Halena tidak bisa bermain piano pagi itu. Pikirannya lagi-lagi dipusingkan dengan hal yang tidak bisa dijawabnya. Naya.. Naya.. Naya... Dia tidak pernah ingat pernah mengenal perempuan dengan nama itu, tapi kata Tristan perempuan itu berkaitan dengan ayahnya.
Merasa tak ada gunanya di ruang musik, Halena pergi ke ruang makan, menemani Tristan sarapan. Meski hatinya gundah dan tak tenang, dia tetap menaruh nasi dan lauk di piring suaminya. Tak lupa menuangkan air putih hangat ke gelas Tristan.
Tristan menegurnya. "Masih ingat soal semalam?" Melihat istrinya merengut kesal, Tristan tertawa. "Apa kau menyerah? Tidak ingin bercerai? Aku akan senang hati untuk berhenti mendesakmu untuk menandatangani addendum."
"Itu artinya kau tidak akan menyerahkan saham itu pada Naya-mu itu?" jawab Halena sinis.
"Kau pasti akan sukarela memberikannya jika kau tahu kebenarannya."
"Kenapa tidak kau jelaskan? Kenapa kau tidak ingin buat aku mengerti?" gerutu Halena. "Aku lelah, Tristan. Aku lelah dengan segala permainanmu. Kau menyiksaku untuk dua puluh tahun lamanya hanya karena perempuan itu."
"Apakah kau lupa? Kau yang ingin diceraikan pertama kali."
"Karena kau menekankan kau tidak bisa mencintaiku," jawab Halena datar. "Sekarang cinta itu sudah tidak diperlukan lagi. Bagiku yang penting melihat Alex sukses, dan itu masih lama sekali. Aku hanya perlu memastikan, kau tidak akan menyiksanya sampai dia lulus kuliah."
"Sudah kau lihat sendiri, aku tidak ikut campur dengan urusan studinya," jawab suaminya santai.
"Mana kutahu? Dari dulu kau selalu menyiksanya secara fisik, Tristan," sahut Halena marah. Bayangan punggung Alex yang merah karena dipecut ayahnya dengan gesper mampir ke benaknya. Saat itu Alex dihukum karena nilai ujiannya turun sedikit dari semester sebelumnya. Halena ingin sekali mengambil nyawa suaminya setiap Alex dirisak begitu. "Apa yang salah denganmu? Kenapa kau bisa memperlakukan anakmu begitu?"
"Anak itu cengeng. Bahkan saat dihukum dia selalu memanggil ibunya," jawab Tristan tidak menyesal sama sekali. "Dia akan meneruskan perusahaan keluarga. Tidak mungkin dengan mental seperti itu dia bisa menjalankan perusahaan."
"Dia mirip denganku, dia tidak mau jadi pebisnis," gumam Halena. "Dari kecil dia punya bakat di musik. Aku selalu mengajarkannya main biola, dan dia mahir. Sayang sekali dia tidak bisa mengejar cita-citanya."
Brakk!! Meja itu dipukul keras oleh suaminya, membuat Halena terkejut. "Dia tidak boleh jadi pemusik. Dia laki-laki, dan dia harus menjadi sehebat diriku. Kau tahu itu sudah menjadi perjanjian kita!"
Perseteruan di rumah itu sudah menjadi tontonan para pembantu di rumah. Awalnya mereka malu-malu, hanya berantem di kamar, tapi lama-kelamaan tidak harmonisnya hubungan suami-istri itu tercium juga ke hidung orangtua Tristan dan kakek Halena. Sejak saat itu baik Tristan maupun Halena tidak pernah menyembunyikan pertengkaran mereka lagi. Bahkan, menurut Halena, bisa saja perang darah antara dirinya dan suaminya terjadi di hadapan banyak orang.
Mereka memang pasangan tidak tahu malu, tapi mau bagaimana lagi? Nama baik sudah tidak diperlukan Tristan lagi. Dengan uang dan kekuasaannya itu sudah cukup baginya agar dihormati orang lain. Bagi Halena, dengan berita ia sering dirundung suaminya, hanya mendatangkan banyak fans untuknya. Jadi mereka tak ada masalah dikenal sebagai pasangan bermasalah.
"Ya kan aku juga hanya bicara, tidak serta-merta minta Alex untuk pindah jurusan," jawab Halena berkilah. "Jangan mengalihkan pembicaraan. Sekarang padaku, siapa sih Naya itu? Aku harus ke mana untuk mencari tahu tentangnya?"
Melihat istrinya kebingungan begitu Tristan tersenyum puas. "Kau mengingatkanku padaku di masa lalu."
"Apa maksudmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cerai untuk Halena #Completed
RomanceTristan mencengkram kedua bahu istrinya. "Kau orang yang merenggut kebebasanku. Aku harus kehilangan wanita yang kucintai karena kau. Kenapa sekarang aku repot-repot memperhatikan perasaanmu agar bisa lepas dariku?" Tristan tersenyum licik pada istr...