Gue masih berdiri di depan cermin, menatap diri sendiri dari atas sampai bawah. Beberapa kali gue membenarkan rambut panjang gue yang sengaja diuraikan. Lalu mengambil sisir untuk merapikan poni tipis gue. Setelah itu memakaikan bando pita sebagai pemanis.
Kali ini gue pake dress berwarna pink muda, bukan dress sebenarnya, gue pake overall dengan kaos putih lengan pendek di dalamnya, juga sepatu berwarna putih.
Eh.
Bentar.
Kenapa gue harus pake rok?
Kenapa gue jadi ngikutin saran Juan?
Gue kembali membuka kancing baju berniat menggantinya. Tapi sebelum itu ponsel gue berbunyi, gue mengambilnya di atas meja lalu mengangkat telpon yang ternyata dari Juan.
"Gue udah depan rumah lo," ucap cowok itu kalem.
Gue berdecak. Karena nggak ada waktu lagi, akhirnya gue langsung aja beranjak ngambil tas tote berwarna putih tulang lalu keluar dari kamar.
Gue udah jalan pelan-pelan pas depan kamar Bang Albi, takut ketahuan.
Tapi pas udah di ruang tamu, gue melengos.
Percuma tadi gue ngendap-ngendap.
Semua yang ada di dalem rumah lagi merhatiin gue, termasuk Juan. Sejak kapan dia masuk ke rumah ini?
"Elo nggak kedinginan? Gue bawa motor lho," ucap Juan menatap gue polos.
Gue mengerjap. "Kan elo yang nyuruh gue tadi," ucap gue melirik ibu yang sudah menahan senyum buat gue nipisin bibir.
Juan mendengus. Lalu berdiri mendekat ke arah gue. "Ganti elah, ntar lo masuk angin."
Gue menganga di tempat, menatap Juan tak percaya.
TADI SIANG ELO YANG NYURUH GUE PAKE PAKEAN KAYAK GINI. SEKARANG ELO SURUH GUE GANTI SETELAH SATU JAM LEBIH GUE NGOREK-NGOREK ISI LEMARI DEMI MENCARI KEBERADAAN BAJU YANG SUDAH LAMA TAK TERPAKAI INI.
"Iya, biasa juga kamu pake trening," sahut Bang Albi santai, masih menatap ponselnya, "udah sana ganti," titahnya.
Gue menatap ibu, dari tadi gue yang minta ibu buat bantu cariin baju yang pas. "Ibu bilang apa tadi? Kamu mending pake celana aja," ucap ibu pelan.
Gue melengos pelan. Lalu beranjak tanpa kata kembali ke dalam kamar dengan cepat.
Membuka pintu lalu melempar tas asal.
Iya juga.
Kenapa gue harus seribet ini? Padahal cuma mau jalan sebentar sama Juan. Jalan doang, bukan ngedate, Adara.
Kok gue bego!
Gue mulai mengambil cardigan rajut kebesaran berwarna hijau mint lalu celana joger hitam. Tak lupa melepaskan bando pink itu dengan kesal.
"Bego bego bego! Napa jadi kayak gini sih!"
Gue menghela napas panjang.
Kembali keluar kamar dengan kesal.
"Udah ayo!" ucap gue malu sendiri.
Juan terkekeh diikuti ayah.
"Anak ayah lagi kenapa sih? PMS, ya?" tanya ayah kalem buat gue mendengus.
"Iya, PMS tingkat tinggi," ucap gue melangkah ke arah ayah mengambil tangannya lalu tangan ibu untuk pamit, "Adara nggak akan lama kok, cuma mau refreshing aja sebelum olimpiade."
KAMU SEDANG MEMBACA
Adara, Ayo Move On (END)
Teen Fiction"Adara, ayo move on!" Bukan sebuah ajakan, namun itu perintah. Adara Tsabita, siswi kelas 12 Bahasa 1 yang merupakan ketua jurnalistik yang sebentar lagi akan lengser, baru hari pertama masuk sekolah sudah mendapat berita terkait kekasihnya yang ber...