Chapter 3

2K 358 35
                                    

"Aku tahu, rasanya pasti sakit sekali. Tapi yang kamu lakukan tadi bisa saja mengubah sesuatu yang harusnya tidak diubah. Kamu masih ingat tujuanmu, kan?"

Aruna tampak tak perduli dengan apa yang pendampingnya ucapkan. Dia lebih memilih menatap ke arah lain daripada lawan bicaranya sekarang.

"Kamu mengerti, Aruna?" tanya Peri pendamping lagi, kali ini lebih menekankan kata-katanya membuat Aruna mau tak mau kembali memusatkan perhatian kepada sosok bergaun putih itu.

Aruna melipat kedua tangan di depan dadanya. "Jadi gue harus pura-pura nggak tau apa-apa soal masa depan dan menganggap semuanya baik-baik aja?" tanyanya dengan nada kesal.

Peri pendamping mengangguk. Dengan perlahan Peri pendamping menurunkan kedua tangan Aruna, lalu menggenggamnya dan berkata, "Kamu adalah Aruna yang berumur lima belas tahun, bukan gadis berumur dua puluh empat tahun yang dikhianati oleh tunangan dan sahabat. Jaga sikap kamu, tujuan kamu adalah meminta maaf dan memperbaiki sikap buruk kamu di masa lalu. Jika kamu seperti ini, lalu apa bedanya?"

Aruna melepaskan tangannya dari Peri pendamping. "Okay, fine... gue bakal pura-pura nggak tau apapun."

Setelah mengucapkan itu, Aruna pergi meninggalkan Peri pendamping. Peri pendamping menghela nafas pelan, dia tau tidak semudah itu untuk bersikap biasa saja pada orang yang telah menyakiti kita. Dan tugasnya adalah mendampingi Aruna agar dia tidak keluar jalur dari tujuan utama. Jangan sampai rasa dendam di masa depan menganggu misinya.

Jika Aruna tahu akan mengalami hal seperti ini, dia tidak akan pernah bersikap buruk atau pun nakal. Aruna menyesal kenapa semasa SMK sifatnya begitu buruk. Padahal saat masih SMP dia adalah gadis yang lembut. Andai saja dia sadar lebih awal, sayangnya Aruna baru tobat dari kenakalannya waktu masuk bangku kuliah.

Setelah mengikuti salah satu temannya, akhirnya Aruna bisa menemukan di mana ruang kelasnya. Dia sempat kesusahan mencari ruang kelasnya. Beruntung dia melihat seseorang yang dia kenal dan mengikutinya.

Sesampainya di kelas, dia langsung disambut heboh oleh genk Scarlet. Genk yang berisi dia, Feli, Gisel dan orang yang tadi menepuk punggungnya di depan gerbang sekolah... Vanya. Aruna sempat menatap Vanya yang terlihat canggung, mungkin karena sikap Aruna tadi. Aruna lalu mendekati gadis berambut panjang yang hari ini memakai bando berwarna pink dan mengulurkan tangannya.

"Maafin soal tadi, Van. Gue lagi latihan akting," ujar Aruna sambil menunjukan deretan giginya, pura-pura tersenyum. Rasanya susah banget untuk senyum di depan orang yang kita benci. Apalagi hanya dengan melihat wajah Vanya, kejadian menyesakkan itu serasa berputar kembali di otak Aruna.

Vanya seperti bernafas lega. "Ya ampun, Na, gue kira lo beneran marah sama gue. Gue sampe mikir, gue buat kesalahan apa kok lo bersikap gitu ke gue."

Vanya membawa Aruna ke pelukannya. Sementara Feli dan Gisel yang tidak tau apapun menatap mereka heran.

"Lo nusuk gue dari belakang, Van," batin Aruna.

"Weh... Kenapa dah ini pagi-pagi udah pelukan kaya teletubies?"

Vanya terkekeh menanggapi ucapan Feli, sedangkan Aruna tersenyum kaku.

"Tadi waktu di gerbang si Barbie jutek banget ke gue. Gue sapa, dia malah ninggalin gue," cerita Vanya yang sudah melepas pelukannya pada Aruna. Barbie adalah panggilan khusus yang Vanya berikan untuk Aruna. Vanya pernah bilang, Aruna itu secantik boneka Barbie. Kalau dulu Aruna bangga banget dipanggil boneka sama Vanya, sekarang Aruna cuma bisa mengumpat dalam hati. Alah... bulshit!

"Taunya lagi latihan akting," lanjut Vanya sambil menyebikan bibir.

"Lo latihan akting buat apa, Na?" sahut Gisel.

Back To School✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang