"Bukan menemukan, Om. Takdir yang mempertemukan kami," kata Prahara sambil menyodorkan piringnya kepadaku. Aku menyendokkan nasi ke piringnya.
"Saya juga nggak tahu, Om. Dia kan calon tunangan Laras waktu itu."
Kulihat Prahara hanya menarik sudut bibirnya.
"Om Moyo bisa kenal Mas Prahara di mana?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Di Yogya-lah," katanya sambil terkekeh. "Ayo coba tempe kemulnya. Mumpung masih anget, sebentar lagi pasti dingin."
"Yogya kan luas, Om."
"Yang jelas bukan di Malioboro, ya, Om," celetuk Prahara.
"Hahaha, betul, betul. Yang di Malioboro itu Om ketemunya sama siapa itu? Temanmu yang kecil itu ...."
"Ariana, Om. Dia yang membawaku ke Om Moyo."
"Ah, iya, Ariana. Masih dekat dengan kamu, Ndra?"
"Sangat dekat, Om," sahutku. "Yang ada di lantai 3 itu hanya kantornya dan kantor Bos Prahara."
Prahara tertawa. "Ada yang cemburu, Om."
"Jadi sebenarnya gimana, sih, percetakan Om Moyo bisa menjadi Prahara Media sekarang? Bukannya dulu Om hanya fokus di percetakan saja?"
"Oh, panjang ceritanya. Jadi, Om itu mencari Hendra untuk bantu mencetak buku-bukunya. Dan ternyata setelah kami bertemu, dia membawa ide-ide brilian untuk percetakan Om. Jadilah, kami mulai merintis penerbitan yang alhamdulillah semakin berkembang sampai sekarang. Nggak salah Om memercayakan perusahaan Om kepada Hendra."
"Dan mengapa waktu itu Om mencariku?" kali ini Prahara yang bertanya.
"Kan sudah pernah Om ceritakan. Om baca reviu novelmu di sebuah blog. Om selalu membeli buku yang diberi komentar positif oleh blogger tersebut. Sayangnya Om tidak menemukan bukumu di toko buku. Jadi, Om mencarimu di Malioboro dan ketemu sama Ariana."
"Lalu Ariana mengajak Om menemui saya," kata Prahara.
Om Moyo mengangguk. Terjawab sudah. Ariana menjadi semacam pahlawan kesiangan bagi Prahara karena dia terlebih dahulu bertemu dengan Om Wismoyo.
"Dan kamu? Bagaimana bisa bertemu dengan Didi? Bukannya kamu pernah mencarinya?"
Aku menatap Prahara. Untuk apa dia mencariku? Itu pertanyaan yang berkecamuk di benakku sejak tadi.
"Saya mencarinya bertahun-tahun, Om. Tapi tak ketemu."
"Untuk?" kali ini aku yang bertanya.
"Memastikan siapa blogger yang sudah menunjukkan bukuku kepada Om Moyo. Om Moyo hanya bilang Didi, sedangkan aku tak pernah bertemu apalagi kenal dengan yang namanya Didi. Aku hanya bertemu dengan seorang gadis bernama Sri yang aku yakin itu bukan nama sebenarnya karena matanya biru."
Om Moyo tertawa. "Kakeknya memang bermata biru. Tapi Didi?" Om Moyo menggeleng.
"Saya pakai soft-lens, Om," kataku sambil melepas kacamata. Hari ini aku memang hanya memakai kacamata untuk menutupi warna mataku.
"Oh, ya Tuhan."
"Karena tak kunjung mendapati siapa yang menulis reviu itu, maka saya menulis Rhein's Romance, Om. Ariana yang mendorong saya menulisnya, untuk memancing kemunculan Didi atau siapa pun itu. Setidaknya untuk menemukan garis merah antara Didi dan Sri. Tapi dia tak pernah mengulas Rhein's Romance."
"Aku bukan penggemar roman," jawabku. Sebenarnya sih, novel itu juga kubaca. Tapi tak selesai karena dari awal sudah tampak kalau romantismenya terlalu kental. Agak aneh rasanya, membaca karya penulis yang melenceng dari genre yang menjadi ciri khas dia. Lagi pula, ada perasaan tak nyaman ketika membaca larik-larik penuh kebucinan yang sudah muncul dari paragraf pertama dari seseorang yang sudah pernah kita kenal. Semacam perasaan tak suka, tapi aku tak tahu mengapa dan karenanya aku merasa harus berhenti membacanya.
Dan, ya, kalau kamu mengira aku mengenali Prahara saat pertemuan pertama di Gerha Salindria ketika konferensi pers-nya Laras, maka kamu benar. Aku mengenalinya meskipun secara postur dia tampak berubah. Lebih gagah, lebih matang, lebih macho. Ups, khilaf. Juga, waktu makan malam di rumah Mami. Aku hanya pura-pura tak mengenalinya agar semuanya berjalan lebih mudah. Nggak mungkin, kan, tiba-tiba aku bilang, "Hei, aku gadis yang pernah kamu ajak berbagi bebek goreng di Yogya sepuluh tahun lalu."
