Aruna turun di halte bus dekat rumah Jevin. Dia masih ingat rumah lelaki itu setelah mengantarnya pulang hari minggu kemarin. Aruna juga berniat membeli buah untuk dibawa menjenguk lelaki yang babak belur oleh pacar brengseknya. Saat Aruna mendekati kios buah yang ada di pinggir jalan, terdengar suara ribut yang ternyata adalah penjual dan seorang pembelinya sedang berdebat.
"Pokoknye gue kagak mau tau, lo harus bayar tuh buah!"
"Enak aja! Saya udah kasih uangnya tadi!"
"Mana? Gue belum ngerasa terima, di laci juga kagak ada!" balas penjual yang merupakan ibu-ibu itu tak mau kalah.
"Ya nggak tau! Saya udah taruh uangnya di sini tadi! Pokoknya saya udah bayar!"
Pembeli itu hendak mengambil kantong plastik berisi buah yang dibelinya, namun pedagangnya menahan hingga terjadi tarik-menarik antara mereka berdua. Beberapa orang yang lewat bahkan menjadikan mereka tontonan gratis tanpa ada niatan melerai.
"Lepasin, Bu!"
"Kagak bisa! Lo kudu bayar dulu!"
Aruna mengurungkan niatnya membeli buah di situ. Dia hendak berbalik, tapi kemudian dia sadar jika pembeli tersebut mengenakan batik yang tidak asing. Itu batik seragam perusahaan tempat dia bekerja. Aruna mendekatinya dan mengamati sekilas wajah pembeli dan benar saja dia mengenal orang itu.
"Mbak Yesi," guman Aruna. Orang itu merupakan teman kerjanya. Aruna heran melihat Mbak Yesi seperti ini, padahal kalau di kantor dia termasuk orang yang paling sabar. Agak aneh melihat dia berdebat dengan orang lain di tempat umum seperti ini. Seperti bukan Mbak Yesi yang selama ini dia kenal. Atau mungkin Mbak Yesi yang dulu memang seperti ini?
"Bayar atau gue teriak maling, nih!" ancam pedagang tersebut. "Ma..."
Aruna segera mencegah.
"Tunggu!"
Dia kenal betul seniornya di kantor itu. Tidak mungkin Mbak Yesi berbohong atau lebih tepatnya sangat kecil kemungkinan wanita satu anak itu berbohong. Bahkan dia selalu jujur dalam membuat laporan, tidak ada dalam kamus Mbak Yesi yang namanya melakukan manipulsi data. Meskipun akhirnya dia harus dimarahi atasan karena apa yang mereka mau tidak tercapai, tapi memang sejujur itu sifat Mbak Yesi.
Kalau dia bilang sudah bayar berarti dia benar-benar sudah membayar. Dan dia termasuk pejuang yang gigih, kalau dia merasa benar, dia tidak akan menyerah semudah itu.
Kedua wanita yang lebih tua dari Aruna itu sama-sama menoleh ke anak berseragam yang baru saja melerai mereka.
"Tunggu... Kenapa ini?" tanya Aruna pada Mbak Yesi dan ibu pedagang buah.
"Ini, Dek. Gue kan udah bayar, uangnya udah gue taruh situ. Tapi si ibu ini bilang kalau gue belum bayar dan maksa gue buat bayar lagi," jelas Mbak Desi dengan kesal.
"Heh! Gue belum terima tuh duit, kagak mau tau lo kudu bayar!" sahut penjualnya.
"Tenang... tenang... tenang," potong Aruna cepat, sebelum keduanya memulai perang babak ke-dua.
"Mbak tadi naruh uangnya di mana?"
"Di situ, tuh," tunjuk Mbak Yesi. "Di atas buah naga."
"Kagak ada!" cetus ibu pedagang.
"Mungkin uangnya jatuh," ujar Aruna. Gadis itu lalu berjongkok untuk mencari penyebab keributan antara dua wanita di depannya. Dia bahkan sampai melongok ke dalam kolong meja tempat buah ditata dan benar saja lembaran berwarna biru itu ada di sana.
Aruna memasukan tangannya ke dalam kolong untuk mengambil uang itu. Setelah dapat, dia berdiri dan menepuk-nepuk tangannya yang kotor.
"Nah, nih tersangka utamanya!" ucapnya sambil menunjukan uang yang baru saja dia temukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Back To School✔
Teen FictionGlendia Aruna. Gadis berusia 24 tahun itu percaya kesialan gagal menikah yang ia alami adalah karma buruk atas perbuatannya pada seorang lelaki bertahun-tahun silam. Saat dia diberi kesempatan untuk meminta maaf pada lelaki tersebut, ternyata ada ha...