Hari ini lomba akan dilaksanakan, pertandingan yang sebenarnya akan segera gue hadapi. Makannya tadi gue bangun pagi banget biar bisa santai nyiapin segalanya.
Gue beberapa kali menghela napas panjang, lalu mengembungkan kedua pipi.
Gue gugup.
Dari jam 6 pagi gue udah siap pergi ke sekolah. Tetapi Juan katanya mau jemput gue dari rumah, jadi gue nungguin dia. Tapi udah tiga puluh menit gue nunggu, dia belum juga datang.
Semalem dia cuma bilang, ayahnya masuk rumah sakit, karena penyakitnya kambuh. Gue nggak terlalu tau banyak sih. Lagi pula, gue juga nggak berhak tau sedalam itu.
Tetapi yang gue pikirkan adalah, pernyaaan tentang orang yang nelpon Juan kemarin, dia nggak mau kasih tau gue.
Gue tersadar dari lamunan saat ayah berdiri di samping gue.
"Juan belum dateng juga?" tanya ayah melihat jam yang melingkar di tangannya.
Gue menggeleng pelan. "Belum, yah. Udah ditelpon tapi nggak aktif," jawab gue mencoba tenang.
"Berangkatnya jam berapa?" tanya ayah lagi.
"Jam setengah delapan, mulai lombanya jam sembilan."
Ayah diam beberapa saat lalu menghela napas. "Sama ayah aja ke sekolahnya, nanti kamu kasih tau Juan," ucap ayah akhirnya.
Gue menggigit bibir bawah. "Tapi yah,— ya udah ayo," ucap gue melangkah masuk ke mobil ayah.
Mungkin Juan ke rumah sakit dulu.
"Kamu tenang ya, semua akan baik-baik aja kok," ucap ayah mengusap kepala gue pelan, gue cuma ngangguk.
Di jalan gue nggak ngomong apa-apa, cuma bisa diem mandang ke luar, seenggaknya biar bisa nenangin diri.
Sampe sekolah gue udah liat beberapa bus parkir di sana, bahkan udah banyak siswa yang ngumpul.
Gue lihat sekitar tapi nggak menemukan keberadaan Juan sama Rigel. Bu Maya dari arah berlawanan berjalan cepat menghampiri gue dengan satu tangannya memegang rompi.
"Juan sama Rigel di mana? Mereka belum dateng," ucap Bu Maya cepat, lalu menyodorkan satu rompi.
"Saya juga nelpon Juan tapi nggak aktiv, Bu." Gue memakai rompi itu cepat.
Lalu menatap layar ponsel, masih dengan nama Juan di sana.
Bu Maya menggigit bibir bawahnya. "Kalo mereka belum sampai juga, biar ibu ganti Fara sama Reyhan aja," katanya pelan.
Gue terdiam, menatap tak percaya bu Maya. Tangan gue sedikit bergetar saat mengetikan sesuatu, bermaksud mengirim pesan pada Rigel.
"Kalian di mana sih...."
Mengalihkan pandangan ke arah bus. Melihat Fara yang masih mengobrol dengan Arsel.
"Far," teriak gue membuat dua orang itu menoleh dengan cepat, "sini cepetan."
"Elo tau rumah Juan kan?" tanya gue menatap Fara penuh harap.
"Anterin gue sekarang ke rumahnya bisa?" tanya gue dengan wajah memohon.
Fara menoleh pada Bu Maya.
"Waktunya nggak akan cukup, Adara. Kalo kalian bertiga nggak ada, kita nggak akan jadi ikutan," ucap Bu Maya.
Gue berdecak beberapa kali. Lalu menggembungkan pipi, mencoba berpikir.
"Ini mimpi kita bertiga, Bu. Saya janji akan bawa mereka," kata gue mencoba membujuk Bu Maya, "ibu yang bilang, tim nggak akan saling meninggalkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Adara, Ayo Move On (END)
Teen Fiction"Adara, ayo move on!" Bukan sebuah ajakan, namun itu perintah. Adara Tsabita, siswi kelas 12 Bahasa 1 yang merupakan ketua jurnalistik yang sebentar lagi akan lengser, baru hari pertama masuk sekolah sudah mendapat berita terkait kekasihnya yang ber...