Saat liburan semester tiba, Alex kembali ke Jakarta tanpa memberitahu orangtuanya, sebab ia tahu ayahnya yang galak itu pasti akan melarang. Alex tidak betah lama-lama di Singapura. Mudah bosan dia di sana. Yang bisa dilakukannya selain kuliah adalah jalan-jalan dan menikmati makanan di sana yang tidak sesuai dengan seleranya.
Alex tiba di Jakarta pada Sabtu sore. Dia tahu ayahnya takkan di rumah pada saat itu. Ayahnya selalu punya jadwal untuk menemui koleganya di lapangan golf dan pulang malam setiap akhir pekan. Kedatangan Alex mengejutkan ibunya yang baru saja selesai mengajar.
"Alex!" teriak Halena. Dia menghampiri anaknya dan dipeluknya Alex dengan erat. "Kenapa tidak bilang mau pulang? Tahu begitu kan Mama akan minta sopir menjemput..."
"Ah, Alex nggak lama kok, Ma," jawab Alex. "Senin besok Alex kembali lagi ke Singapura. Alex kangen sama Mama dan Nenek Astrid."
"Ya Tuhan, ayahmu pasti marah sekali melihatmu di sini," gumam Halena, berdecak-decak. "Apa boleh buat. Dia tidak mungkin mengusirmu. Bagaimana nilaimu, Alex? Mama ingin lihat transkripnya."
"Tidak menyenangkan. IPK Alex turun," sahut Alex lesu. "Dari empat ke tiga koma delapan. Papa pasti pukul Alex." Ia menyodorkan map berisi transkrip nilai ke ibunya.
"Lalu kenapa kau pulang?" tanya Halena khawatir. Dibukanya map itu, dan dilihatnya ada satu mata kuliah dengan nilai B. "Ya Tuhan. Ayahmu marah sekali jika melihat ini. Kau tahu kan betapa terobsesinya ayahmu pada kesempurnaan."
"Kalau gitu Papa saja yang kuliah lagi." Alex mengangkat bahu merasa bodoh amat. "Alex ingin beristirahat, Ma. Nanti kita ngobrol lagi, ya?"
Halena mengangguk. Karena hari itu pulangnya Alex ke rumah, ia meminta Bibi memasak makanan kesukaan Alex yaitu nasi goreng dan telur setengah matang. Selera Alex memang tidak muluk-muluk. Dulu ketika anak itu masih kecil, dia sering kehilangan napsu makan, apalagi setelah dimarahi Tristan. Halena kerap merayunya dengan makanan kesukaannya dan tak pernah gagal.
Ketika Tristan pulang dan melihat makanan di atas meja makan, ia tahu bahwa Alex sudah di rumah. Dipanggilnya putranya agar mereka bisa makan malam bersama.
"Kapan kau kembali ke Singapura, Alex?" tanyanya.
"Senin sudah balik. Papa kan nggak suka Alex lama-lama dekat Mama," sahut Alex datar.
Tristan berdecak. "Batalkan. Daripada kau bengong tidak jelas di sana, lebih baik magang di kantor Papa. Kau harus dibiasakan untuk bekerja."
"Tris, dia pasti mau bersenang-senang di masa liburannya," tegur Halena tidak setuju. "Belum saatnya dia menerima tekanan dalam dunia pekerjaan."
"Terus saja kau memanjakannya," sahut Tristan geram.
"Alex nggak masalah. Papa atur saja," jawab Alex datar. "Daripada kalian nanti berantem, Alex ikut saja apa yang Papa mau."
"Alex," sergah Tristan. "Kau itu ngomong kayak yang paling benar saja. Perjalananmu masih panjang. Papa tidak ingin..."
"Alex menjadi lembek sehingga Alex tidak bisa menjadi pemimpin perusahaan. Itu kan yang Papa mau kasih tahu ke Alex?"
"Baguslah kalau kau sudah tahu," kata Tristan kesal. "Habiskan makananmu. Kau kalau lapar jadi lebih kurang ajar pada ayahmu."
Dengan adanya Alex di rumah lebih menenangkan hati Halena. Dia yang selama ini rindu pada anaknya dengan mudah melepaskannya setiap ia melihat anaknya. Mereka bisa bermain piano bersama di ruang musik sampai malam. Seperti dulu sebelum Alex pergi ke luar negeri.
Pada Minggu pagi datanglah Ayuni dengan satu murid baru Halena. Alex yang saat itu baru saja selesai bermain biola di ruang musik, menatap Ayuni sejenak.
Ada getaran aneh dalam dadanya.
"Alex, tidak apa-apa kan ruang musiknya Mama pinjam dulu," kata Halena. "Mama mau mengajar. O ya kenalkan, ini Ayuni, asisten baru Mama." Dilihatnya Alex menyalami Ayuni. Genggaman tangan Alex pada tangan Ayuni cukup lama sehingga Halena tak nyaman menyaksikannya. "Kau jangan coba merayu Ayuni, ya. Dia ini profesional di sini."
Tanpa menggubris pertanyaan ibunya, Alex bertanya pada Ayuni, "Umur berapa? Sudah kuliah? Ah, kuliah tidak penting sih. Kenapa mau kerja di sini? Memangnya tidak takut dengan Papa yang galak?"
"Alex!" tegur Halena sambil melotot. "Sudah, Nak. Kembali ke kamarmu, beristirahat saja. Besok kan kau ke kantor Papa."
**
Alex tidak pernah suka perempuan sebelumnya. Pernah dia naksir lawan jenis saat SMA, tapi ayahnya menekankan padanya, kalau Alex tidak bisa menemukan wanita yang selevel dengannya, lebih baik jangan pacaran dan biarkan ayahnya mencarikan wanita yang sepadan.
Yang terang Alex tidak mengerti. Apa maksudnya selevel? Yang sekaya keluarga mereka kah? Yang bagaimana selevel itu? Masa untuk mencintai seseorang saja, harus melihat kekayaannya dulu? Aneh.
Alex tidak berani melawan dan fokus pada prestasi di sekolahnya saja. Dia tidak mau membiarkan matanya menatap perempuan, takut ia tidak bisa mengendalikan diri dan akhirnya ia mengecewakan orangtuanya dengan berhubungan dengan perempuan yang tidak selevel.
Tapi Ayuni beda.
Atau Alex yang sudah beranjak dewasa, jadi dia tidak mengindahkan kata-kata ayahnya lagi. Dari kejauhan, Alex memerhatikan Ayuni yang tengah berkutat dengan laptop-nya di depan ruang musik. Gadis ini cantik, pikir Alex. Kenapa tidak dari dulu Mama merekrutnya? Kalau dari dulu kan, bisa saja aku ajak dia ke Singapura denganku.
Ah, mikir apa aku, keluh Alex. Hidup saja masih dibiayai orangtua. Mana bisa aku mengajak sembarang perempuan hidup denganku. Pikiranku jadi kacau, deh. Apa karena terlalu terpukau dengan gadis ini?
Alex menghampiri Ayuni. Ia melihat layar laptop. Ayuni sedang latihan mengerjakan soal.
"Lagi daftar CPNS? Atau masuk kuliah?" tegur Alex.
"Oh, Mas Alex," jawab Ayuni jengah. "Saya lagi latihan masuk perguruan tinggi negeri. Sebentar lagi kan dibuka pendaftarannya." Dilihatnya Alex duduk di sebelahnya.
"Saya bisa bantu ngajarin kau. Sebelum diterima di uni yang sekarang, saya sempat diterima di uni negeri juga, kok," sahut Alex menawarkan.
"Oh jangan, Mas. Jangan repot-repot.."
"Nggak apa-apa, kok. Saya nggak keberatan."
"Benar, Mas, saya sudah punya juga buku-buku Mas Alex, dari Bu Halena tentu saja. Saya cukup terbantu dengan catatan-catatan Mas."
Alex mengangguk-angguk. "By the way, selama kau kerja di sini, kau nggak tertekan?"
"Tertekan kenapa, Mas?"
"Ya, Mama dan Papa kan dar der dor terus setiap hari. Aku saja mumet tinggal di sini," keluh Alex membayangkan pertengkaran orangtuanya.
Ayuni tersenyum masam. "Tapi mereka selalu punya cara untuk berbaikan, ya, Mas," jawab Ayuni sekenanya. Dia tak enak membicarakan majikannya.
"Kau masih punya orangtua?" Alex melihatnya menggeleng. "Sudah menikah?" lanjut Alex. Gadis itu menggeleng lagi. Tersenyum lega Alex mendengarnya. "Pacar?" Senyum Alex semakin lebar saat Ayuni menjawab tidak.
"Alex."
Mereka menoleh pada Tristan yang berdiri di dekat mereka. Alex lupa bahwa ayahnya ada di rumah hari itu.
"Jangan mengganggu orang lain, Alex," tegur Tristan dingin. "Kembalilah ke kamarmu. Dan kau, Ayuni, jangan berpikir untuk menggoda anak saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cerai untuk Halena #Completed
RomanceTristan mencengkram kedua bahu istrinya. "Kau orang yang merenggut kebebasanku. Aku harus kehilangan wanita yang kucintai karena kau. Kenapa sekarang aku repot-repot memperhatikan perasaanmu agar bisa lepas dariku?" Tristan tersenyum licik pada istr...