Meninggalkan mereka yang masih bercengkerama di ruang makan sambil menikmati hidangan mami, aku memilih diam-diam beralih ke ruang keluarga. Duduk di sofa nyaman menghadap potret keluarga berukuran raksasa yang terpampang gagah. Ayah dengan seragam kantor, mami dengan baju nasional lengkap dengan sanggulnya, Mas Wibi, aku, dan Laras di dua sisi terluar. Sungguh potret keluarga yang harmonis.
Aku ingat, potret itu diambil tiga tahun lalu, beberapa hari setelah ayah menjabat sebagai direktur. Sebagaimana potret keluarga, selalu ada garis yang serupa pada raut wajah anak-anak yang merupakan perpaduan dari kedua orang tua. Dalam foto itu, Mas Wibi mirip ayah tentu saja. Garis rahang dan senyumnya serupa. Hidungnya juga sama mancungnya. Yang membedakan hanya sorot mata. Satu teduh dan matang, satu lagi penuh tekad dan gigih serta sedikit sinar jahil.
Mami tampak anggun. Kecil mungil, tetapi menampilkan aura tak tersentuh. Laras, tampil memukau dengan rambut kecoklatan dan kulit putih bersih. Berbeda denganku yang sedikit kecoklatan dengan rambut hitam kusam karema sering terbakar terik matahari.
Secara fisik, kami mewarisi tinggi badan ayah. Yah, meskipun aku dan Laras tak setinggi ayah dan Mas Wibi, setidaknya tidak sependek mami yang hanya menyentuh kisaran 155 cm. Raut wajah Laras lebih mirip ayah, sedikit indo. Sudahkah kuceritakan bahwa kakek adalah bule Prancis yang tergila-gila dengan perempuan Indonesia sehingga tak mau kembali ke negaranya? Jadi, kalau Laras berkulit putih, berhidung mancung, berambut kecoklatan yang bergelombang indah, itu karena gen dari ayah lebih kuat menonjol di dia.
Berbeda dengan aku, meskipun kami kembar. Aku lebih mirip mami. Rambut hitam, hidung standar Indonesia, dan kulit kuning langsat. Jika kami berjalan berdua, tak ada seorang pun yang akan meragukan kalau aku anak mami. Beda dengan Laras, yang selalu ditanyakan ulang jika mami menyebutkan Laras adalah anaknya.
Kami memang kembar, tetapi beda. Hanya serupa kakak adik biasa karena meskipun kembar, kami berasal dari dua sel telur yang berbeda. Begitulah. Hingga tak seorang pun yang mencurigai hubunganku dengan Laras meskipun foto-foto yang dirilis manajemennya kebanyakan adalah hasil jepretanku.
"Sungguh potret keluarga yang harmonis," kata sebuah suara tiba-tiba di sampingku.
Aku menoleh padanya, tapi tak menjawab.
"Tak seorang pun yang percaya bahwa salah satu anak dalam foto itu membuang dirinya ke kos-kosan sempit alih-alih tinggal di rumah yang nyaman ini."
"Nyaman secara fisik bukan berarti nyaman secara mental," kataku pendek.
"Aku tahu." Ia menghela napas. "Setidaknya aku harus memastikan kamu datang saat acara pertunanganku nanti." Aku memicingkan mata kepadanya.
"Kamu nggak lagi hamidun, kan?" tanyaku?
Laras tergelak.
"Gila, lo. Hamil di saat karier sedang naik?"
"Tunangan di saat karier sedang naik juga bukan hal yang bisa mendongkrak popularitasmu. Penggemar-penggemarmu yang cowok akan patah hati melihat idolanya sudah taken."
Dia tertawa. "Siapa bilang? Justru mereka akan membuat fansclub untuk mendukung kami."
"Fansclub yang namanya dipaksa-paksain? Coba, jadi apa namanya fansclub-mu nanti? Larasati Prahara? Lapra? Lepra kali," jawabku mencebik yang dijawab dengan tawa kerasnya.
Aku menunggunya menuntaskan tawa.
"Sumpah, Di, omonganmu pendek-pendek. Pedes, tapi lucu juga."
Aku diam saja. Dia juga diam.
"Waktu di Paris, Kemal nggak menemuimu sama sekali?" tanyaku menyibak keheningan. Dia menggeleng.
"Komunikasi kalian nggak lancar?" Kulihat Laras mengerjapkan matanya. Aku yakin, ada sesuatu yang mengusiknya tentang Kemal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara's Secret Wife
RomanceDidi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya. Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa i...