-Selamat membaca-Sebenarnya gue risi banget kalo lewat di koridor kelas sebelas, cewek-ceweknya pada liatin gue kayak mau nerkam gitu. Apalagi kelas IPS, kayaknya mereka satu geng sama Paula.
Lagian kenapa ruang guru harus di lantai satu, sih? Males banget.
Sudah empat hari berita itu menyebar, tapi masih diperbincangkan. Gue juga belum bisa menemukan pelakunya, tapi ada satu orang yang sebenarnya gue curigai cuma nggak berani ngomong karena takut salah.
"Ra! Adara!" Gue berhenti lalu menoleh ke belakang. Melihat si wakil osis berlari ke arah gue. Berdecak pelan, kenapa harus larian, sih? Kan gentengnya nambah. Eh.
"Kenapa, Rey?" tanya gue menaikan alis.
Reyhan menghela napas panjang. "Elo udah umumin di blog sekolah soal lomba seleksi pengurus OSIS baru?" tanyanya tenang.
Gue mendecak pelan. "Ya belum lah, akunnya belum balik."
Reyhan mengagguk singkat. Cowok itu lalu menggaruk tengkuknya. "Oh iya, gue lupa. Sorry," ucapnya pelan.
Gue menggeleng, tersenyum tipis. "Nggak apa-apa kali, Rey, santai aja."
Gue mengalihkan pandangan ke arah lain. Kok jadi canggung.
"Sorry, ya, gue nggak bisa bantu banyak," ucap Reyhan dengan nada bersalah, "tapi gue udah kasih tau temen gue yang jago ngelacak, kok."
Gue mengangguk. "Gapapa elah, elo bantu gitu aja gue udah berterima kasih banget." Gue terkekeh pelan.
"REYHAN KENAPA LO TINGGALIN GUE SIH!" Gue dan Reyhan refleks menoleh bersamaan melihat perempuan bertubuh tinggi itu berlari dengan wajah kesal.
"Cewek lo tuh," ucap gue menggoda Reyhan membuat cowok itu salah tingkah menggaruk tengkuknya.
"Bukan cewek gue elah, sahabatan doang."
Gue mengangguk saja menanggapi ucapan Reyhan. Mereka berdua memang sudah dekat dari kecil katanya, tapi keduanya sama-sama selalu mengelak saat semua orang berkata bahwa keduanya pacaran. Hmm, frienzone ya.
Gue terkekeh saat dia memukul lengan Reyhan buat cowok itu meringis. Kadang gue gemes sendiri liat interaksi mereka yang sepertinya tidak pernah ada rasa canggung sedikit pun. Gue yakin sih diantara mereka ada yang suka, entah itu Reyhan atau Raina.
Tapi kenapa gue jadi ngomongin mereka? Tujuan gue, 'kan ke ruang guru.
"Gue duluan ya, kalian jangan berantem mulu, ntar beneran jodoh." Gue tertawa pelan melihat Raina mendengus kesal, tapi setelah itu ia tersenyum sambil melambaikan tangannya. Raina memang galak, tapi dia bisa bersikap manis.
Gue melangkah masuk ke ruang guru, mencari meja Pak Jaya untuk mengambil kertas ulangan gue yang tertinggal. Padahal gue mah nggak peduli, nilainya juga udah disebutin di kelas.
Selesai mengambil kertas, gue berniat langsung kembali ke kelas. Tetapi langkah gue terhenti saat sebuah suara memanggil.
Perasaan gue nggak enak, kayaknya bakal disuruh nih.
"Adara bisa bantu bawain buku ini nggak, ibu keberatan nih."
Kan bener.
Gue tersenyum sambil mengangguk.
Bu Maya, guru mata pelajaran kimia itu menyerahkan setumpuk buku pada gue. Mau nggak mau gue mengambilnya.
Gue melihat nama di buku paling atas. Tulisan khas dengan ukuran yang sedikit besar terpampang jelas. Nama Rigel Antares tertulis di sana membuat gue mendengus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adara, Ayo Move On (END)
Novela Juvenil"Adara, ayo move on!" Bukan sebuah ajakan, namun itu perintah. Adara Tsabita, siswi kelas 12 Bahasa 1 yang merupakan ketua jurnalistik yang sebentar lagi akan lengser, baru hari pertama masuk sekolah sudah mendapat berita terkait kekasihnya yang ber...