"Ketika ada tawaran untuk memfilm-kan novel ini, saya bertemu dengan Mami. Saya tidak tahu, mengapa Mami segencar itu menjodohkan saya dengan Laras, padahal Laras sudah punya pacar. Yah, akhirnya takdir membawa saya untuk menjadi suami dari Didi-nya Om Moyo. Orang yang membuat Om Moyo mencari saya."
"Oh, akhirnya semua puzzle sudah terpasang di tempatnya, ya," kata Om Moyo. Sesi makan kami ternyata begitu cepat berlalu. Piring-piring sudah bersih dari makanan.
"Saya ke sini sekalian untuk memastikan, Om. Apa benar Didi yang ini sama dengan Didi-nya Om Moyo."
"Maksudnya?" tanyaku.
"Waktu presentasi itu, aku yakin kamu sengaja menunjukkan foto kamu bersama Om Moyo," jawab Prahara sambil memandangku. Eh, kenapa dia bisa tahu kalau aku sengaja?
Aku tersenyum malu-malu. "Ee, itu... e ...," sahutku tergagap.
"Karena kamu jealous sama Ariana?"
"Ah, nggak, nggak." Hih, ini papanya Ami sungguh tak tahu malu. Wajahku pasti sudah memerah. Apalagi mendengar tawa Om Moyo yang begitu keras dan lepas. Huh, mau dikemanakan muka ini.
"Cemburu nggak salah, kok. Namanya juga suami istri," kata Om Moyo."Yang salah itu, kalau sudah jadi suami istri tapi masih sembunyi-sembunyi. Bisa menimbulkan fitnah."
"Sedang dalam proses, Om. Insyaallah kalau semua berkas siap, kami akan mengumumkan pernikahan kami. Bukan begitu, Dek?" tanyanya.
Eh, apa? Eh, bagaimana?
"Ya, ya, itu bagus, Om mendukung. Kalau mau merayakan resepsinya di sini juga bisa, lho"
"Ide bagus, Om. Istri saya belum tahu keindahan tempat ini. Mungkin besok kami akan berkeliling sebelum lanjut ke Dieng."
"Lho, jangan hanya berkeliling. Justru mumpung Didi di sini Om mau dia motret ranch ini. Sekalian Om mau buat buklet di percetakan kalian. Bisa, kan?"
Jadi begitulah. Pembicaraan lalu melenceng ke arah pekerjaan yang mau tak mau kusyukuri karena menyelamatkanku dari situasi yang awkward. Karena ini kaitannya dengan percetakan, maka disepakati bahwa aku akan mengambil gambar ranch dan camping ground-nya Om Moyo dan Prahara yang membuat skrip-nya. Setelah itu kami akan menuju Dieng sebagai tujuan utama kami ke Wonosobo.
Sudah larut malam ketika kami menyudahi obrolan kami yang awalnya di meja makan kemudian berpindah ke ruang tengah. Hawa dingin di sini terusir oleh panasnya api dari perapian yang tadinya kupikir hanya untuk hiasan saja.
Akhirnya pukul sebelas malam, Prahara pamit dan mengajakku kembali ke kamar. Yah, karena ini di rumah orang, tak mungkin aku meminta kamar terpisah, kan?
Seperti waktu salat Isya tadi, Prahara ke kamar mandi terlebih dahulu. Ketika aku hendak menggantikannya menggunakan kamar mandi, ia berpesan kepadaku untuk mengambil wudu. Aku hanya mengiyakan meskipun tak tahu tujuannya apa. Sebenarnya aku biasa, sih, ambil air wudu sebelum tidur. Pernah dengar kalau itu dianjurkan. Siapa tahu kita nanti meninggal dalam tidur. Setidaknya, tubuh kita dalam keadaan bersih.
Usai wudu, kulihat Prahara sudah menggelar dua sajadah. Ia mengangsurkan mukena padaku.
"Tahajud?" kataku.
"Salat sunah zifaf. Sudah terlambat, tapi ini kesempatan pertama yang kita punya," katanya.
Apa? Salat sunah zifaf atau malam pengantin itu adalah salah satu amalan yang dianjurkan dilakukan oleh pengantin pada malam pertama setelah akad nikah. Karena waktu itu aku sedang halangan, maka kami tidak melakukannya. Apalagi ditambah dengan kesepakatan bahwa tak hubungan intim tanpa kesepakatan kedua belah pihak, maka kupikir salat itu tidak perlukan.
Eh, mengapa sekarang dia mengajakku melaksanakan salat itu? Aduh, bagaimana ini? Mengapa jantung ini akrobat begini sih? Memang sih, dia suamiku, tapi kami kan baru nikah siri. Dia juga nggak cinta aku, kan? Lalu apa kabar hatiku? Apa iya aku aku harus melayani suami yang tak tahu hatinya bagaimana? Lalu bagaimana kesepakatan itu?
Oh, entahlah. Yang pasti aku harus segera mengikutinya salat karena sang imam sudah mulai melakukan takbiratul ihram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara's Secret Wife
RomanceDidi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya. Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa i...