus kehilangan wanita yang kucintai karena kau. Kenapa sekarang aku repot-repot memperhatikan perasaanmu agar bisa lepas dariku?" Tristan tersenyum licik pada istr...