8 ~ Apakah kau membenci ayahmu?

3.8K 323 46
                                    

Terus terang Ayuni selama ini penasaran bagaimana tampak ayahnya. Dia bukan orang yang gaptek atau gagal pada teknologi. Dia mencari nama ibunya di internet, dan ada beberapa blog yang membahas kematian ibunya yang misteri. Dia berusaha mengontak penulis-penulis blog itu. Sayangnya tak ada satu pun dari mereka yang tahu kebenarannya. Bahkan, kebanyakan tidak kenal ibunya. Mereka hanya mendengar desas-desus ada pegawai PT Gunadi Energi yang meninggal karena ditinggal saat hamil.

Sebelum Ayuni bekerja di tempat Bu Halena, dia sudah tahu siapa Bu Halena. Dia tahu bahwa Bu Halena bukan teman ibunya. Ya, dia tidak sebodoh itu. Masa iya, selama ini tidak pernah muncul, tiba-tiba menawarkan bantuan? Ayuni memang menaruh curiga pada Bu Halena, mengingat Bu Halena bagian dari keluarga Gunadi, pemilik perusahaan tempat ibu Ayuni bekerja dulu.

Ayuni ingin mencari tahu siapa Bu Halena sebenarnya. Apa motifnya. Mengapa tiba-tiba bersikap baik padanya. Ayuni tidak membenci-tidak sama sekali. Dia hanya penasaran bagaimana masa lalu orangtuanya. Ia punya firasat Bu Halena punya kunci ke masa lalu ibu Ayuni.

"Kau tahu, ibumu dulu bekerja di perusahaan kakek saya," sambung Halena. "Saya sudah meminta mereka untuk mencari tahu siapa yang membuat ibumu begini. Tentu sulit, karena pegawai-pegawai yang pernah menjadi rekan kerja ibumu, sudah banyak yang resign bahkan sudah ada yang meninggal."

"Lalu bagaimana Bu Halena bisa mengenal ibu saya? Kakek dan Nenek tidak kenal Bu Halena," kata Ayuni penasaran. "Mereka tidak ingat Ibu menjadi teman ibu saya."

"Ya, kami memang hanya kenal di kantor. Saya sering ke kantor tempat ibumu bekerja, karena saat itu saya mengunjungi ayah saya yang bekerja di sana," dusta Halena sekenanya. Ia tersenyum menenangkan. "Tapi, apakah kau membenci ayahmu? Jika suatu hari kita menemukannya."

Ayuni terdiam sejenak. "Saya tidak benci, tapi saya juga tidak mau ketemu dengannya. Saya tidak mengerti. Bagaimana ya menjelaskannya? Jika saya punya anak yang jauh sekali pun, saya akan berusaha menemukan mereka. Mengapa ayah saya tidak pernah menemui saya? Aneh kan, Bu?"

Halena mengangguk setuju. "Setiap orang punya alasan, tapi kau ada benarnya. Saya juga tidak mengerti mengapa ada laki-laki sebejat itu. Oh ya, Ayuni. Satu lagi, kalau ada suami saya, kau cepat-cepat pergi saja. Dia orangnya galak."

Biarlah aku menjelekkan namamu, Tristan, pikir Halena. Memang kenyataannya kau meninggalkan anak ini, bukan? Selama ini kau mengaku orang yang hebat. Masa keberadaan anakmu sendiri saja kau tidak tahu! Kau mudah percaya pada bualan mantan kekasihmu yang sangat kau cintai itu!

Mendengar itu Ayuni tertawa. "Betul, Bu, saya segan melihat Bapak, tapi sepertinya Bapak sayang sekali ya pada Ibu? Walaupun galak, Bapak tidak pernah jauh-jauh dari Ibu setiap hari."

"Saya juga tidak mengerti kenapa kami begini," jawab Halena dengan tawa juga. "Ya sudah. Kau pulang cepat saja, fokus belajar untuk masuk universitas. Kau datang ke sini kalau ada urusan pekerjaan terkait les piano, ya?"

"Soal itu, Bu. Saya..." Ayuni menggigit bibirnya. "Kakek saya mengingatkan untuk tidak merepotkan Ibu. Saya juga tidak enak Ibu harus keluar uang untuk menyekolahkan saya. Bagaimana saya bisa menggantinya ya, Bu? Apalagi universitas negeri juga tak kalah mahalnya dengan swasta."

"Lho, kau bicara begitu sih," kata Halena tersinggung. "Kalau ibumu masih hidup, pasti akan dipaksanya kau untuk kuliah lagi. Kau tahu, ibumu itu lulusan Stanford. Beasiswa. Saya ingin kau sehebat dia."

Dan sehebat ayahmu, gerutu Halena.

"Iya, saya tahu. Kakek saya sering membahas hal itu. Kakek bilang, keluarga saya pernah berjaya walau sebentar, saat ibu saya bekerja di perusahaan Bu Halena," kata Ayuni tersenyum pahit. "Begitu ibu saya meninggal, keluarga kami hanya mengandalkan uang serabutan saja. Jangankan mimpi ke Stanford. Berkhayal punya uang saja kami tidak berani."

Surat Cerai untuk Halena #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang