11 ~ Sampai kapan kau menyalahkan aku?

2.8K 292 64
                                    

Halena antusias mendengar pengalaman hari pertama Alex bekerja. Anaknya mengoceh, bercerita meski dia anak Bos Besar, dia tetap bekerja layaknya pekerja penuh waktu. Alex ditempatkan sebagai intern di bawah divisi Project Control, di mana dia harus berhubungan dengan klien dan vendor. Hari pertama saja dia ikut seniornya bernegosiasi dengan vendor yang menjual barang pasokan untuk proyek. Dia yang biasa belajar di ruangan, masih canggung di dunia pekerjaan, bahkan berkali-kali ditegur seniornya. Ada saja salahnya sampai Alex ingin mundur saja dari pekerjaan itu.

"Hal itu wajar, Nak, namanya juga hari pertama," kata Halena memahami anaknya. "Pertama kali Mama dibayar sebagai pianis, Mama ingin mundur saja. Pressure di atas panggung itu terasa sekali, sampai Mama ingin menyerah, tapi itulah namanya hidup. Untuk mendapatkan sesuatu, kita harus melakukan sesuatu dulu."

"Menurut Mama, apa dunia Alex di konstruksi?" tanya Alex pelan. "Rasanya Alex ingin fokus di musik saja. Di kampus, Alex ikut organisasi khusus musik, di sana Alex main piano sih bukan biola."

"Kau berani bicara pada ayahmu soal itu?" Ibunya balik bertanya. Ditatapnya Alex dengan penuh kelembutan. "Kalau kau ingin sesuatu, harus disertai tekad. Mama tidak melarang, tapi apakah kau seingin itu untuk jadi pemusik?"

Alex menggeleng lesu. "Boro-boro, bicara saja pada Papa, Alex enggan. Sama sekali tidak dimanja juga di kantor. Kita sama sekali nggak ngobrol," jelas Alex. "Pulang saja pisah. Papa pakai mobil Lexus-nya, nyetir sendiri, sementara Alex ya biasa pakai sopir."

"Ya itulah papamu," sahut Halena mengangguk-angguk. "Papa tidak mau kau berpikir kau bisa bertingkah sesukamu dengan jabatan papamu. Paham?"

"Kenapa tidak sih? Apa gunanya jadi anak direktur kalau tidak bisa bersikap sesukanya," jawab Alex acuh tak acuh.

"Pantas saja papamu marah. Kau berpikir seperti itu, sih." Halena tertawa. "Mandi, lalu tidur. Besok kan kau harus tetap bekerja."

Anaknya menurut kemudian berlalu darinya. Halena pikir, apakah Alex bisa menjadi anak yang diinginkan Tristan? Anak itu sama sekali tidak suka kehidupan kantor. Raut wajahnya juga letih. Di sisi lain, Halena ingat janjinya pada Tristan bahwa dia akan membuat anaknya layak menjadi pemimpin.

Halena tidak menemukan suaminya di kamar mereka. Sudah dari tadi dia mengeram di ruang kerjanya, malah tidak ikut makan malam. Halena berjalan ke ruang kerja suaminya, mengetuk pintunya, mengingatkannya untuk beristirahat.

Tak ada sahutan.

Masa dia tertidur di dalam, pikir Halena bingung. Secapek-capeknya dia, tidak pernah dia tidur di ruang kerjanya.

Perlahan Halena membuka pintu yang tidak terkunci itu. Dia melihat suaminya sedang berdiri dengan kepalanya bersandar di tembok. Posisi suaminya membelakanginya.

"Tris," tegur Halena pelan, agar tidak mengagetkan suaminya. "Kau ada masalah?"

Tristan membalikkan tubuhnya, memandang Halena dengan sorotan aneh. "Hari pertama anak kita tidak sesuai dugaanku. Aku tidak menyangka dia banyak melakukan kesalahan."

Halena tersenyum masam. "Lalu bagaimana? Aku sudah berusaha yang terbaik sampai dia bisa diterima di uni terbaik di Singapura," jawab Halena. "Apa kau berpikir untuk berhenti memaksanya ambil bisnis?"

"Kalau pun begitu dia tidak boleh tinggal di sini. Dia akan kukirim ke luar negeri, terserah dia mau jadi apa."

"Tris," sergah Halena marah. "Alex itu anakmu. Masa kau tega mengusirnya?"

"Ini salahku. Kenapa dulu aku membiarkannya dididik olehmu? Kenapa aku membiarkannya mengenal musik?" Tristan menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. "Andai saja dia tidak tahu dia punya bakat di situ, dia pasti takkan berpikir untuk menjadi pemusik. Bah! Aku punya anak laki-laki, tunggal, dan tidak bisa meneruskan bisnisku!"

Surat Cerai untuk Halena #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang