Salah satu hal yang membuatku merasa jengah adalah berada di antara pasangan-pasangan manusia, sedangkan aku sendirian. Di sini, di taman yang rimbun dengan dedaunan, dalam temaramnya lampu, aku melihat sepasang manusia tengah asyik masyuk, tak peduli pada sekitar lagi. Aku mencoba menjauh dari pasangan itu, tetapi tiba-tiba kakiku terantuk akar pohon yang besar. Dan ups, jatuhlah aku menimpa pasangan yang tengah mabuk kepayang itu.
"Maaf," kataku mencoba bangkit. Namun, betapa terkejutnya aku, ketika aku mengangkat kepalaku, Mami-lah yang kulihat. Bersama Prahara. Mereka berduaan, di taman temaram, dalam kondisi yang tidak layak untuk dilihat manusia lain.
Aku menjerit, mencoba berlari dari mereka. Terus berlari sampai napasku tersengal-sengal. Lalu aku terbangun. Dengan keringat bercucuran dan napas terengah engah. Dan perasaan lega luar biasa. Lega, karena semua yang baru saja kulihat hanyalah mimpi. Mimpi buruk yang datang karena aku tidur tanpa merapal doa.
Aku bangkit dari tidurku. Kulihat Laras masih tidur nyenyak di sampingku. Aku sendiri tak tahu kapan ia tidur. Seingatku, tadi dia masih khusyuk memandangi foto Kemal ketika akhirnya aku tertidur. Yah, begitu kebo-nya aku, kena bantal sebentar saja langsung terlelap. Sedangkan dia, tak akan bisa tidur sebelum melakukan ritual malamnya dengan micellar water, serum, dan segala macam krim malam itu.
Sudah pukul setengah empat. Tak bisa memejamkan mata lagi, aku memilih bangkit dari tempat tidur dan duduk di sofa. Dari sofa kupandangi Laras yang tampak begitu innocent dalam tidurnya. Kembaranku yang cantik. Kulitnya putih bersih sedikit kemerahan. Rambutnya tebal, bergelombang, dan kecoklatan persis iklan shampo produksi luar negeri. Hidungnya mancung dan tulang pipinya tinggi. Jika dia membuka mata, matanya yang lebar berwarna hitam dengan pandangan yang dalam.
Kupikir, tak ada seorang pun yang bisa menolak pesona Laras. Tentu, termasuk Kemal dan Prahara, kan? Namun sayang, ia tak bisa menentukan hak hidupnya karena selama ini berada di bawah bayang-bayang Mami.
Kami memang kembar, tapi kami berbeda. Ibarat timur dengan barat. Selain fisik yang sama sekali tak mirip, sifat kami juga berbeda. Aku lebih blak-blakan dalam menyampaikan pendapat, berbeda dengan Laras yang cenderung menenggang perasaan orang lain ketika mesti menyampaikan sikap. Aku cenderung keras kepala dalam mempertahankan pendapat, sedangkan Laras lebih mudah menerima pendapat orang lain. Kupikir ia memang sosok yang sangat toleran.
Pada banyak kasus yang dialami oleh anak kembar, tidak semua memiliki kesehatan ataupun kecerdasan yang setara. Biasanya ada satu anak yang kekuatan fisiknya ataupun kognitifnya lebih bagus dibandingkan dengan kembarannya. Demikian pula dengan kami. Sejak kecil, Laras sering sakit-sakitan. Aku ingat, beberapa kali ia mengalami kejang ketika sakit panas. Aku yang jarang sakit selalu ketakutan melihatnya pucat kebiruan dan kejang semasa kecil. Tak heran, Mami begitu panik jika sedikit saja ia kena hujan atau kecapekan.
Ketika mulai bersekolah, Laras sering pingsan karena kelelahan sehingga Mami memutuskan ia harus homeschooling. Aku tetap bersekolah di sekolah umum supaya Mami lebih fokus mengurus Laras. Dan begitulah sampai kami dewasa.
Bisa dibilang, aku sama sekali nggak ada bonding sama Mami. Aku lebih dekat dengan Mas Wibi yang setia mengantar-jemput aku ke sekolah. Pernah dulu, ketika aku sering menjadi juara lomba, sesekali aku ingin menunjukkannya pada Mami. Ingin membuatnya bangga. Namun, Mami selalu menahan kegembiraanku karena harus menenggang perasaan Laras. Mami takut, melihatku menjadi juara akan membuat Laras insecure dan bersedih.
