40. Khawatir

324 31 1
                                    

Gue lagi kesel.


Iya, kesel banget, apalagi lagi panas gini cuacanya.

Pulang sekolah harusnya dari tiga puluh menit yang lalu. Tetapi Bu Maya malah nyuruh gue ke ruangannya sama Juan dan Rigel buat bahas besok lomba.

Ini udah jam tiga, nggak mungkin gue nungguin Fara.

Tadinya gue mau jalan-jalan sama Fara, tapi dia juga malah sibuk rapat OSIS, lagian kenapa sih rapat OSIS harus sesering itu?

Satu Minggu dua kali sih harusnya, tapi karena sekarang bulan yang banyak acara jadi sering gini, mereka katanya lagi nyiapin hiasan buat panggung, padahal acaranya juga dua minggu lagi.


Gue berdecak saat sinar dari kaca spion menerangi mata gue.

Melihat pemilik motor dari arah parkiran yang lagi santai duduk di sana. Nyesel gue lewat sini.

Pemuda dengan tas berwarna abu-abu tua itu menoleh, dengan cepat gue alihkan pandangan ke arah lain.

Dengan tangan memegang tali ransel, gue melangkah cepat menghiraukan cowok itu, melewati beberapa orang yang lewat, kayaknya mereka lagi latihan.

Tetapi tiba-tiba, langkah gue termundur ketika tas gue ditarik dari belakang.

Gue menoleh dengan kesal. Mendelik melihat cowok bertopi biru tua itu tersenyum lebar dengan alis yang diangkat.

"Pake nih, gue tau lo nggak pake pelindung UV," ucap cowok itu melepaskan topinya, lalu memasangkannya ke gue.

Lha, emang napa kalo gue nggak pake?

Tangannya masih di tas gue. Sampe cowok itu menarik gue ke parkiran juga.

Ini gue kayak anak yang lagi diseret karena nggak mau pulang.

Kan bisa gitu, digandeng aja tangannya.

Kenapa harus narik tas ransel gue sih?

"Tunggu sini," kata cowok itu lalu beranjak ke motornya, meninggalkan gue yang berdiri di bawah pohon mangga tanpa buah ini.

Kayaknya belum musim. Tapi emang pohon mangga ini tuh jarang berbuah.

Kenapa ya?

Gue menipiskan bibir saat tak sengaja menatap si pemilik motor matik hitam yang masih duduk santai di motornya.

Gue ikut senyum tipis saat dia menyapa.

"Semangat buat besok, ya. Jangan lupa banyakin makan biar banyak tenaga," ucapnya lembut.

Gue bergumam pelan. "Elo juga. Jangan lupa minum yang banyak, biar nggak gampang dehidrasi lagi."


Hening lagi.


Gue menatap ke bawah, tepatnya pada sepatu, tiba-tiba jadi canggung gini.

"Pulang sama Juan?" tanya cowok itu buat gue noleh lagi, gue cuma jawab anggukan.

"Ayo, Dar. Keburu sore, ntar tutup lagi."

Gue tersadar, lalu mengangguk menatap Juan lalu beranjak pergi.

"Langsung pulang, jangan kemana-mana dulu, biar besok nggak kecapean."

"Mau beli makan doang," sahut Juan tanpa menatap Rigel.

"Ayo," kata gue sudah naik ke motor Juan, sedikit melirik Rigel yang ternyata masih merhatiin gue dan Juan.


PLIS YA, KENAPA SIH GUE JADI KAYAK GINI SAMA RIGEL?

Adara, Ayo Move On (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang