Sikap Aruna benar-benar aneh di mata teman-temannya. Pasalnya, Aruna itu biasanya pilih-pilih dalam urusan berteman, tapi sekarang dia kelihatan oke-oke aja satu kelompok sama anak yang dianggap aneh oleh siswa lain.
"Oke juga ide lo!"
Aruna menjentikan jari lalu membentuk finger gun dan menunjuk Jevin setelah mendengar ide yang keluar dari mulut Jevin. "Jadi konsep kita mengiklankan produk tradisional dengan konsep modern?"
Jevin mengangguk. Cowok itu tadi menyampaikan idenya untuk mengiklankan jajanan pasar. Aruna setuju karena menurutnya unik aja, kan jarang yang ngusung tema makanan tradisional.
"Eh beli di mana kue-kue kayak gitu?"
"Nanti gue yang bawa. Ibu gue jualan kue."
Aruna mengangguk-angguk.
"Lo cerdas juga, ya? Tapi kenapa mengukung diri, sih? Bergaul dong! Emang nggak mau punya temen?" cerocos Aruna sambil menulis apa yang tadi Jevin sampaikan di buku bahasa inggrisnya.
Jevin menoleh ke gadis berambut sebahu yang sedang duduk di sampingnya. Gadis pertama... ah bukan hanya gadis pertama, tapi juga murid pertama yang mau mengajaknya berbicara. Sebenarnya bukan Jevin tidak ingin memiliki teman, hanya saja situasi sekarang yang membuat dia lebih nyaman sendiri.
"Gue lebih suka sendiri," jawab Jevin.
"Introvet yah lo?" tuduh Aruna.
Nggak heran kalau Jevin dianggap aneh sama anak sekelas... ternyata dia emang aneh, batin Aruna. Mana ada sih manusia yang suka sendiri? Apalagi di masa SMK yang kata orang-orang adalah masa paling indah dan penuh kenangan. Emang kadang-kadang kita butuh me time, tapi empat bulan dan belum dapat temen itu udah nggak wajar. Pantas dia mendapat julukan cowok aneh pojokan.
"Hm..."
"Nyanyi lagunya Nisa Sabyan lo, ham hm ham hm?"
Aruna terus mengajak Jevin mengobrol. Dia ingin memperbaiki kesalahannya dulu. Walaupun mungkin Jevin yang ada di depannya sekarang tidak tau apa yang Aruna lalukan dulu, tapi Jevin di masa depan pasti masih ingat perlakuan buruknya, begitu pikirnya.
"Nisa Sabyan?" Jevin mengerutkan alisnya, merasa asing dengan nama yang disebut Aruna.
Aruna menepuk keningnya. Kenapa dia lupa sekarang dia ada di tahun dua ribu dua belas. Grup itu tentu belum hits seperti tahun dua ribu dua puluh satu atau mungkin malah belum dibentuk sama sekali.
"Itu tetangga gue," bohong Aruna. "Eh iya kita mau bikin narasi sama videonya kapan?" lanjutnya membahas tugas, tak ingin lama-lama ngomongin Nisa Sabyan.
"Terserah."
Mendengar jawaban Jevin, Aruna menatap cowok itu dengan sinis.
"Sekali lagi lo bilang terserah, dapet piring lo!" ancam Aruna sok galak, namun di mata Jevin itu justru terlihat imut. Jevin menarik sudut bibirnya tipis... sangat tipis sampai Aruna tidak menyadarinya.
"Terserah lo aja, gue ngikut."
"Okay kalau gitu. Besok, pulang sekolah di rumah gue!"
"Rumah lo?" Jevin tampak terkejut.
Aruna mengangguk. "Kan lo sendiri yang bilang terserah dan mau ngikut aja. Sekarang gue nggak menerima keluhan apalagi penolakan, bye!"
Aruna berdiri dan melenggang menuju bangkunya, meninggalkan Jevin yang memandangi punggung gadis itu. Lelaki itu mengerjapkan matanya, masih tak percaya, apa itu benar Aruna? Kenapa sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat dari Aruna yang biasanya bahkan tidak mau memandang ke arahnya? Jangankan ke Jevin, ke anak lain yang Aruna merasa tidak sebanding dengannya pun dia enggan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Back To School✔
Roman pour AdolescentsGlendia Aruna. Gadis berusia 24 tahun itu percaya kesialan gagal menikah yang ia alami adalah karma buruk atas perbuatannya pada seorang lelaki bertahun-tahun silam. Saat dia diberi kesempatan untuk meminta maaf pada lelaki tersebut, ternyata ada ha...