Malam ini gue benar-benar nggak tenang sama sekali, setelah makan malam aja langsung ke kamar tanpa mempedulikan teriakan bang Albi yang ngajak ke acaranya dia di kafe buat nge-band sama temen kampusnya.
Gue masih nggak bisa terima kejadian tadi gitu aja, saat Juan mengatakan bahwa gue adalah pacarnya di depan Rigel.
Juan tuh, nggak ada alasan lain apa, ya?
Bang Albi sudah pergi dan itu artinya gue juga bisa keluar malam ini, tadi gue nggak pulang sama Juan, gue tetap pulang sama Fara dan di perjalanan pun gue tetap diam nggak mau buka suara.
Dengan cepat gue mengambil hoodie dan mengganti dengan celana jeans berwarna biru saat Juan mengirimi pesan sudah berada di depan rumah.
"Mau ke mana, kak?"
Gue berhenti saat ibu datang dari arah dapur.
Gue tersenyum tenang. "Mau keluar sebentar, bu, sama Juan. Boleh nggak?"
Ibu menatap ayah sebentar. "Juan yang waktu itu belajar di sini? Mau ngapain?"
Gue terdiam sejenak sambil menggaruk tengkuk. "Mau keluar doang sih, bu. Boleh 'kan?"
"Kan bisa di rumah aja kalo mau ngobrol doang," ucap ayah duduk di kursi depan tv.
Gue mengerucutkan bibir. "Bentar doang, yah, ini penting banget," ucap gue memelas.
Ibu menghela napas melihat ayah mengangguk. "Ya udah, hati-hati, harus pulang sebelum jam sembilan, ya."
Gue mengangguk cepat lalu melangkah keluar setelah berpamitan.
Juan sudah duduk di motor vespanya menunduk memainkan ponsel.
"Mau ke mana?" tanya gue yang tiba-tiba jadi gugup gini.
Juan menoleh lalu mengantongi ponselnya di saku jaket. "Elo nggak papa 'kan, keluyuran malem-malem gini?" tanyanya.
Gue menggeleng. "Gue udah izin," ucap gue pelan.
Gue mengalihkan wajah saat tiba-tiba kita saling diam. Juan juga masih diam belum menyalakan motornya.
Tapi tiba-tiba cowok itu terkekeh pelan. "Napa canggung dah, kayak lagi pacaran beneran."
Gue mendengus, menatap cowok itu.
"Ya ini juga salah elo," ucap gue pelan, sambil mulai menaiki motor Juan.
"Iya sorry, tadi gue refleks aja, greget gitu lho," ucap Juan membenarkan posisi duduknya. Kini cowok itu sudah menyalakan motor.
Gue memutar bola mata malas. "Tapi nggak perlu disebutin pacar juga," ucap gue mulai kesal.
Juan tak menjawab, dia hanya diam membuat gue merenggut gitu aja.
Tapi jalanan malam ini agak ramai karena kata Juan banyak yang pergi ke pasar malam.
Sebenarnya, gue pengen ke sana sih, tapi masa gue harus minta ke Juan sih?
Kan, kan gengsi.
"Elo mau ke pasar malam nggak?"
Eh.
Kok Juan.
Bentar, gue lagi speechless nih sekarang.
Ini Juan yang peka apa dia bisa baca pikiran orang?
"Mau kagak?"
Gue mengerjap saat Juan bertanya dengan sedikit berteriak. Ini dia kenapa sih? Tadi nanyanya kalem.
"Elo nggak usah teriak juga," ucap gue menyonor kepala dia dari belakang.
"Ya elo, ditanya malah diem. Kesambet lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Adara, Ayo Move On (END)
Teen Fiction"Adara, ayo move on!" Bukan sebuah ajakan, namun itu perintah. Adara Tsabita, siswi kelas 12 Bahasa 1 yang merupakan ketua jurnalistik yang sebentar lagi akan lengser, baru hari pertama masuk sekolah sudah mendapat berita terkait kekasihnya yang ber...