Surat dari Vanya terlepas dari genggaman Aruna dan jatuh ke ranjang, disusul dengan air mata yang menetes dari mata bulat gadis itu.
"Kalau lo sayang sama gue, nggak kayak gitu caranya, Van," isak Aruna. Dia kemudian menjatuhkan dirinya ke tempat tidur dan memeluk jaket yang dikirim Vanya. Aroma parfum Vanya menguar dari jaket itu. Aroma yang Aruna suka.
"Kenapa lo lakuin ini sama gue? Kenapa, Van? Harusnya lo ngomong kalau lo nggak suka sama gue! Kenapa lo harus bermuka dua dan berpura-pura jadi sahabat gue? Lo nggak tahu betapa tersiksanya gue karena persahabatan kita harus berakhir kayak gini. Gue sesek... gue sesek saat harus memendam rasa benci dan sayang yang muncul bersamaan buat lo. Gue kangen kita sama-sama lagi, tapi terlalu sakit kalau inget apa yang udah lo lakuin. Gue harus gimana sekarang?"
Aruna terus merancau meluapkan apa yang gadis itu rasakan. Memang ia sangat membenci Vanya, tapi sebagian hatinya juga masih sayang perempuan yang sudah menjadi orang ketiga dalam hubungannya dengan Leo. Tidak mudah untuknya melupakan sembilan tahun yang sudah mereka lewati sama-sama. Munafik jika dia mengatakan tidak merindukan Vanya.
Aruna terus terisak hingga akhirnya ia tertidur karena kelelahan. Jam lima pagi gadis itu membuka mata. Dia masih ada di posisi yang sama... memeluk erat jaket milik Vanya.
Aruna mengubah posisinya menjadi duduk kemudian dia mengambil ponsel yang tidak tersentuh sama sekali setelah ia membuka paket yang dikirim oleh Vanya. Aruna menyalakan data internet dan pesan whatsapp pun berdatangan masuk.
Ada beberapa pesan dari grup kantor dan Scarlet Girl. Aruna membuka pesan yang ada di paling atas. Pesan dari Jevin yang dikirim beruntun. Lelaki itu khawatir karena Aruna tidak membalas pesan darinya. Aruna pun membalas kalau dia ketiduran setelah makan dan tidak sempat memegang ponsel lagi setelah pulang dari kedai milik Jevin.
Dia kemudian bercermin dan mendesah pelan saat melihat matanya membengkak. Aruna tak masalah dengan itu, dia hanya malas menjawab jika ada yang bertanya apakah dia habis menangis. Untung sekarang hari minggu jadi hanya keluarganya saja yang kemungkinan akan menanyakan hal itu.
***
"Aruna?"
"Hi, Jev." Aruna melambaikan tangan pada pemilik kedai boba yang baru saja menghampirinya.
"Lo ngapain pagi-pagi di sini?"
"Mau ngelamar jadi waiters nih," kata Aruna jengkel. Padahal dia sudah mandi pagi buta dan dandan cantik untuk bertemu Jevin, tapi respon Jevin tidak sesuai ekspektasi gadis itu. Dia bahkan mengompres matanya supaya tidak bengkak lagi.
Jevin hanya terkekeh kemudian menarik kursi yang ada di sebelah Aruna. Karena masih pagi pengunjung di kedai Jevin belum ramai hingga dia bisa mengobrol sebentar dengan gadis itu. Mereka berdua duduk menghadap jalan raya yang ramai dipenuhi orang-orang yang mengisi hari minggu mereka dengan berolahraga atau sekedar berjalan-jalan.
"Jadi gimana boba gue?" tanya Jevin setelah mereka berdua sama-sama diam beberapa saat.
"Hmmm..." Aruna mengetukkan telunjukannya ke dagu seolah berpikir keras.
"Rate 1-5 deh," sela Jevin tidak sabar.
"Dua setengah," ucap Aruna pelan.
Jevin nampak kecewa dengan penilaian Aruna, tapi setelahnya dia menarik kedua sudut bibir ke atas saat Aruna melanjutkan kata-katanya.
"Kali dua. Dua setengah kali dua sama dengan lima. Sumpah sih ini enak banget, Jev!" puji Aruna jujur. Pantas saja HR boba viral dan ada dimana-mana, selain harganya yang terjangkau rasanya juga juara. Nggak kalah sama minuman kekinial yang dijual dengan harga lima puluh ribu satu cup-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Back To School✔
Fiksi RemajaGlendia Aruna. Gadis berusia 24 tahun itu percaya kesialan gagal menikah yang ia alami adalah karma buruk atas perbuatannya pada seorang lelaki bertahun-tahun silam. Saat dia diberi kesempatan untuk meminta maaf pada lelaki tersebut, ternyata ada ha...