Maka dari itu, Mami juga berusaha membuat Laras berprestasi. Ketika fisiknya sudah mulai kuat, Laras mulai diikutkan segala macam les hingga akhirnya ketahuan bahwa bakatnya di bidang kinestetik. Laras sering menjuarai lomba menari, lomba model, dan lainnya. Puncaknya, ketika ia mengikuti ajang pencarian bakat di Trend yang akhirnya menjadikan dia sebagai model terkenal yang kini merambah ke dunia akting.
Yah, begitulah, Dunia Laras selama ini adalah Mami. Sampai sekarang, dia tak pernah bisa mengambil keputusan tanpa meminta pertimbangan kepada Mami.
Perlahan aku menghela napas panjang. Subuh hampir tiba, jadi aku turun. Niatku ke dapur mengambil air hangat, lalu mencari udara segar di taman samping. Menikmati pagi di taman samping adalah salah satu kegiatan favoritku jika sedang pulang. Ada kursi besi bercat putih yang cukup nyaman untuk bersantai di sana. Jika ayah sedang ada waktu, kami akan berbicara banyak di sini sambil menikmati keindahan anthurium berdaun lebar dan beragam aglonema yang tumbuh subur dalam pot-pot besar.
Sesampai di bawah, kulihat ternyata ayah juga sudah bangun. Di ruang tengah, ayah sudah memakai sarung dan baju koko sambil membaca kitab suci terjemahan. Beberapa tahun belakangan ini ayah mulai mengikuti majelis taklim di kantornya. Itu yang membuat banyak perubahan pada hidupnya. Untungnya, perubahannya ke arah yang baik, sih. Ayah jadi rajin salat malam dan mengikuti jamaah di masjid.
"Sudah bangun, Ndhuk?" tanya ayah ketika aku mendekatinya sambil membawa segelas air hangat.
"Terbangun karena mimpi buruk, Yah," jawabku. "Ayah sudah selesai mengajinya?"
Ayah hanya mengangguk dan meletakkan kitab suci di meja.
"Ayah memang menunggu-nunggu kesempatan bicara dengan kamu."
Aku menatapnya dan ayah tersenyum.
"Sini," katanya merangkulku. Aku mendekat dan menyandarkan kepada ke bahu ayah. Damai rasanya.
"Ayah minta maaf kalau selama ini Ayah nggak dekat dengan Didi. Sejak kecil terpisah dari Ayah dan sekarang pun Didi masih tinggal jauh dari Ayah. Meskipun begitu, Didi tahu, kan, kalau Ayah juga sayang sama Didi?"
Aku mengangguk.
Sesaat kemudian, ayah berkata. "Kamu nggak berniat tinggal di rumah ini?"
"Maksud Ayah?"
"Malam nanti Laras tunangan. Dan dalam waktu satu dua bulan lagi mereka akan menikah. Rumah ini pasti akan sepi. Mami akan kesepian jika ayah ke kantor, kan? Apa lagi nggak ada Laras yang mesti Mami urus."
Apa? Sebulan dua bulan lagi mereka akan menikah? Oh, ini tidak boleh dibiarkan, mengingat sikap Laras semalam ketika dia melihat foto-foto Kemal.
"Ayah yakin akan menikahkan Laras dengan Prahara?"
"Mengapa tak yakin? Dia baik. Sopan juga. Latar belakangnya juga jelas."
"Ayah berapa kali bertemu dengan dia? Ayah nggak tahu jugakah kalau Laras cintanya sama Kemal?" tanyaku. Aku menjauh dari rangkulan ayah. Ternyata ayah sama saja dengan Mami.
"Yang penting mereka mau berkomitmen, kan, Ndhuk? Cinta itu hanya sepuluh persen, sisanya adalah komitmen."
"Yang pengin berkomitmen itu Mami, Ayah," tukasku agak kasar. "Maaf, Yah, tapi semalam Didi lihat Laras ngelihatin foto Kemal terus. Kayak pengin nangis gitu, anaknya. Menurutku dia belum bisa move on. deh. Mungkin Ayah bisa mempertimbangkan lagi keputusan ini," bujukku, "mumpung masih ada waktu."
"Bukannya Ayah nggak mau mempertimbangkan, Ndhuk. Tapi pakdhenya Prahara itu atasan Ayah di kantor. Juga pengisi majelis taklim Ayah. Beliau mengatakan kalau tak baik membiarkan dua orang lawan jenis terlalu sering berinteraksi dalam hubungan yang tidak jelas. Makanya Ayah setuju saja ketika Mami mengatakan kalau mereka berdua sebaiknya tunangan saja."
Nah, akhirnya keluar juga mantra "kata Mami". Ayah sebelas dua belas dengan Laras. Apa-apa pasti ikut kata Mami. Belum lagi ini kata atasannya yang ternyata pakdhenya Prahara. Lalu aku bisa apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara's Secret Wife
RomanceDidi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya. Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa i...