Lelah, tapi malas pulang. Menuruti kata hati, aku pun duduk bersandar di pilar mal sambil menekuk lutut. Kusurukkan kepalaku di atas kedua lutut hingga entah berapa lama. Mungkin aku tertidur sejenak hingga tiba-tiba aku dikejutkan dengan elusan ringan di kepalaku. Dan, ah, aroma itu, mengapa begitu akrab dengan indera penciumanku?
Kuhidu dalam-dalam hingga sebuah perasaan tenang menyergapku.
"Pulang, yuk," katanya. Aku mengangkat muka. Mendapati wajah kusut yang tengah menatapku dengan pandangan ... mm ... lega?
Dia mengangguk dan tersenyum. "Ayo, pulang. Aku mencarimu sesorean," katanya sambil menarik tanganku.
Aku tak berkata-kata, hanya memandangnya dengan ... ah, bagaimana aku menceritakan perasaanku. Antara lega, lelah, dan ... lapar. Dia memelukku erat-erat ketika akhirnya kami berdiri. Disurukkannya kepalaku ke lehernya agar dia bisa mencium puncak kepalaku. Dan aku, merasa ... nyaman. Bagaikan seorang musafir yang telah menemukan jalan pulang bernama rumah.
Dan sebuah kata keluar dari mulut kami secara bersamaan, "Maaf."
Oh, kami sedikit tertawa.
"HP-ku tertinggal di mobil karena aku buru-buru masuk ke kantor. Dan aku tak bisa keluar sampai jam tiga. Ketika aku membaca pesan Miko, aku segera menuju SMA Pelita, tapi sudah kosong. Aku mencarimu ke mana-mana. Mak Yem bilang, kamu belum pulang seharian."
"Miko kenapa?"
"Tiba-tiba diare di pom bensin saat hendak menjemputmu," katanya.
Oh, ya? Rupanya rencana licik Ariana sudah disusun sedemikian rupa sehingga tak ada celah untuk gagal.
"Ayo pulang. Kamu pasti lelah," katanya.
"Aku lapar," cengirku. "Bisakah kita makan dulu?"
"Oh, ya Tuhan, ayo kalau begitu. Jam berapa terakhir makan?" katanya sambil menggandeng tanganku menuju mobil.
"Tadi makan arem-arem di sekolah," jawabku.
"Dan aku makan enak di pesta itu," keluhnya. "Maaf," katanya sambil mengangkat tanganku dan membawanya ke bibirnya. Eh, dia mencium tanganku.
"It's oke. Yang penting sekarang makan."
Dan yah, sedikit sikap manisnya ternyata dengan mudah meluruhkan semua kemarahan dan kekecewaanku. Aku memang semurah itu. Mudah sekali memaafkan, apalagi jika perut sudah kenyang.
Pukul sepuluh malam akhirnya kami sampai di rumah. Ami menginap di rumah Uti karena kami tak sempat menjemputnya. Sore tadi, menurut cerita Prahara, dia mencariku di sepanjang jalan Gunungkidul-Yogya. Padahal sekali jalan bisa menghabiskan waktu hampir dua jam. Kalau pulang pergi, minimal tiga jam pastinya habis untuk mencariku.
Dan ah, nyamannya rumah. Setelah seharian di jalanan, rasanya seperti di surga bisa berada di rumah dalam keadaan segar setelah mandi. Setelah ini, yang kuinginkan hanya tidur. Dua hari kalau perlu. Pokoknya besok aku nggak mau ngantor dulu di Novelaku.
Dengan santai aku membaringkan tubuh dan mulai memejamkan mata. Namun, belum berapa lama, sesosok tubuh menyusulku, lalu berbaring menghadapku. Siapa lagi kalau bukan Prahara.
Aku pura-pura memejamkan mata, berlagak tidur. Kulihat dia tidak main peluk seperti biasanya, tetapi hanya memegang tanganku. Sesekali dikecupnya tanganku. Sungguh, hal ini justru membuat hatiku makin meleleh.
"Mengapa?" tanyaku tak lagi pura-pura tidur.
"Aku takut kamu menghilang lagi," katanya.
Aku memiringkan tubuh ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara's Secret Wife
RomanceDidi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya. Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa i...