15 ~ Saya selalu ada buat Bu Halena

2.8K 290 21
                                    

Bulan demi bulan silih berganti. Halena melanjutkan hidupnya tanpa keinginan untuk mencari tahu lagi siapa ayah Ayuni. Lebih tepatnya, dia bingung mau ke mana dia bertanya soal itu.

"Malam ini ada pesta ulang tahun anak salah satu pemegang saham. Di penthouse-nya di SCBD. Kau dandan yang cantik sebab undangannya suami-istri," terang Tristan sebelum berangkat kerja. Dia menyeruput kopinya, lalu melanjutkan, "Agaknya kau kurusan. Apa karena anak Naya?"

Bagaimana bisa aku makan enak sementara aku dicambuk rasa penasaran, pikir Halena. Siapa sih ayah dari anak itu? Adakah hubungannya denganku sampai Tristan ingin mengambil sahamku untuknya?

Mendengar nama Naya semakin membuat Halena kehilangan napsu makannya. Dia meringis kesal. "Apakah sepuluh tahun ke depan kau tetap melisankan namanya dengan mulutmu itu?"

"Kenapa tidak? Memangnya salah menyebut nama orang?" sahut Tristan acuh tak acuh, sesaat kemudian dia memberikan senyum menyebalkan. "Atau, kau sakit hati? Tapi kenapa harus sakit hati? Kau kan tidak cinta juga padaku."

"Kenapa tidak kau ajak saja jasad mantan kekasihmu itu sekalian? Biar mayatnya bisa kau banggakan pada orang lain," jawab Halena sama sinisnya. "Malam ini jadwalku kosong. Apa tema pestanya?"

"Formal saja. Nanti aku kirimkan gaun untukmu."

Halena tidak menyahut. Pikirannya masih terpaku pada Ayuni. Dia tidak membenci anak itu sekali pun dia anak dari perempuan yang telah membuatnya menderita. Dia malah merasa, khawatir pada Ayuni. Perjalanannya masih panjang, pikir Halena. Dia masih belum tahu siapa ayahnya. Jika Alex betul mencintainya, bisakah dia menerima Ayuni apa adanya? Ah, aku tidak seperti Tristan dan orangtuaku. Titel, jabatan, serta bibit-bebet-bobot sudah tak penting. Buktinya, aku dan Tristan tidak terlalu bahagia dengan latar belakang kami.

Dia memang ingin tahu siapa ayah Ayuni. Siapa laki-laki yang tega meninggalkan anaknya, tapi dia tidak enak bertanya pada Tristan karena tampaknya Tristan enggan memberikan informasi itu begitu saja. Sementara kakek Halena... Ah, sudahlah. Jangan diharapkan kakek tua itu. Dari dulu Kakek tidak pernah memikirkan perasaannya juga, kok!

Hari itu dia tidak ada jadwal mengajar. Dia berinisiatif untuk mengunjungi Ayuni di kampusnya di Depok. Ditemuinya Ayuni di kampus fakultasnya pada jam makan siang. Ayuni tampak senang dengan buku-buku tebal yang dipeluknya.

Ah, andai saja aku bisa menemui Alex seperti ini, pikir Halena. Tak apalah aku tak bisa menjenguk Alex. Aku bisa melepas rinduku pada anakku dengan menemui anak orang lain.

"Bu Halena." Ayuni tersenyum lebar melihatnya. Dia duduk di seberangnya. "Ibu apa kabar? Ibu repot-repot jauh ke sini.."

"Tidak apa-apa," jawab Halena membalas senyum anak itu. "Saya ingin tahu bagaimana suasana kampusmu. Ternyata bagus sekali ya aslinya. Asri. Kau pasti betah belajar di sini."

Ayuni mengangguk mantap. "Di sini disiplin sekali. Terlambat sedikit, dianggap absen. Maaf ya, Bu, saya tidak mengabari Ibu selama saya kuliah. Jujur saya masih beradaptasi."

"Ya itulah dunia perkuliahan, Ayuni. Kau belajar soal konsekuensi pada masa ini sebenarnya," sambung Halena. "Kau masih berhubungan dengan Alex?"

Kali ini Ayuni menggeleng. "Tidak, Bu. Sudah lama sekali saya tidak komunikasi dengan Mas Alex. Saya pernah bertanya kabarnya, tapi dijawab singkat. Mungkin Mas Alex sama seperti saya. Sama-sama sibuk."

"Ya pasti. Tidak ada kuliah yang tidak melelahkan. Tapi kalau dia di Jakarta, dia pasti menghubungimu," kata Halena berusaha menghibur. "Ayuni, bagaimana kabar kakek dan nenekmu?"

"Mereka baik-baik saja. Dengan uang yang Ibu berikan, saya buka usaha warung kopi dekat rumah. Kakek yang jaga dan sudah ada dua karyawan." Ayuni mengeluarkan ponselnya. Ditunjukannya akun Instagram kedai kopinya. "Tidak besar sih, Bu, tapi lumayan. Setiap hari dapat lebih dari seratus order."

"Kau sekarang pengusaha? Wah.." Halena berdecak kagum. Dia pura-pura kecewa. "Berarti kau takkan membantu saya lagi, nih? Kau fokus jadi pengusaha saja?"

"Bu Halena. Mana mungkin! Saya selalu ada buat Bu Halena, kok!" jawab Ayuni sungguh-sungguh.

Siapalah ayahmu, pikir Halena masygul. Kau orang yang rajin dan tidak mudah menyerah. Ada sifat Tristan dalam dirimu, tapi hasil tes DNA mengatakan lain. Sementara anakku, sama sekali tidak mirip Tristan! Ironisnya hidup ini.

Sambil mendengar Ayuni bercerita ini-itu tentang kuliahnya, Halena menyimak seksama. Dia memerhatikan mimik Ayuni yang senang, sedih, kemudian senang lagi.

Ketika dia tersenyum lebar, Halena tersadar akan sesuatu.

Setelah bicara mengenai hal apa saja, Halena pamit, begitu pun Ayuni yang harus kembali ke kelas lain. Halena pulang dengan perasaan penasaran yang timbul lagi. Aku merasa dekat sekali dengan anak itu. Apakah mungkin dia anak...

Tidak, tidak. Aku tidak mau berpikir jauh.

Saat kaki Halena masuk ke rumahnya, kehampaan itu menghampirinya lagi. Rumah ini terasa sepi. Dingin. Kalau ada orang baru yang masuk, mereka bisa berpikir rumah itu tak berpenghuni.

Halena melihat foto keluarganya yang tergantung di dinding. Di foto itu, dia duduk di tengah, sementara suami dan anaknya berdiri di belakangnya. Kalau kecurigaanku benar, apa yang akan terjadi? Alex sudah pasti kecewa sebab orangtuanya selalu menekankan betapa sempurnanya keluarganya. Tristan juga akan tertawa melihat ketololanku. Dan aku? Ayuni? Apakah dia akan datang dengan dendam sebab Papa membuatnya hidup dalam kemiskinan?

Papa.

Mengapa aku tidak kaget jika Papa punya anak lain selain diriku?


*I hope you like the story*

Surat Cerai untuk Halena #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang