-Selamat membaca-
Gue berhasil merebahkan tubuh di kasur kesayangan gue yang sekarang sudah berganti gambar dengan wajah imut nan manis si kalem Dora, sebelumnya gue memakai seprai bergambar kodok, dan sekarang gue ganti karena sudah bosan gue tidur ditemani kodok-kodok hijau. Bayangin aja setiap gue bangun tidur lihat kodok, enak nggak tuh.
Tapi baru saja gue nyalain laptop, suara tidak mengenakan terdengar di gendang telinga gue. Gue hela napas buat nahan emosi, kenapa gue nggak bisa santai sih hari ini. Ada aja yang bikin gue gerak, nggak tau apa gue malas gerak.
"Adara, katanya mau bikinin abang pasta, kok nggak jadi sih." Gue mendengus saat melihat cowok bertubuh tinggi itu membuka pintu kamar gue lalu bersandar di pintu, kalo Fara lihat ini mungkin dia udah jingkrak-jingkrak nggak jelas.
"Abang, 'kan bisa bikin sendiri." Gue menutup kembali laptop lalu menutup tubuh gue dengan selimut.
"Entar Abang kasih tau, kata sandi wifi rumah sebelah deh," ucapnya sambil menarik selimut.
Gue langsung bangun dengan wajah semangat. "Serius bang? Ah paling bohong lagi," ucap gue kembali tidur.
"Serius, makannya bikinin pasta ya." Cowok berkulit kuning langsat itu menaikan alis tebalnya.
"Oke, awas aja kalo bohong lagi." Gue menyibakkan selimut lalu berjalan ke luar kamar menuju dapur diikuti Abang gue.
"Jangan kepedesan Dar, biar bisa dimakan sama orang rumah." Gue mengangguk singkat sambil nyalain kompor, "eh, nggak usah pake cabe deh kayaknya, sausnya 'kan udah pedes, ya."
"Jangan banyak omong, diem aja." Gue mendelik ke arahnya, enak banget dia nyuruh-nyuruh.
Gue kembali dengan kegiatan gue, mageran gini gue masih bisa masak, tapi sebenarnya gue lebih suka bikin yang manis-manis daripada yang asin. Kadang hari Minggu juga gue ngabisin waktu di dapur untuk membuat kue, terus dibagiin ke tetangga terdekat. Ada kesenangan tersendiri saat dengar pernyataan bahwa makanan gue enak, bahagia sesimpel itu ya.
"Eh Dar, katanya tadi ada dua cowok yang dateng. Siapa?" tanya Abang gue, matanya masih fokus ke layar ponsel.
"Itu, Rigel sama Juan, temen LCC, bang." Gue jawab seadanya aja.
"Rigel sama kamu, LCC?" tanya Abang gue nggak percaya.
"Kenapa? Nggak percaya banget sama adiknya?" Gue natap dia kesal. Sebenarnya gue sendiri juga masih nggak percaya sih bisa mewakili LCC itu.
"Percaya dong, adikku 'kan pintar. Saking terlalu pintarnya sampai nggak bisa bedain, mana yang bisa dijadikan teman sama pacar," ucapnya tertawa keras, gue mendelik sambil ngangkat spatula.
"Tau dari mana?" tanya gue penuh selidik.
"Fara lah, siapa lagi." Abang gue menyimpan ponselnya lalu beralih menatap gue, "kan, Abang bilang apa. Kalo pacaran sama temen putusnya jadi jauhan gitu, masih untung kamu berdua ngewakilin LCC, bisa ngobrol. Kalo nggak gitu, Abang yakin kamu bakal blokir tuh kontak Rigel."
Gue terdiam mendengar perkataan Abang gue yang emang benar. Dia memang tahu Rigel, gue selalu cerita sama Abang tentang temen-temen gue, semuanya. Bahkan saat Rigel nembak gue, gue masih minta pendapat sama Abang.
Tapi gue malah nggak dengerin pendapat dia dan terima Rigel.Nyebelin begitu, dia tetap bersikap baik sama gue sebagai Abang, makannya gue nggak pernah menolak saat Abang nyuruh gue apapun, walaupun harus dikasih sesuatu dulu. Hehe.
"Ya udah sih bang, udah ini." Gue mengangkat pasta lalu menaruhnya ke piring yang lumayan besar. Piring satunya lagi gue isi bumbu pasta.
"Iya, tapi kamu ngerasa beda, 'kan sama dia. Dulu kalian dekat sebagai teman, terus pacaran akhirnya putus, eh malah jauhan gini." Gue bergumam pelan lalu menyodorkan pasta ke Abang gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adara, Ayo Move On (END)
Fiksi Remaja"Adara, ayo move on!" Bukan sebuah ajakan, namun itu perintah. Adara Tsabita, siswi kelas 12 Bahasa 1 yang merupakan ketua jurnalistik yang sebentar lagi akan lengser, baru hari pertama masuk sekolah sudah mendapat berita terkait kekasihnya yang ber...